Sepenggal Kisah tentang Perjuangan Sepasang Kekasih Muda di Perbatasan Indonesia dan Timor, Ketika Terjadi Krisis Ekonomi 1998 - 1999 dan Keadaan Batin Anaknya di Ujung Timur Pulau Jawa

Penulis : Frederikus Suni 

Sepenggal Kisah tentang Perjuangan Sepasang Kekasih Muda di Perbatasan Indonesia dan Timor, Ketika Terjadi Krisis Ekonomi 1998 - 1999 dan Keadaan Batin Anaknya di Ujung Timur Pulau Jawa. Freepik/TAFENPAH.COM

TAFENPAH.COM - Cerita keseharian perantau dalam menemukan makna pencarian kebahagiaannya di negeri asing, sejatinya menyimpan kekayaan makna.

Sayangnya, industri media kerap kali mengabaikan kisah-kisah heroik tersebut. Karena fokus utama media mainstream (media besar) tanah air selalu tertuju pada bidang politik, ekonomi, pendidikan, militer, budaya, teknologi hingga hal-hal remeh temeh terkait kehidupan selebritis (gaya hidup), termasuk di dalamnya adalah urusan korupsi, skandal pejabat pemerintahan.

Kendati demikian, hal tersebut adalah sah-sah saja. Karena bagaimanapun juga, mayoritas media massa dipengaruhi oleh pihak investor (pemodal).

Artinya, industri media nasional terafiliasi dengan lingkungan kekuasaan. Entah kekuasaan itu berasal dari kalangan pejabat negara hingga pemilik modal.

Inilah wajah baru dari arah pemberitaan media massa di abad ke-21.

Jauh dari kebisingan informasi tentang skandal pejabat, artis, kasus pencucian uang negara (korupsi), TAFENPAH sebagimana mestinya yang fokus utamanya dalam pemberitaan seputar kearifan lokal budaya nusantara, khususnya cerita-cerita keseharian etnis Dawan Timor NTT, juga menyediakan ruang bagi para perantau untuk ikut mengisahkan keadaan/disposisi batinya dalam mencari kehidupan yang layak di tanah perantauan.

Sejujurnya, pada dasarnya setiap orang jika diberi pilihan antara tetap tinggal di kampung halamannya dan merantau, mayoritas akan memilih untuk tetap di kampung halamannya.

Karena selama mereka (perantau) hidup, menetap dan berkarir di kampung halamannya, rasa aman selalu mereka dapatkan.

Dalam artian, entah para perantau bekerja atau tidaknya, kebutuhan akan makan dan minum serta ketersediaan tempat tinggal (rumah) selalu terpenuhi.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kehidupan di tanah rantau. Di mana, selama di tanah rantau, diaspora (perantau) ini mau tidak mau harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hariannya.

Sisi positifnya adalah para perantau secara mental, mereka sudah sangat terlatih dengan kerasnya kehidupan selama di tanah rantau.

Artinya; selama di tanah perantauan, para diaspora tersebut sudah belajar untuk hidup mandiri, bertanggung jawab, pekerja keras, tidak cengeng, dan selalu termotivasi untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka.

Tak jarang pula, para perantau ini meraih kesuksesan selama di tanah rantau.

Kesuksesan dalam hal ini tidak harus berkaitan dengan penghasilan yang besar serta kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hariannya.

Namun, kesuksesan yang TAFENPAH maksudnya adalah bagaimana mereka (perantau) survival dengan dinamika kehidupan kota-kota metropolitan yang selalu berubah sesuai perkembangan zaman.

Jauh dari persoalan di atas, pada kesempatan ini, TAFENPAH akan mengisahkan perjuangan seorang perantau dalam menemukan arti kehidupan selama di tanah asing.

Pada tahun 2014 silam ( 11 tahun) yang lalu, di sebuah keluarga yang tinggal di salah satu pedesaan terpencil, perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, tinggallah sepasang kekasih muda yang pernikahannya di awal - awal tidak direstui oleh pihak perempuan.

Terutama adik-adik dari pihak perempuan. Untuk menanggapi penolakan tersebut, pihak lakinya berusaha sedemikian keras untuk memenangkan hati keluarga besar calon istrinya.

Perjuangan tersebut, akhirnya terbayar dengan pernikahan sepasang kekasih muda itu, walaupun dirayakan dengan sederhana. Tetapi pernikahan tersebut memberikan kebahagiaan tersendiri di mata lelaki.

Hasil dari pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra.

Canda tawa terus menghisap pasangan muda tersebut. Meski mereka harus menumpang (nebeng) di rumah mertuanya yang kebetulan adik - adik dari pihak perempuan juga tinggal di dalamnya.

Perlahan, tapi pasti rasa ketidaksenangan dari adik - adiknya pihak perempuan, seakan menghantui keadaan batin dari pihak laki.

Dalam kondisi tersebut, setelah melalui pertimbangan matang, akhirnya pihak laki memutuskan untuk keluar dari rumah mertuanya dan tinggal bersama orang tuanya.

Di bawah terang bulan purnama di daratan pulau Timor, ada secercah harapan di mata pihak lelaki untuk terus memberikan yang terbaik untuk kelangsungan hidup anak dan pasangannya.

Meskipun di saat musim hujan melanda pulau Timor manise, sepasang keluarga kecil tersebut harus berjuang untuk tidak basah, karena rumah yang mereka tempati tidak layak, karena atapnya yang terbuat dari alang-alang.

Dan bukan menjadi rahasia umum lagi. Di mana, saat itu mayoritas perumahan penduduk di desa tersebut terbuat dari alang-alang dan berdindingkan bebak.

Bebak ( pelepah atau batang pohon lontar). Mengingat pohon lontar tumbuh subur di daratan Timor dan sekitarnya.

Jadi, warga di pulau Timor, khususnya di desa terpencil (tempat tinggal) sepasang kekasih muda tersebut tinggali.

Belum lagi tempat tidur yang terbuat dari anyaman daun lontar dan beralaskan batang pohon bambu (hasil olahan pohon bambu) yang biasanya digunakan untuk alas tempat tidur, dinding rumah, kandang ayam, kambing, sapi, babi dan tergantung fungsi kebutuhannya dari masyarakat setempat.

Kisah perjuangan kekasih muda tersebut semakin sulit, ketika krisis ekonomi tahun 1998-1999, zaman Presiden Soeharto (almarhum).

Di mana, krisis ekonomi nasional tersebut tidak hanya meluluhlantakkan kehidupan warga di kota - kota metropolitan Indonesia, termasuk juga krisis kemanusiaan yang dialami oleh saudara - saudari kita dari keturunan Tionghoa.

Tetapi, dampaknya juga menghantui keseharian warga Indonesia di perbatasan provinsi Nusa Tenggara Timur  (termasuk krisis kemanusiaan warga Timor Timur) yang kini menjadi negara berdaulat Timor Leste makin memperparah kehidupan ekonomi dan sosial di tanah perbatasan.

Untuk bertahan dari krisis ekonomi tersebut, pasangan muda di atas, setiap hari hanya makan ubi (singkong).

Si kecil (anak dari pasangan tersebut) setiap hari disuapin bubur (hasil tumbukan atau olahan singkong).

Mungkin untuk saat ini, ketika anak-anak di perbatasan Indonesia dan Timor Leste diberi makan singkong, mereka pastinya tidak akan mengonsumsinya.

Karena rasanya dapat pembaca bayangkan sendiri. Namun, pada saat itu, mau tidak mau keadaan memang memaksa setiap orang, terlebih anak dari hasil pernikahan sepasang kekasih muda tersebut.

Singkatnya, anak kecil itu bertumbuh dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan. Jangankan saat ini kita berbicara makanan 4 sehat dan 5 sempurna.

