Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Noelbaki dan Sejarah Hel Keta dalam Pandangan Filsuf Baruch de Spinoza

Ritual Hel keta suku Dawan. Foto oleh: Fredy Suni

Penulis: Fredy Suni

Tafenpah.com - Dawan merupakan etnis terbesar yang mendiami pulau Timor, mulai dari Kupang hingga kabupaten Timor Tengah Utara dan sebagian besar warga Timor Leste di Distrik Oekusi. Secara geografis dan kebudayaan, etnis Dawan (Atoin Meto) sama. Kita bisa melihat kesamaan itu dari warna kulit, adat-istiadat, bahasa, dan lain sebagainya. Salah satu tradisi leluhur etnis Dawan adalah "Hel Keta."


Hel Keta merupakan tahap pertama bagi setiap pasangan dalam merangkai bahtera rumah tangga mereka. Menariknya, tradisi Hel Keta biasanya dilakukan di aliran sungai, pertengahan kampung antara lelaki dan perempuan.


Sungai itu melambangkan kedamian hidup. Karena aliran sungai dipercaya oleh masyarakat Dawan sebagai wahana, ruang, tempat, mediasi/perantara yang bisa menyatukan kedua belah pihak.


Karena pada zaman dulu, masyarakat Dawan menyakini ada perang antar suku di Nusa Tenggara Timur. Hal ini senada dengan pandangan dari Heraklitos yang mengatakan bahwa perang (polemos dalam bahasa latin) merupakan bapak dari segala sesuatu. Perang memiliki dua kekuatan, di satu pihak ia menceraikan, tetapi di lain pihak ia menyatukan.


Konteks Hel Keta

Hel Keta. foto: Fredy Suni
Masyarakat Dawan (Atoin Meto) menjadikan sungai sebagai simbol kebudayaan. Menilik sejarah perang suku di Nusa Tenggara Timur zaman Kerajaan, tentunya masih ada rasa bersalah, marah, dan dendam yang selalu mengejar pelaku (orang yang terlibat) maupun korban dari perang tersebut.


Nenek moyang Atoin meto saat itu tidak berpikir ke depan mau jadi apa, bergaul dan menikah dengan siapa? Karena semua itu mengalir seperti waktu dan sungai. Mereka terbakar oleh amarah ideologi atau paham apa pun demi memuaskan ego dan superioritasnya. Akibatnya, terjadilah perang. Maka, pendapat dari Heraklitos pun berlaku dalam konteks ini.


Di mana untuk mencairkan kembali perselisihan kedua suku, terutama yang menjalin pernikahan adat, langkah pertama adalah melalui Hel Keta.


Karena Hel Keta itu dapat menyembuhkan dan mencairkan suasana luka batin nenek moyang. Apa yang terjadi pada nenek moyang, biarkan itu menjadi cerita di ujung pena para penyair. Sementara, kehidupan terus berjalan. Begitu pun dengan siklus cinta.


Cinta itu tidak mengenal siapa? Karena pada kodratnya kita ini hidup dari kolaborasi atau kerja sama cinta 'Eros, Philia, dan menuju kasta tertinggi dalam dunia percintaan, yakni Agape.


Untuk mendekatkan cinta agape dalam konteks kita adalah melalui cinta pasangan muda yang berbeda kebudayaan. Karena dari situ, mereka akan menerima kelebihan dan kekurangan dari pasangan, termasuk menerima keluarga besarnya.


Sungai Noelbaki sebagai Saksi bisu dari Pernikahan Eugenius Suni dan Juliana Min Kun

Foto oleh: Fredy Suni

Di bawah terik matahari sore, ada langit jingga yang bertaburkan desiran air sungai Noelbaki. Noelbaki berada di Kecamatan Kupang Tengah. Sejauh mata memandang, ada hamparan perbukitan yang dikombinasikan dengan alam yang indah, keramahtamahan atoin meto dalam memadu tali pernikahan antara Eugenius Suni dan Juliana Min Kun.


Pertalian kedua keluarga besar dari daratan Timor (Haumeni) dan Rote menjadi sejarah peradaban nusantara di bawah semangat Hel Keta.


Filsuf Baruch de Spinoza mengatakan semesta itu memiliki satu substansi tunggal yakni alam atau Allah.


