Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta

Penulis: Frederikus Suni

Tradisi HEL KETA Suku Dawan Timor Barat Indonesia, khususnya di provinsi NTT. Foto: Frederikus Suni/Tafenpah.com


TAFENPAH.COM - Salah satu pendekatan humanistik dari filsuf kebudayaan Ernst Cassirer terhadap keberadaan/eksistensi manusia dalam menciptakan peristiwa-peristiwa besar maupun kejadian yang dialaminya setiap hari adalah melalui kajian-kajian perilaku, sistem kepercayaan masyarakat setempat, dalam hal ini studi tentang kesadaran pikiran, perasaan, kebersamaan, religius hingga rekonsialiasi.

Rekonsiliasi pertama-tama bukan perkara teologikal yang kita kenal dalam ke-6 ajaran atau agama masyarakat Indonesia. Persoalan ini berkaitan dengan salah satu tradisi tertua suku Atoin Meto/Dawan Timor NTT yakni: HEL KETA.

Hel Keta dalam pandangan Tafenpah berkaitan dengan ekspresi budaya sekaligus proses rekonsiliasi/menyatukan, mempererat hubungan hingga mencairkan segala sesuatu yang sudah terjadi dalam kehidupan harian lelulur Atoin Meto Timor Indonesia, terutama leluhur dari kedua mempelai di masa yang lalu (past tense).




Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta



Entah perselisihyan itu berkaitan dengan pencaplokan atau pengambilalihan wilayah kekuasaan, kepentingan politik yang terjadi ketika leluhur dari etnis Dawan Timor masih menganut sistem pemerintahan kerajaan maupun persoalan remeh temeh yang memicu pertengkaran, permusuhan, iri hati, dendam, benci, dan sejenisnya.

Uniknya, dalam tradisi HEL KETA, seluruh anggota dari kedua mempelai/calon pengantin bersama-sama akan mengikuti ritual (semacam perayaan kebudayaan) yang di dalamnya memuat upacara kebudayaan, ramah tamah (hospitality), proses pertukaran informasi, pengenalan lintas kebudayaan, memahami karakter, asal muasal, tingkat pendidikan sampai pada proses pengurbanan/persembahan hewan peliharaan seperti: babi, kambing, sapi kepada leluhur kedua mempelai yang terjawantahkan/terwujud dalam aliran sungai.

Sungai bukan sebatas mega proyek/desain sempurna dari Sang Pencipta kepada manusia. Lebih daripada itu, saya memandang sungai sebagai objektif dalam pemikiran filsabat Fenomenologi yang berarti tempat di mana kedua mempelai/pengantin beserta seluruh anggota keluarganya menciptakan sejarah peradaban budaya etnis Dawan Timor Barat Indonesia, khususnya kelompok masyarakat terbesar yang mendiami wilayah kota Kupang (Ibukota) provinsi Nusa Tenggara Timur hingga kabupaten Timor Tengah Utara (perbatasan Indonesia dan kawasan Eksklave negara Demokratik Timor Leste) dan kabupaten Belu (Atambua) di pintu masuk menuju Dili (Ibukota) Timor Leste.

Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta



Selain itu, tradisi HEL KETA bertujuan untuk mempererat hubungan kedua mempelai/pengantin bersama anggota keluarga, di samping meminta restu dari para leluhur untuk mendukung proses kehidupan berkeluarga dari kedua mempelai, pasca/setelah melangsungkan pernikahan sah, baik di ranah hukum Indonesia (kewajiban administrasi) sampai pada upacara pernikahan dalam tradisi ajaran Katolik Roma.

Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya Suku Dawan Timor NTT

Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta



Perayaan/upacara HEL KETA dalam tinjauan filsafat kebudayaan filsuf Ernst Cassirer dimaknai sebagai fenomena di mana Atoin Meto/suku Dawan Timor NTT berupaya untuk menciptakan simbol.

Penciptaan simbol kebudayaan ini bertujuan untuk memberikan pedoman kehidupan kepada setiap generasi untuk bergerak dan berproses, terutama ketika mereka memutuskan untuk meminang/meminta calon pengantin (pria dan wanita), langkah pertama yang mereka lalui/jalani adalah melalui kegiatan simbolik di balik tradisi tertua suku Dawan Timor NTT yakni; HEL KETA.

