Veronica Tan dan Sherly Tjoanda, Perspektif Gender tidak Sebatas Teknis, Tapi Memberi Ruang

Penulis : Frederikus Suni 

Veronica Tan dan Sherly Tjoanda, Perspektif Gender tidak Sebatas Teknis, Tapi Memberi Ruang. Sumber gambar Instagram @veronicatan_official/Tafenpah.com 


TAFENPAH.COM - Veronica Tan dan Sherly Tjoanda merupakan dua figur publik keturunan Tionghoa yang karir politiknya makin mentereng.

Veronica Tan, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia di bawah Kabinet presiden Prabowo Subianto terus berupaya untuk menghadirkan ruang setara bagi seluruh perempuan yang ada di tanah air di berbagai bidang kehidupan.

Sementara, Sherly Tjoanda merupakan Gubernur Maluku Utara yang kepemimpinannya juga tak kalah mentereng.


Keberadaan kedua perempuan berpengaruh Indonesia ini, tidak terlepas dari kecintaan masyarakat terhadap keduanya.

Veronica Tan dan Sherly Tjoanda, Perspektif Gender tidak Sebatas Teknis, Tapi Memberi Ruang. Sumber gambar Instagram @veronicatan_official/Tafenpah.com


Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang masyarakat percayaan kepada mereka, keduanya terlihat dalam ruang diskusi yang melahirkan solusi nyata, terutama terhadap eksistensi atau keberadaan perempuan di ruang publik.

Dalam unggahan terbaru Veronica Tan melalui feed Instagram pribadinya @veronicatan_official per hari ini, Rabu (11/6/2025), mantan istri Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan dirinya sedang menggodok kebijakan yang pro-rakyat, terutama kepada perempuan dan anak Indonesia tanpa terkecuali.

"Pagi tadi saya bertemu dengan perwakilan dari ke-38 provinsi untuk menyatukan arah. Perencanaan yang memasukkan perspektif gender bukan hanya soal teknis, tapi tentang memberi ruang bagi semua untuk bertumbuh," jelas Veronica.

Veronica Tan dan Sherly Tjoanda, Perspektif Gender tidak Sebatas Teknis, Tapi Memberi Ruang. Sumber gambar Instagram @veronicatan_official/Tafenpah.com



Arti dari pernyataan Veronica Tan di atas, tentunya berfokus pada bagaimana langkah konkretnya dalam memberikan ruang akselerasi yang sebebas-bebasnya kepada kaum perempuan untuk terlibat dalam kemajuan politik nasional.

Kendati demikian, kebebasan mutlak yang dimaksudkan Veronica Tan juga diimbangi dengan batas-batas etika dan moral yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Veronica Tan juga menyakini bahwasannya, program - program kesetaraan yang melibatkan unsur empati, terkesan lebih bermakna.

"Saya percaya, ketika kita merancang dengan empati, hasilnya akan lebih terasa dan bermakna," tambahnya.

Bersama dengan sahabat lama saya, gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda mengingatkan bahwa pertumbuhan biasanya lahir dan tumbuh dari obralan sederhana.

Veronica Tan dan Sherly Tjoanda, Perspektif Gender tidak Sebatas Teknis, Tapi Memberi Ruang. Sumber gambar Instagram @veronicatan_official/Tafenpah.com



Misalnya, hari ini dari sebuah meja makan yang sederhana, kami membicarakan banyak hal. Tanpa terasa, ide/gagasan untuk membangun ruang digital yang pro perempuan dan anak-anak pun lahir.

Artinya; ketika kita sungguh - sungguh memahami sesuatu, separuh pekerjaan kita sebenarnya sudah selesai.

Pembicaraan dari dua sahabat lama yang kini menjelma sebagai "the power of Women" Indonesia mengingatkan penulis, termasuk pembaca TAFENPAH akan metode dialektika dari filsuf Sokrates dalam mencari ilmu pengetahuan.

Veronica Tan dan Sherly Tjoanda, Perspektif Gender tidak Sebatas Teknis, Tapi Memberi Ruang. Sumber gambar Instagram @veronicatan_official/Tafenpah.com



Pada zaman dahulu, negeri Yunani hampir semua bidang kekuasaannya di bawah pengaruh dan kendali para pemimpin.

Entah pemimpin itu berasal dari kalangan (raja-raja kecil yang memimpin setiap suku), pemimpin wilayah (distrik) atau desa, kampung, kabupaten, kota, provinsi hingga negara semuanya sudah diatur dalam sistem sosial, sesuai dengan daerah kekuasaan masing-masing pemimpin tersebut.

Chaosnya, banyak pemimpin termasuk masyarakatnya yang memilih untuk menjual ilmu pengetahuan.

Kelompok ini dalam ajaran Filsafat Barat disebut kaum Sufi.

Disclaimer; Kelompok Sufi dalam pandangan penulis ini tidak berkaitan dengan ajaran apa pun, terutama agama Islam. Melainkan ini murni dari hasil pemikiran masyarakat Yunani klasik.

Di mana, kelompok Sufi ini merupakan kaum intelektual dan memiliki pengaruh dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kendati demikian, mereka memiliki sifat yang kurang terpuji. Di mana, mereka memanfaatkan kecerdasan mereka untuk menjual Ilmu pengetahuan, demi mendapatkan keuntungan material, moral, etika hingga status sosial.

Dalam kekacauan (chaos) tersebut, filsuf Sokrates, bapak atau gurunya filsuf Plato dan Aristoteles berusaha untuk menggali apa yang tersadari dan tidak tersadari masyarakat dalam kehidupan sosial, politik dan lainya.

Menariknya, filsuf Sokrates menggunakan metode BIDAN.

Dalam pemahaman kita, tugas seorang Bidan adalah membantu pasien untuk melahirkan.

Sementara dalam pandangan Sokrates, metode BIDAN/MAIEUTIKA/DIALEKTIKA adalah proses percakapan (komunikasi) antara dirinya dan orang yang terlibat dalam diskusi tersebut.

Tujuan dari percakapan antara Sokrates dan orang yang ia temui adalah mengeluarkan aspirasi/ide/gagasan dari pribadi tersebut.

Karena Sokrates melihat, kekacauan yang disebabkan oleh pemimpin negara, termasuk kaum Sufi akan mempengaruhi pola pikir generasi muda.

Untuk itu, cara terbaik bagi Sokrates adalah terus melibatkan dirinya dalam berbagai percakapan dengan orang yang ia jumpa di pinggir kali, sungai, para petani, nelayan, kaum terpinggirkan (marginal), dan kelompok yang rentan terhadap politik adu domba penguasa.

Kendati perjuangan Sokrates pada akhirnya harus berakhir dengan meminum racun di hadapan penguasa untuk memperjuangkan kebenaran, turut menginspirasi setiap generasi di dunia ini hingga saat ini dalam mengejar nilai-nilai universal.

Perjuangan itulah yang kini dihidupi oleh Veronica Tan dan Sherly Tjoanda dalam menciptakan ekosistem pemerintahan yang transparan, pro rakyat, dan tentunya berpihak pada kaum perempuan yang selama berabad-abad hidup dalam bayangan sistem feodal dan patriarki di negeri ini.

Kisah perjumpaan, obralan sederhana di ruang makan antara Veronica Tan dan Sherly Tjoanda mengajarkan kepada kita untuk berani dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.

Terutama para pemegang kekuasaan, baik di kalangan swasta maupun pemerintahan dalam menciptakan ekosistem jejaringan yang setara dalam kehidupan sehari-hari.

Terima kasih untuk inspirasinya, Ibu Veronica Tan dan Sherly Tjoanda.

Sumber Inspirasi Instagram @veronicatan_official.

Apabila tulisan ini bermanfaat, silakan pembaca TAFENPAH bagikan kepada komunitas, sahabat, kenalan dan siapa pun sebagai dukungan terhadap kesetaraan gender di ruang publik tanah air.

Instagram penulis : @suni_fredy

Tiktok : @tafenpah.com

Admin TAFENPAH
Admin TAFENPAH Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: Perspektif Tafenpah|| TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @frederikus_suni || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Veronica Tan dan Sherly Tjoanda, Perspektif Gender tidak Sebatas Teknis, Tapi Memberi Ruang "