Beda Generasi Beda Cerita, Bagaimana Netizen Memahami Pola Pikir dan Apa Peran Budaya Lokal untuk Menjembatani Perbedaan?
Penulis : Frederikus Suni
![]() |
Dok; TAFENPAH.COM |
TAFENPAH.COM - Perbedaan generasi pada dasarnya, bukanlah persoalan yang mestinya kita takutkan dalam kehidupan harian. Karena di dalam perbedaan itu sendiri terdapat ruang komunikasi.
Untuk membangun komunikasi yang baik antar generasi, pertama - tama kita melakukan penetrasi sosial melalui kearifan lokal budaya.
Karena dalam budaya, perbedaan cara pandang, pola pikir, dan karakter terjawantahkan atau terwujud dalam semangat kolaborasi.
Baca Esai Pendidikan NTT: 3 Poin Penting di Balik SMA Unggul Garuda, Nomor 2 Cocok dengan Filosofi Suku Dawan Timor NTT
Elaborasi dari ketiga poin di atas memberikan pedoman kepada kita untuk tidak meninggikan ego. Melainkan, kita memaknai perbedaan sebagai wahana atau perjalanan menuju pencarian jati diri.
Untuk menggambarkan persoalan di atas, saya akan menggunakan analogi dari filsafat kuno Yunani, yakni; slogan yang terpampang dalam gua pengetahuan yaitu 'BE YOURSELF.'
Be Yourself dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah 'KENALILAH DIRIMU.'
Artinya; dengan menyadari perbedaan di antara kita, dalam konteks 'Beda Generasi, Beda Cerita,' mengandaikan pemahaman komprehensif (menyeluruh) terhadap apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan di dalam diri kita.
Momentum ini secara tak sadar memberikan gambaran kepada kita untuk melihat segala sesuatu yang kita jumpai dalam kacamata humanis.
Humanisme di Balik Term Beda Generasi Beda Cerita
Etimologi atau akar kata dari istilah 'beda generasi beda cerita,' menampilkan cara pandang generasi old (tua) dengan generasi zaman now.
Generasi old memaknai kehidupan sebagai ekosistem persahabatan yang terjalin dalam hubungan kekeluargaan, semangat kebersamaan, gotong royong, musyawarah, budaya saling menghargai dan menghormati, menjunjung tinggi nilai-nilai universal (kemanusiaan).
Sedangkan, generasi zaman now cenderung mengagungkan rasionalitas. Artinya; generasi muda ini bertindak berdasarkan akal sehat, logika, dan bukti (data) yang ada, ketimbang emosi dan intuisi, seperti yang generasi tua lakukan.
Kendati demikian, kita tidak boleh jatuh dalam pemikiran dangkal. Karena dalam pemikiran ini, pada akhirnya kita akan jatuh pada ketidakcocokan.
Lebih jauhnya, secara garis besar generasi tua menjiwai semangat komunitas/komunal. Sementara, generasi muda menghidupi semangat individualistik.
Pola Pikir Komunitas dan Individualistik
Dalam menciptakan ekosistem persahabatan, generasi tua sampai kapan pun akan tetap berpegang pada prinsip semangat komunitas.
Karena dalam semangat komunitas, persoalan apa pun dengan mudah diselesaikan secara kekeluargaan.
Sebaliknya, prinsip hidup individualistik generasi muda pada satu sisi melahirkan kreativitas, namun di lain pihak pola pikir tersebut menciptakan batas-batas sosial.
Antara semangat kekeluargaan dan gaya hidup individualistik menyebabkan ketidakharmonisan antar generasi.
Makanya, dalam berbagai kasus, entah di lingkungan perguruan tinggi, pekerjaan, dan pergaulan kita selalu menemui pergolakan antar kedua generasi.
Ketika kita berhadapan dengan persoalan demikian, kesan pertama yang muncul dalam benak pikiran kita adalah saling menyalahkan.
Tuding-menuding pada dasarnya tidaklah salah! Jika kita berkaca pada hukum humanisme (positivisme).
Karena di balik klaim tersebut, lahirkan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya setiap individu menjalankan perannya.
Peran generasi muda merupakan bagian akumulasi dari tindakan generasi tua.
Artinya; seandainya tindakan generasi tua selalu berpedoman pada hukum humanisme, maka generasi muda pun akan mengikutinya.
Kendati demikian, kita tidak boleh menyamaratakan individu yang satu dan lainnya.
Apalagi memaksakan kebenaran yang pada zaman dahulu mungkin sesuai dengan konteks kehidupan saat itu, belum tentu kebenaran itu masih relevan dengan kehidupan generasi muda saat ini.
Sebagai jalan penyatuan (integrasi), kita akan menggunakan jalur kearifan lokal budaya.