HEL KETA bukan sebatas perayaan seremonial kebudayaan suku Dawan Timor NTT. HEL KETA juga bukan hanya sebatas kegiatan menarik lidi antar kedua mempelai di bawah kesaksian derasnya aliran sungai maupun keindahan bukit di salah satu permukiman/tempat tinggal penduduk setempat.

Jauh dari perayaan seremonial tersebut, HEL KETA berfungsi sebagai perayaan simbolik Atoin Meto Timor Indonesia dalam membentuk pola pikir, perilaku, etika, dan moral yang nantinya bisa diikutin oleh setiap generasi.

Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta



HEL KETA juga berfungsi sebagai ekspresi kebudayaan sekaligus komunikasi verbal maupun nonverbal di antara sesama suku Dawan Timor Barat Indonesia, lebih spesifiknya kepada calon mempelai dan seluruh anggota keluarga besarnya, baik yang sudah meninggal maupun mereka yang saat ini masih berjuang untuk tetap mempertahankan tradisi tersebut dalam kesehariannya.

Pendekatan filsafat kebudayaan dari filsuf Ernst Cassirer ini memiliki makna yang jauh lebih kaya, yakni; bagaimana manusia (suku Dawan Timor Indonesia) berupaya untuk selalu menciptkan identitas kebudayaannya di tengah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, kedokteran, pertanian, manajemen, bisnis, pendidikan, pola pikir, psikologi, antropologi, filsafat dll.

Memaknai ekspresi kebudayaan suku Dawan Timor NTT, terutama ritual kebudayaan HEL KETA memungkinkan kita untuk melihat dinamika dunia. Sebaliknya, ekspresi kebudayaan ini juga memberikan ruang kepada dunia untuk melihat seluruh rangkaian aktivitas kebudayaan kita dalam keseharian.

Berkaca pada fenomenologi di atas, saya mengambil hipotesa/kesimpulan sementara yakni; dengan mempelajari kebudayaan orang lain dan diri sendiri, sejatinya kita sedang melihat kepingan estetiknya dunia. Sebaliknya, dunia memandang seluruh rangkaian aktivitas kita dalam cita rasa kebudayaan.

Artinya; Sejak pertama kali kita berniat untuk mempelajari kebudayaan sesama, di situlah kita memasuki fenomenologi kebudayaan simbolik, sebagaimana yang filsuf Ernst Cassirer teliti sekaligus mengajarkannya kepada kita.

Terutama dalam pesan kebudayaannya yakni: untuk memahami manusia termasuk seluruh proses hidupnya, pertama-tama kita harus mendekatinya melalui kebudayaannya. Karena manusia adalah makhluk sosial sekaligus kebudayaan. Di mana, manusia hidup dan dalam melalui unsur-unsur kebudayaannya.

Potretan pemikiran filsafat kebudayaan Ernst Cassirer juga kita menjumpainya dalam kearifan lokal budaya Atoin Meto yang terjawantahkan/terwujud dalam ritual/upacara/perayaan ekspresi kebudayaan HEL KETA.

Langkah - Langkah Rekonsiliasi Leluhur Atoin Meto di Balik Tradisi HEL KETA

Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta




Berdasarkan pengalaman empiris ketika mengikuti rangkaian upacara/ritual kebudayaan (local wisdom) HEL KETA, saya menemukan setidaknya 4 bagian besar di antara;

1. Tempat Berlangsungnya Upacara Hel Keta

Umumnya kelompok suku Dawan Timor NTT akan berkoordinasi (semacam musyawarah adat) untuk menentukan lokasi/tempat berlangsungnya upacara HEL KETA.

Upacara HEL KETA ini akan diadakan oleh kedua utusan, entah itu tua adat dari masing-masing keluarga mempelai maupun tua adat yang memiliki kedudukan sosial di kampung/desa tersebut, dan berlangsung di salah satu sungai (No'no dalam bahasa Dawan Timor yang berarti: Sungai) ataupun di Kanete (perbukitan) yang berada di perbatasan kampung.