Beras (nasi) yang saat itu pun sulit untuk kita dapatkan. Karena hasil pertanian warga pedesaan tidak mencukupi kebutuhan sehari - hari.

Selain itu, letak geografis daratan Timor yang mayoritas bebatuan karang, tandus dan kering menjadi faktor gagal panen.

Keadaan tersebut berlanjut hingga si anak kecil itu memasuki jenjang pendidikan dasar hingga menamatkan diri dari sekolah menengah atas (SMA) di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.

Sepenggal kisah Perjuangan Perantau di Negeri Asing 

Bulan Juli tahun 2014, anak dari pasangan muda dalam kisah di atas memutuskan untuk keluar dari pulau Timor dan memulai kehidupan barunya di salah satu kota Malang, Jawa Timur.

Awalnya, anak tersebut mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Pasalnya, selama di kota paling Timur pulau Jawa tersebut, dinamika kehidupannya jauh lebih kompleks, ketimbang kehidupannya di pulau Timor yang mayoritas masih warga Atoin Meto.

Lebih tepatnya si anak tersebut mengalami geger budaya. Tentu saja, persoalan geger budaya hampir dialami oleh semua perantau.

Kendati demikian, anak itu harus berjuang untuk tetap survive dengan keadaan lingkungan barunya.

Senada dengan salah satu lirik lagu dari karya Wizz Baker (Rindu Rumah) yang saat ini view atau penontonnya sudah mencapai 42 juta.

"Tahun berganti tahun. Waktu mengajakku tumbuh dewasa. Banyak suasana telah berubah. Karena hukum dan tuntutan dunia."

Demikian penggalan lirik lagu tersebut setali dengan keadaan si anak di tanah Jawa.

Keadaan barunya memaksa si anak untuk tumbuh dewasa. 

Kedewasaannya diuji, pasca atau ketika dirinya jauh dari orang tua. Di mana, ia harus berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri.

Tangisan, penyesalan, rasa rindu, keinginan untuk kembali ke rumahnya terus melebur dalam kesehariannya.

Salah satu momen terpenting dari si anak adalah ketika ia gagal dalam studinya, alias droup out dari kampusnya.

Beban moral seakan memaksanya untuk lari dari kehidupannya. Namun, itulah realita hidup. 

Di mana, ada kalanya rencana (impian) tak seindah imajinasi atau bayangan.

Dalam kondisi tersebut, ia memaksa dirinya untuk bekerja sambil melanjutkan kuliahnya.

Karena ia selalu yakin, pendidikan tidak akan serta merta memberikan apa yang dirinya butuhkan dalam hidup. Namun, setidaknya dengan pendidikan yang baik, nantinya akan ada banyak kesempatan.

Itulah kesadaran pertama ya ia rasakan, ketika dirinya sudah keluar dari kampus pertamanya dan mengalami diskriminasi di tengah tuntutan pekerjaan.

Untuk menghadapi diskriminasi pekerjaan, anak itu berusaha untuk melanjutkan studi dan belajar apa pun.

Lebih detailnya nanti TAFENPAH akan ulas lagi di episode kedua yang akan tayang pada hari Senin, 2 Juni 2025.

Untuk mengikuti kelanjutan episode kedua, silakan ikutin media sosial TAFENPAH 👇 👇 👇 👇 


Instagram : @suni_fredy

Tiktok : @tafenpah.com

YouTube : Perspektif Tafenpah 







Admin TAFENPAH
Admin TAFENPAH Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: Perspektif Tafenpah|| TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @frederikus_suni || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Sepenggal Kisah tentang Perjuangan Sepasang Kekasih Muda di Perbatasan Indonesia dan Timor, Ketika Terjadi Krisis Ekonomi 1998 - 1999 dan Keadaan Batin Anaknya di Ujung Timur Pulau Jawa "