Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Thel Keta: Model Rekonsiliasi Kultural Masyarakat Dawan

Tua adat dari suku Siki dan Aby Haumeni, Bikomi Utara, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dalam acara Thel keta suku Timor Dawan.Tafenpah.com

Oleh: Legi Oki (Frater sekaligus Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero)

Gambaran Umum tentang Thel Keta

Thel Keta merupakan salah satu ungkapan bahasa dawan (Uab Meto) yang menjelaskan tentang upacara rekonsiliasi antarwilayah dalam masyarakat suku dawan. Thel Keta secara etimologi berasal dari dua suku kata dawan yakni Thel yang berarti menarik atau membatasi dan Keta yang berarti lidi yang bisa diambil dari pohon lontar dan pohon kelapa. 


Thel Keta berarti menarik atau mengabaikan lidi lontar yang sudah ada sepanjang kehidupan. Lidi yang yang dimaksudkan bersifat simbolis dan mengandung pengertian halangan, yang sudah terbentuk sejak terjadi peperangan antarsuku dan kampung baik yang bertetangga maupun yang saling berjauhan.


Bapak Fransiskus Nifu Suni, seorang tokoh adat di Desa Bakitolas, Kecamatan Nai’Benu, Kabupaten Timor Utara, menjelaskan bahwa Thel Keta adalah salah satu upacara rekonsiliasi yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat suku dawan ketika terjadi perjodohan antara seorang wanita dan laki-laki. Setiap orang yang berasal dari suku dawan dan hendak menikah dengan seseorang baik yang berasal dari suku dawan atau dari suku lain, pada umumnya menyelenggarakan upacara Thel Keta. Dalam konteks perjodohan seorang wanita dan laki-laki yang berasal dari dua suku yang secara historis pernah terjadi peperangan, wajib melakukan upacara Thel Keta. 


Selain itu, masyarakat suku dawan lazim melakukan upacara Thel Keta karena mereka memiliki keyakinan bahwa persoalan hidup antarsuku pada masa lalu tidak sepenuhnya diketahui oleh masyarakat masa kini. Oleh karena itu, masyarakat dawan masa kini melakukan upacara Thel Keta sebagai bentuk rekonsiliasi atas persoalan yang mungkin dulu dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Ritus-Ritus Dalam Upacara Thel Keta
Pelaku upacara Thel Keta

Tua adat dari Suku Siki dan Aby Haumeni, Bikomi Utara, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.Tafenpah.com

Pelaku upacara Thel Keta adalah dua keluarga besar atau utusan (perwakilan) dari kedua calon suami istri yang hendak menikah. Masing-masing keluarga didampingi oleh ketua adat dari masing-masing suku. Ketika dua keluarga pelaku upacara Thel Keta bertemu, masing-masing menempati dua pinggir kali atau sungai yang menjadi tempat upacara. Yang satu di seberang dan yang lainnya juga di seberang. Mereka tidak boleh langsung berjumpa dan saling menyapa, apalagi duduk bersama dan makan sirih pinan sebagai bentuk kekeluargaan. Hal ini sangat dilarang atau tidak diperbolehkan secara adat istiadat. 

Tempat upacara

Upacara Thel Keta hanya boleh dilakukan di sungai atau kali yang airnya sedang mengalir  (oe saif). Masyarakat suku dawan yakin bahwa ketika hewan korban disembelih dan darahnya dibawa oleh aliran air kali atau sungai, pada saat itu terjadi rekonsiliasi dimana segala kesalahan dan perbuatan jahat yang menghalang atau merugikan dapat dipulihkan. 

Sarana dan Prasarana yang digunakan dalam upacara Thel Keta

Dua keluarga pelaku upacara Thel Keta wajib membawa binatang korban untuk disembelih seperti babi (fafi) atau kambing (bibi) dan jenis binatang lainnya. Selain itu, keluarga perempuan wajib membawa kain beti (busana mempelai pria), lidi (simbol feminim/ketfeto), Sopi satu botol dan perlengkapan masak, makan dan minum. Sebaliknya, keluarga laki-laki juga wajib membawa Noen Uf dan Noen Kabi (persembahan untuk diletakan di tempat upacara), sopi satu botol, lidi (simbol maskulin/ketmone) dan perlengkapan masak, makan dan minum. Sarana dan prasarana ini disebut noen hoeba ma mau hoeb hena tahoeb maputu ma malala. 