Ada pun alasan pemilihan tempat ini juga memiliki filosofi tersendiri. Dalam tulisan saya yang berjudul "Noelbaki dan Sejarah Hel Keta dalam Pandangan Filsuf Baruch de Spinoza"

secara detail saya merefleksikan sekaligus memvisualisasikan sungai sebagai pusat pencairan/perdamaian dari segala macam perselisihan antar leluhur dari kedua calon mempelai pada zaman perang antar suku dalam sistem kepercayaan tradisional.

"Sungai itu melambangkan kedamian hidup. Karena aliran sungai dipercaya oleh masyarakat Dawan sebagai wahana, ruang, tempat, mediasi/perantara yang bisa menyatukan kedua belah pihak.

Karena pada zaman dulu, masyarakat Dawan menyakini ada perang antar suku di Nusa Tenggara Timur. Hal ini senada dengan pandangan dari Heraklitos yang mengatakan bahwa perang (polemos dalam bahasa latin) merupakan bapak dari segala sesuatu. Perang memiliki dua kekuatan, di satu pihak ia menceraikan, tetapi di lain pihak ia menyatukan," (sumber; Noelbaki dan Sejarah Hel Keta dalam Pandangan Filsuf Baruch de Spinoza).


Setelah penentukan lokasi atau tempat berlangsungnya kegiatan/ritual adat HEL KETA, kita juga berkesempatan untuk memasuki fase kedua yakni; Atribut Kebudayaan.

Atribut Kebudayaan sebagai Penguatan Identitas Lokal Budaya Atoin Meto Timor Barat Indonesia 

Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta



Kelompok suku Dawan Timor Barat Indonesia memiliki segudang atribut atau pakaian adat yang mencerminkan ciri khasnya dari kebudayaan lain di Nusantara.

Ciri Kebudayaan Atoin Meto dapat kita jumpai dalam penggunaan atribut atau pakaian adatnya.

Berikut adalah beberapa atribut Kebudayaan Atoin Meto yang biasanya digunakan oleh kedua mempelai/calon pengantin baru, ketika mengikuti prosesi HEL KETA di antaranya;

Dikutip dari buku Perspektif Budaya Timor karya Andreas Tefa Sa’u dan Anastasia Nainaban, penggunaan atribut kebudayaan atau bahasa kedua penulis adalah sarana dan prasarana kurang lebih seperti ini:

" Dua keluarga pelaku upacara Thel Keta wajib membawa binatang korban untuk disembelih seperti babi (fafi) atau kambing (bibi) dan jenis binatang lainnya. Selain itu, keluarga perempuan wajib membawa kain beti (busana mempelai pria), lidi (simbol feminim/ketfeto), Sopi satu botol dan perlengkapan masak, makan dan minum. Sebaliknya, keluarga laki-laki juga wajib membawa Noen Uf dan Noen Kabi (persembahan untuk diletakan di tempat upacara), sopi satu botol, lidi (simbol maskulin/ketmone) dan perlengkapan masak, makan dan minum. Sarana dan prasarana ini disebut noen hoeba ma mau hoeb hena tahoeb maputu ma malala. 

Tuturan Adat (Doa yang Daraskan oleh Ketua Adat)

Tuturan Adat (Doa yang Daraskan oleh Ketua Adat). Foto: Frederikus Suni/Tafenpah.com


Ketua adat yang mendampingi masing-masing calon mempelai bertugas sebagai pemimpin upacara. Ketika dua keluarga pelaku upacara Thel Keta masih berada secara terpisah di seberang sungai atau kali sebagaimana dijelaskan di atas, pada saat itu, para ketua adat akan bertemu dan membuat satu lingkaran. Selanjunya, hewan korban, beti, Noen Uf, Noen Kabi dan lidi akan disimpan mengelilingi tempat pemsembahan (pada umumnya berupa batu plat). Setelah semua tersedia, para tokoh adat akan memulai sapaan terhadap para leluhur dan mendaraskan doa sebagai berikut: 

Meo unu’, Sap unu’, Fuf unu’, ai ‘an babela sin haub (kisan tunbubu’, beb kataf, aos nisif), maut, eot ni tunan i, A Moet ma Apakaet (Usi Neno) he na’ aib na pasi ka’ un ini sin meop kini ma sin kisan. He an feto ma an monen oensok man kisnok ni nij nuasin ma baki nuasin kaisam mtoet sin, kaisam muskekensin ma kaisam mupipinsin. Ni nij nuasin ma baki nuasin bilun nabsoon ma namlile. 


Isi doa di atas secara singkat menyapa para leluhur sekaligus meminta restu mereka untuk melakukan rekonsiliasi atas persoalan yang pernah terjadi. Setalah menyapa dan mendapat restu para leluhur, mereka akan berdoa kepada Allah untuk mengabulkan intensi yang disampaikan dalam upacara Thel Keta. Setelah mendaraskan doa tersebut, para ketua adat akan menyembelih binatang korban dan darahnya dialirkan bersama aliran air. 


Para ketua adat akan melihat tanda yang terletak di hati (lilo) binatang korban sembelihan. Jika tanda baik, maka ketua adat tersebut akan mengajak dan mempertemukan kedua keluarga besar untuk duduk bersama dan makan sirih pinang sebagai tanda kekeluargaan. Sebaliknya, jika tanda itu tidak baik, maka kedua keluarga mempelai harus menyiapkan lagi dua binatang korban sembelihan untuk memperbaiki lilo.

Acara Makan Bersama
Kegiatan makan bersama dalam acara HEL KETA Suku Dawan Timor NTT. Foto: Frederikus Suni/Tafenpah.com


Acara makan bersama akan dimulai Natek/Tatek dan Se’ Tekes (persembahan kepada Tuhan dan leluhur berupa daging hati dan isi bagian leher yang sudah di masak). Dalam acara Tatek, ketua adat akan mengambil kedua Mau None dan Seloksin (dicampur). Setelah itu, ketua adat akan menyerahkan beti kepada calon mempelai laki-laki dan Noen Uf kepada mempelai wanita. Bahan persembahan yang telah didoakan akan dinikmati oleh mereka yang semua yang hadir dalam acara tesebut. Pada tahap ini acara makan bersama bisa dilangsungkan. 


Salah satu hal yang harus dilakukan oleh dua keluarga pelaku upacara Thel Keta adalah menghabiskan semua makanan yang tersedia. Tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Kalau pun ada sisa makanan, mesti diberikan kepada orang lain yang tidak hadir dalam upacara tersebut. Dengan demikian, upacara Thel Keta atau rekonsiliasi dinyatakan sah dan kedua calon mempelai telah mendapat restu para leluhur untuk hidup berpasangan sebagai suami dan istri. Artikel kebudayaan ini ada di TAFENPAH dengan judul "Thel Keta: Model Rekonsiliasi Kultural Masyarakat Dawan."

Referensi Andreas Tefa Sa’u dan Anastasia Nainaban, Perspektif Budaya Timor (Sukoharjo: Oase Pustaka, 2021), hlm. 143.


Demikian penjelasan singkat mengenai ke-4 aspek penting selama berlangsungnya ritual HEL KETA dari TAFENPAH.


Instagram Penulis: @suni_fredy
TikTok: @tafenpah.com
Youtube: Perspektif Tafenpah

Disclaimer: Esay ini menggunakan ciri penulisan populer dengan maksud untuk mempermudah pemahaman pembaca. Teruntuk rekan-rekan pembaca, rekan media, rekan mahasiswa dan siapa pun yang menggunakan sebagian materi dari Esay ini, mohon mencantumkan link aktif (backlink) sebagai dukungan terhadap perkembangan TAFENPAH ke depannya.



TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia ||Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. ||Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia.Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat.Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider.Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.comSaya juga menerima jasa pembuatan Website ||Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy ||Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ ||WhatsApp: 082140319973 ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Pendekatan Filsafat Simbolik Ernst Cassirer sebagai Ekspresi Budaya dan Perayaan Rekonsiliasi antar Leluhur Dalam Tradisi Hel Keta"