Budaya sebagai Akselerasi Persatuan Generasi Tua dan Muda dalam Bingkai Pancasila
Dalam sistem kehidupan sosial dan budaya, apa pun latar belakang pendidikan, cara pandang, ideologi, pemikiran dan lainnya selalu berorientasi pada kehidupan harmonis.
Harmonisasi pemikiran generasi tua dan muda tercantum dalam ke-5 Sila Pancasila.
Di mana, Pancasila bukan hanya sebatas hukum dari segala hukum yang ada di Indonesia.
Melainkan, Pancasila sebagai pandangan hidup (filosofi) kehidupan warga Indonesia yang sangat plural.
Pluralisme warga Indonesia yang di dalamnya ada generasi tua dan muda bagaikan mutiara - mutiara tersembunyi dari rahim Nusantara.
Sebagai pilar pemersatu bangsa, Pancasila juga membuka cara pandang kita untuk menjalankan peran kita berdasarkan pemikiran kritis, komprehensif, metodologis dan tentunya humanis.
Lantas, dari mana sajakah kita memulai rekonstruksi sosial?
Untuk memulihkan ingatan sosial, pertama-tama mendalami nilai-nilai kearifan lokal budaya dari mana kita lahir, bertumbuh, dan berproses menjadi warga Indonesia saat ini.
Dalam konteks perbedaan cara pandang dan makna hidup antar generasi tua dan muda, rekonstruksi sosial yang tepat dan efektif adalah mempelajari filosofi kearifan lokal budaya kita.
Sebagai pendekatan kontekstual, saya yang berasal dari suku Dawan Timor (Atoin Meto) provinsi Nusa Tenggara Timur selalu menyakini konsep "NEKAF MESE, ANSAOF MESE, TAFEN HIT PAH."
Filosofi bahasa Dawan Timor ini dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah 'SATU PIKIRAN, SATU HATI, MEMBANGUN BANGSA KITA."
Konsep PAH (Bangsa) atau NATION dalam bahasa Inggris adalah kumpulan manusia yang memiliki kesamaan asal, bahasa, dan tradisi untuk membentuk sekaligus mengkonstitusikan entitas politiknya.
Artinya; dari sekian banyaknya individu dalam satu negara, mereka selalu menyakini satu pikiran, satu hati guna membangun harapan politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budayanya serta aspek penting lain yang pada muaranya membentuk seperasaan, sepenanggungan, sepemikiran di peradaban zaman.
Zaman boleh berubah, termasuk perbedaan antar generasi, tetapi hati dan pikiran kita selalu menjadi satu dalam perbedaan (unity in Diversity).
Semakna dengan konsep Atoin Meto Timor Barat Indonesia yakni; NEKAF MESE, ANSAOF MESE, TAFEN HIT PAH.
Saya pun menyakini bahwasannya setiap orang termasuk budayanya selalu mengajarkan nilai-nilai universal.
Nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan bersama dalam membangun bangsa Indonesia.
Epilog dan Solusi
Sebagai epilog atau penutup dari pembahasan ini, saya mengambil hipotesa yakni; perbedaan generasi termasuk cara pandang, bukanlah satu persoalan besar. Jika dalam menjalani kehidupan harian kita selalu berpegang pada prinsip Unity in Diversity (satu dalam perbedaan) yang terjawantahkan dalam ke-5 Sila Pancasila.
Selain itu, dengan memahami pola pikir, perilaku serta perbedaan zaman, sampai kapan pun kita akan tetap bersama.
Kebersamaan itu indah, apabila kita menerima keadaan, kelebihan dan kekurangan diri setiap pribadi.
Sebagai semangat kolaborasi, saya pun mengajak rekan-rekan pembaca TAFENPAH untuk ikut membagikan (share), esai ini agar keindahan serta pesan moral ini juga dinikmatin oleh setiap orang di era keterbukaan informasi dan komunikasi abad ke-21 ini.
Disclaimer: Esai ini didasarkan pada analisa, studi kasus, dan pengalaman empiris penulis sendiri.
Esai ini juga tidak bermaksud untuk mendikte, apalagi menggurui pembaca TAFENPAH!
Apabila esai populer ini tidak berkenan, tidak runtut dan komprehensif, mohon kritik dan saran membangun dari pembaca TAFENPAH di mana pun, demi perbaikan tulisan ini ke depannya.
Salam hangat dari saya✍️✍️✍️
Instagram penulis : @suni_fredy
YouTube : Perspektif Tafenpah
Tiktok : @tafenpah.com
Posting Komentar untuk "Beda Generasi Beda Cerita, Bagaimana Netizen Memahami Pola Pikir dan Apa Peran Budaya Lokal untuk Menjembatani Perbedaan?"
Posting Komentar
Diperbolehkan untuk mengutip sebagian materi dari TAFENPAH tidak lebih dari 30%. Terima kasih