Pendekatan Nilai Kebudayaan Suku Dawan Timor dan Agama sebagai Antisipasi Sikap Intoleran

Penulis : Frederikus Suni 

Ilustrasi gambar 3D terkait Pendekatan Nilai Kebudayaan Suku Dawan Timor dan Agama sebagai Antisipasi Sikap Intoleran. Sumber gambar; Meta AI/Frederikus Suni/Tafenpah.com


TAFENPAH.COM - Setiap kebudayaan yang berada di wilayah Kesatuan Republik Indonesia ini, pada dasarnya mengajarkan anggotanya untuk selalu hidup berdampingan dengan orang lain. Semangat hidup ini juga berlaku dalam kehidupan Atoin Meto (Suku Dawan Timor) NTT yang mayoritasnya menganut kepercayaan Katolik Roma dan sebagian beragama Kristen, Islam, dll.

Pendekatan ini memungkinkan kita untuk melihat betapa indahnya hidup di tengah Keberagaman.

Apalagi sebagai warga Indonesia, tentu saja dalam menjalani rutinitas harian, kita selalu bersentuhan dengan berbagai kepentingan, termasuk perbedaan aliran kepercayaan, pola pikir, tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, bahasa, karakter dan lain sebagainya.




Kendati kita selalu berbeda dalam cara pandang, tapi pada esensinya kita disatukan oleh semangat Pancasila.

Pancasila adalah pedoman, filosofi, pegangan hidup bagi setiap orang untuk merangkai masa depannya secara bebas dan bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban sikap dan perilaku kita akan terlihat, bilamana dalam keseharian, kita tidak bersikap acuh tak acuh terhadap persoalan - persoalan terbesar bangsa.

Salah satu kasus atau persoalan terbesar yang kini dihadapi oleh warga Indonesia adalah terkait sikap intoleran.

Sebagaimana yang kita baca dan saksikan melalui berbagai pemberitaan di media massa, terutama tindakan anarkis dari sekelompok intoleran terhadap anak - anak dan remaja, ketika mereka sedang melangsungkan kegiatan retret di rumah singgah atau vila, tepatnya di Kampung Tangkil RT 4, RW 1 desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Jumat (27/6/2025).

Kasus intoleran ini tentunya mencoreng semangat Bhineka Tunggal Ika.

Dalam kondisi seperti ini, warga minoritas pastinya memiliki banyak pertanyaan. Salah satu pertanyaan mendasar dari setiap warga minoritas adalah 'Apakah slogan toleransi dan semangat pluralisme hanya sebatas jargon di bangsa ini?

Silakan kita merenungkan pertanyaan ini! Yang pasti, saya sebagai warga minoritas merasa kecewa dengan tindakan intoleran dari sekelompok massa di desa Tangkil, Sukabumi - Jawa Barat.

Wajar saya katakan atau utarakan perasaan demikian. Namun, saya pun menyadari diri, bahwasannya ketika tindakan amarah memenuhi pikiran, kemudian terealisasi dalam berbagai upaya anarkis, sama saja saya menelanjangi dan melukai nilai-nilai kebudayaan dari mana saya lahir, bertumbuh, dan berproses menjadi warga Indonesia yang taat hukum.

Jika saya membalikkan pertanyaan demikian dan tujukan kepada sekelompok intoleran di atas, apakah mereka akan menerimanya?

Mungkin saja ada yang menerima, tapi mayoritas akan menolaknya. Bagi saya, persoalan demikian tidak penting!

Karena sebagai manusia yang mempunyai identitas kebudayaan, saya tidak menginginkan, apalagi mengengkangi nilai-nilai kebudayaan saya yang selalu mengajarkan saya untuk tidak hidup dalam cengkeraman fobia terhadap keberadaan orang lain, terutama kepercayaannya.

Saya yakin bahwasannya setiap agama mengajarkan umatnya untuk tidak bersikap acuh tak acuh, menyebarkan ujaran kebencian, iri hati, dendam dan berbagai aksi anarkis di tengah pluralisme.

Dalam kasus pengrusakan rumah singgah atau vila yang menyebabkan trauma anak-anak dan remaja di atas, tanggapan gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyiratkan makna simbolik yakni, siapa pun kita dan saat ini tinggal di wilayah NKRI, sudah seharusnya kita menjunjung tinggi nilai-nilai universal, sebagaimana yang terjawantahkan dalam ke-5 Sila Pancasila.

Kendati demikian, setiap orang punya pemikirannya sendiri. Artinya; apa yang kita anggap benar, belum tentu nilai itu diterima oleh orang lain.

Silogisme ini akan membawa kita pada abad-abad kelam di mana persoalan mengusik kehidupan beragama sesama akan menyulut api kemarahan, sebagaimana yang kita pelajari dari kasus meletusnya 'Perang Saudara Ambon atau yang kita kenal dengan sebutan Konflik Maluku pada tahun 1999-2002.'

Di mana kasus tersebut di dalamnya juga menyisipkan kepentingan politik, ambisi politisi, dan oknum-oknum yang memiliki kekuasaan dalam bidang apa pun.

Akibatnya, warga Ambon yang sudah sejak berabad-abad hidup dalam keadaan damai dan saling menghargai, dalam seketika berubah menjadi manusia yang memakan sesamanya.

Belajar dari kasus demikian, setidaknya kita memiliki modal atau semacam panduan untuk selalu hidup berdampingan dengan orang yang berbeda dari kita.


Pendekatan Nilai Kebudayaan Suku Dawan Timor dan Agama sebagai Antisipasi Sikap Intoleran 

Ilustrasi gambar 3D terkait Pendekatan Nilai Kebudayaan Suku Dawan Timor dan Agama sebagai Antisipasi Sikap Intoleran. Sumber gambar; Meta AI/Frederikus Suni/Tafenpah.com



Sebagai warga diaspora NTT yang saat ini tinggal dan bekerja di Jakarta, saya menggunakan pendekatan nilai-nilai kearifan lokal budaya Atoin Meto (Suku Dawan Timor) untuk memberikan panduan hidup kepada pembaca TAFENPAH, agar tidak menyulap kehidupannya dalam bingkai fanatisme!

Karena kehidupan fanatisme, pada akhirnya hanya menyisakan kenangan buruk.

Alangkah baiknya kita hidup dalam pemikiran reflektif, agar kita tidak terjerumus ke dalam sikap fanatisme yang berujung pada aksi - aksi anarkis dan intoleran.

Salah satu semangat atau filosofi yang terdapat dalam kearifan lokal budaya Atoin Meto dalam menjalankan perintah agamanya adalah 'MASI MUTUIN LAES UIS NENO ME NAIKAM MUP'NIKAN HIT AOK BIAKINE.'

Ilustrasi gambar 3D terkait Pendekatan Nilai Kebudayaan Suku Dawan Timor dan Agama sebagai Antisipasi Sikap Intoleran. Sumber gambar; Meta AI/Frederikus Suni/Tafenpah.com



Filosofi bahasa Dawan dari kelompok suku Timor Dawan Indonesia ini dapat saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut;

"Meskipun kita mengikuti atau menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran iman kepercayaan kita, tapi kita tidak boleh melupakan semangat persaudaraan."

Makna yang jauh lebih kaya dan kompleks dari filosofi Dawan Timor di atas adalah ke mana pun kita pergi dan dalam kondisi apa pun kehidupan beragama kita, nilai-nilai kemanusiaan itu jauh lebih penting daripada kepentingan politik dan kekuasaan.

Relevansi dari filosofi Dawan Timor ini juga terdapat dalam aliran kepercayaan agama Kristen (Katolik dan Protestan), yakni; Cinta, Kasih, dan Persaudaraan merupakan semangat hidup berbangsa dan bernegara.

Untuk merumuskan sekaligus mengaplikasikan semangat hidup di atas, seluruh umat Katolik dan Kristen meskipun dalam realitanya selalu berada dalam posisi yang tidak menyenangkan di tengah pengaruh mayoritas, namun mereka tidak pernah pernah membalas tindakan anarkis dari para oknum intoleran.

Justru dalam situasi tersebut, umat Katolik dan Kristen mendoakan orang-orang yang telah menganiaya, membenci, dan menaruh sikap skeptis terhadap keberadaan mereka.

Sebagaimana tindakan kemanusiaan dari pemilik rumah singgah atau vila di desa Tangkil Sukabumi.

Di mana, dana 100 juta yang diberikan oleh Dedi Mulyadi (Gubernur Jawa Barat) sebagai ganti rugi atas apa yang warganya lakukan, justru sebagian dana tersebut akan dipakai pemilik vila untuk membangun rumah ibadah kaum mayoritas dan juga sejumlah aksi sosial.

Inilah kasih dan pengampunan yang melebihi batas-batas kepercayaan.

Tindakan pemilik rumah singgah atau vila tersebut mencerminkan bagaimana keterhubungan nilai-nilai kebudayaan mereka dan juga makna kehidupan beragama yang semestinya warga Indonesia jalani.

Karena bagaimanapun juga, tanah dan segala properti yang berada di bumi nusantara milik pemerintah, bukan per individu ataupun kelompok tertentu.

Kita hanyalah pemilik sementara dari properti tersebut, termasuk tanah kelahiran kita.

Karena pada akhirnya, kita semua akan mati dan kembali ke tanah tanpa membawa apa pun.

Yang kita tinggalkan kepada generasi muda bangsa Indonesia adalah cara hidup dan kesan-kesan positif kita semasa hidup.

Mari, kita kembali memaknai semangat Kebudayaan kita, termasuk nilai-nilai keagamaan kita, agar kita tidak jatuh pada kedangkalan berpikir!

Kedangkalan berpikir, bertindak, dan berperilaku hanyalah binatang yang tak berakal budi!

Lebih halusnya, binatang pun memiliki kepekaan terhadap tuannya, apalagi kita sebagai manusia yang memiliki akal budi, berpendidikan, apalagi beragama.

Masa orang yang tidak beragama hidupnya dipenuhi ketenangan, kedamaian, dan persatuan (KAUM ATEIS), sementara kita yang mengakuinya ber-Tuhan, tapi tindakan kita tidak mencerminkan penghargaan terhadap keberadaan orang lain di bumi NKRI?











TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia ||Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. ||Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia.Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat.Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider.Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.comSaya juga menerima jasa pembuatan Website ||Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy ||Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ ||WhatsApp: 082140319973 ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Pendekatan Nilai Kebudayaan Suku Dawan Timor dan Agama sebagai Antisipasi Sikap Intoleran "