Pandangan Filsuf berdarah Yahudi dan Portugis ini berangkat dari tradisi leluhurnya. Karena ia tahu bahwa sehebat, sepandai, secerdas, dan sesuperior apa pun dari jabatan manusia itu hidup dari budaya.


"At moen toka ha adat, matem sat tok adat yang berarti masyarakat Dawan (Atoin Meto) lahir dan besar dalam genggaman budaya, mereka juga akan meninggal dalam kebudayaan Timor."


Justru yang benar adalah setiap ideologi itu sudah ada jalurnya. Jadi, ketika satu ideologi atau paham ajaran apa pun yang berusaha untuk masuk dan mengubah semua kepercayaan masyarakat Dawan, tentunya itu kurang tepat.


Karena bangsa Indonesia dikenal dunia internasional bukan karena kehebatan paham apa pun, tetapi karena ada eksotisme alam dan kebudayaannya. 


Inilah substansi tunggal kolaboratif antara alam dan Allah dalam masyarakat Dawan.


Kearifan lokal Hel Keta sebagai identitas masyarakat Dawan


Filsuf Albert Camus berontak karena kemanusiaan. Sementara Sartre berontak karena ego dan superioritasnya.


Demikian masyarakat Dawan tidak akan pernah melupakan sejarah kebudayaannya. Karena kematian itu adalah urusan internal setiap orang, bukan urusan organisasi atau paham apa pun.


Merawat kebudayaan Hel Keta adalah sesuatu yang penting dan wajib dilakukan oleh generasi muda Timor. Hal ini bukan berarti kita menolak kebudayaan lain atau pun paham lain. Tetapi ketika kita menguatkan identitas kita, maka kita akan mudah menerima keberadaan budaya lain.


Perjalanan penulis selama belasan tahun di tanah rantau telah mengajarkan penulis untuk tetap berakar dalam kebudayaan setempat. 


Plato juga pernah mengajarkan kepada kita bahwa tugas kita tidak hanya mendengarkan pemimpin, tetapi kita juga berhak untuk membangunkan pemimpin dari tidurnya. 


Dalam hal ini, Hel Keta terus ditingkatkan karena ini menyangkut kearifan lokal nusantara. Kearifan lokal Hel Keta sudah ada dalam perlindungan Pancasila. Hal ini senada atau serupa dengan pemikir-pemikir yang berada di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, yakni; Metodologi studi Kearifan Lokal ~ Pancasila bagaimana dijalankan? Kearifan lokal bagaikan sumber – sumber alam yang berharga yang tersembunyi dalam – dalam di tanah keseharian hidup masyarakat yang terbentang di seluruh wilayah Indonesia. Studi kearifan lokal mengandaikan metodologi studi kebudayaan, studi filsafat nilai – nilai tradisi, studi pula prinsip – prinsip hidup bersama, dan studi cita rasa religius populis yang tidak reduktif pada tataran tekstual seperti konsep agama – agama institusional, serta pengalaman konkret masyarakat dalam menapaki peziarahan hidup bersama.[1] 


Referensi: Riyanto Armada dkk. Kearifan Lokal~ Pancasila Butir – Butir Filsafat Keindonesiaan. Kanisius: Yogyakarta, 2015.

Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Hi salam kenal ya!!! Saya Frederikus Suni, biasanya disapa Fredy Suni adalah pendiri dari Tafenpah. Profesi: Kreator Digital | Saya adalah mahasiswa Droup Out/DO dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dan Universitas Dian Nusantara (Undira). Saat ini bekerja sebagai Kreator Konten Tafenpah Group | Saya pernah menjadi Wartawan/Jurnalis di Metasatu.com dan NTTPedia.id || Saya pernah menangani proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI || Saya pernah magang sebagai Copywriter untuk Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta. Saat ini fokus mengembangkan portal yang saya dirikan yakni: www.tafenpah.com || www.pahtimor.com || www.hitztafenpah.com || www.lelahnyahidup.com || www.sporttafenpah.com || Mari, kita saling berinvestasi, demi kebaikan bersama || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Noelbaki dan Sejarah Hel Keta dalam Pandangan Filsuf Baruch de Spinoza"