Tuturan adat (doa yang daraskan oleh ketua adat

Ketua adat yang mendampingi masing-masing calon mempelai bertugas sebagai pemimpin upacara. Ketika dua keluarga pelaku upacara Thel Keta masih berada secara terpisah di seberang sungai atau kali sebagaimana dijelaskan di atas, pada saat itu, para ketua adat akan bertemu dan membuat satu lingkaran. Selanjunya, hewan korban, beti, Noen Uf, Noen Kabi dan lidi akan disimpan mengelilingi tempat pemsembahan (pada umumnya berupa batu plat). Setelah semua tersedia, para tokoh adat akan memulai sapaan terhadap para leluhur dan mendaraskan doa sebagai berikut: 


Meo unu’, Sap unu’, Fuf unu’, ai ‘an babela sin haub (kisan tunbubu’, beb kataf, aos nisif), maut, eot ni tunan i, A Moet ma Apakaet (Usi Neno) he na’ aib na pasi ka’ un ini sin meop kini ma sin kisan. He an feto ma an monen oensok man kisnok ni nij nuasin ma baki nuasin kaisam mtoet sin, kaisam muskekensin ma kaisam mupipinsin. Ni nij nuasin ma baki nuasin bilun nabsoon ma namlile. 


Isi doa di atas secara singkat menyapa para leluhur sekaligus meminta restu mereka untuk melakukan rekonsiliasi atas persoalan yang pernah terjadi. Setalah menyapa dan mendapat restu para leluhur, mereka akan berdoa kepada Allah untuk mengabulkan intensi yang disampaikan dalam upacara Thel Keta. Setelah mendaraskan doa tersebut, para ketua adat akan menyembelih binatang korban dan darahnya dialirkan bersama aliran air. 


Para ketua adat akan melihat tanda yang terletak di hati (lilo) binatang korban sembelihan. Jika tanda baik, maka ketua adat tersebut akan mengajak dan mempertemukan kedua keluarga besar untuk duduk bersama dan makan sirih pinang sebagai tanda kekeluargaan. Sebaliknya, jika tanda itu tidak baik, maka kedua keluarga mempelai harus menyiapkan lagi dua binatang korban sembelihan untuk memperbaiki lilo.

Acara makan bersama

Acara makan bersama akan dimulai Natek/Tatek dan Se’ Tekes (persembahan kepada Tuhan dan leluhur berupa daging hati dan isi bagian leher yang sudah di masak). Dalam acara Tatek, ketua adat akan mengambil kedua Mau None dan Seloksin (dicampur). Setelah itu, ketua adat akan menyerahkan beti kepada calon mempelai laki-laki dan Noen Uf kepada mempelai wanita. Bahan persembahan yang telah didoakan akan dinikmati oleh mereka yang semua yang hadir dalam acara tesebut. Pada tahap ini acara makan bersama bisa dilangsungkan. 


Salah satu hal yang harus dilakukan oleh dua keluarga pelaku upacara Thel Keta adalah menghabiskan semua makanan yang tersedia. Tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Kalau pun ada sisa makanan, mesti diberikan kepada orang lain yang tidak hadir dalam upacara tersebut. Dengan demikian, upacara Thel Keta atau rekonsiliasi dinyatakan sah dan kedua calon mempelai telah mendapat restu para leluhur untuk hidup berpasangan sebagai suami dan istri.


Referensi

Andreas Tefa Sa’u dan Anastasia Nainaban, Perspektif Budaya Timor (Sukoharjo: Oase Pustaka, 2021), hlm. 143.


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

2 komentar untuk "Thel Keta: Model Rekonsiliasi Kultural Masyarakat Dawan"

  1. Terima kasih,sangat detail penjelasannya. tidak membutuhkan biaya yang sangat besar tapi maknanya yang sangat mendalam perlu kita pahami

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ya sudah mampir dan meninggalkan jejak berupa komentar serta mengapresiasi karya-karya anak negeri di Tafenpah

      Hapus

Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih


Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat