Serena Francis: Budaya bukan Sekadar Warisan Semata tapi Sumber Inspirasi dan Ada Nilai yang Jauh Lebih Berharga

Penulis : Frederikus Suni 

Wali Kota Kupang, Wakil Wali Kota Kupang serta Polri dan tokoh adat saat merayakan Koepan Festival 2025. Sumber gambar: Ig @sobat.serena/TAFENPAH.COM


TAFENPAH.COM - Warisan kebudayaan dari setiap suku bangsa, khususnya yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, bukan semata parade atau perayaan seremonial yang biasanya masyarakat Flobamora lakukan.

Serena Cosgrova Francis, Wakil Wali Kota Kupang 2025 melihat parade kebudayaan sebagai sumber inspirasi.

Karena di balik setiap kekhasan suku bangsa, ada nilai etika dan moral.

Baca Juga


Etika dan moral memang merupakan substansi atau dasar dari setiap warisan kebudayaan nusantara, khususnya masyarakat yang berada di bagian terselatan Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kemajuan provinsi Nusa Tenggara Timur hari ini pun tidak terlepas dari pengembangan konten-konten yang berbasiskan pada cara pandang/pemikiran, gaya hidup keseharian masyarakat setempat.

Wali Kota Kupang, Wakil Wali Kota Kupang serta Polri dan tokoh adat saat merayakan Koepan Festival 2025. Sumber gambar: Ig @sobat.serena/TAFENPAH.COM



Pandangan tersebut semakna dengan ajaran dari filsuf kebudayaan blasteran Yahudi dan Jerman yakni; Ernst Cassirer.

Di mana, filsuf berpengaruh pertengahan abad ke-20 ini, mengatakan langkah pertama untuk memahami manusia, termasuk setiap elemen kehidupan adalah melalui simbol kebudayaan.

"Manusia pertama-tama harus didekatin dari budayanya. Karena manusia adalah makhluk yang membudaya. Artinya makhluk yang hidup dan dalam unsur-unsur kebudayaan itu sendiri."

Wali Kota Kupang Christian Widodo dan wakilnya Serena Cosgrova Francis. Sumber Ig: @sobat.serena/TAFENPAH.COM


Artinya; ketika kita melihat, berdialog hingga proses transmisikan pesan-pesan verbal maupun nonverbal di balik kemajemukan masyarakat NTT, pintu awal bagi kita adalah mengenal kebudayaannya.

Proses pengenalan kehidupan budaya sesama, khususnya masyarakat Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor), dimulai dari dialog.

Dialog membutuhkan feedback atau tanggapan positif dari lawan bicara kita.

Karena ketika kita terbuka untuk mendengarkan sharing kebudayaan sesama, sejatinya di situlah kita terlibat dalam kegiatan menerima nilai atau kepercayaan tradisional orang yang berbeda dari kita.

Konsep ini dulunya dikembangkan oleh filsuf Socrates. Salah satu metode dialog Socrates yang kita kenal adalah 'MAIEUTIKA.'

Maieutika berasal dari bahasa Yunani yakni; Maieutikos yang berarti; Kebidanan.

Artinya begini; sebelum Socrates menggali informasi yang tersadari maupun yang tidak tersadari dari lawan bicaranya, guru dari Plato tersebut memposisikan atau menempatkan dirinya sebagai bidan.

Tugas seorang bidan adalah membantu pasiennya untuk melahirkan. Sementara, Socrates membantu lawan bicaranya untuk mengeluarkan ide/gagasannya.

Dari komunitas timbal balik tersebut, Socrates mendapatkan pengetahuan serta kebenaran yang valid.

Kembali pada pernyataan Serena Francis bahwasannya parade atau festival kebudayaan memungkinkan setiap individu untuk terlibat aktif dalam proses pengembangan warisan leluhur.

Inilah arti dari makna tersembunyi di balik perayaan kebudayaan warga provinsi Nusa Tenggara Timur.

Duduk perkara ini, kemudian berkesinambungan dengan pendapat dari pakar komunikasi sekaligus dosen yakni; Schneider dan Barsoux yang melihat dan merefleksikan pentingnya pengetahuan kebudayaan manusia.

Karena dengan pengetahuan yang cukup tentang kearifan lokal budaya kita, sejatinya kita sedang melihat dan mengamati dunia dengan segala macam problematika.

Sebaliknya; dunia memandang kita sebagai subjek yang menghidupi setiap unsur atau elemen kebudayaan kita.

Fenomenologi atau realitas ini mendekatkan kita pada pengetahuan komunikasi kebudayaan.

Apalagi berdasarkan pengamatan Harris, Morgan dan Moran,  menggunakan dewasa ini hanya 10 persen negara-negara di dunia secara rasial atau etnik homogen (Moodian, 2009:4) ( Sumber: Buku Komunikasi Lintas Budaya) karya Prof. Deddy Mulyana.

Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia, saya memandang kekayaan sumber daya alam serta budaya yang ada di provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai peluang sekaligus tantangan.

Peluangnya adalah dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta kemampuan atau kecakapan untuk mengelaborasi ide/gagasan, saya dengan mudah ikut menyebarluaskan sumber-sumber pengetahuan lokal NTT, khususnya etnis Dawan Timor Barat (Atoin Meto) melalui ragam karya saya di portal TAFENPAH.

Tantangannya adalah sejauhnya media-media arus utama di wilayah NTT seakan melupakan informasi kebudayaan setempat. Justru kecenderungan media massa NTT lebih menonjolkan isu-isu politik.

Lebih kompleksnya adalah keengganan atau ketidakmauan generasi muda NTT untuk mengejawantahkan nilai-nilai kearifan lokal budaya yang dikompilasikan ke dalam berbagai konten ataupun cara hidup hariannya.

Justru generasi muda NTT lebih menyukai konten-konten K-drama dan K-Pop dari Korea Selatan.

Kendati demikian, persoalan utama di atas tidak serta merta kita salahkan perilaku atau gaya hidup generasi muda.

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten serta stakeholder internal dan eksternalnya ikut bertanggungjawab atas apa yang sedang generasi muda alami.

Sebagai pegiat konten kearifan lokal budaya Nusantara, khususnya suku Dawan Timor NTT, bersama TAFENPAH kami selalu komitmen untuk terus berkarya dalam mendistribusikan sekaligus ikut mempromosikan kearifan lokal budaya di provinsi paling terselatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Demokratik Timor Leste dan Australia.

Mari, kita membangun identitas lokal kita dengan mencintai produk, pengetahuan serta informasi - informasi yang berbau atau bercita rasa NTT.

Sebagaimana pesan penting dari Serena Cosgrova Francis yakni; dengan semangat Culture Inspires, Youth Revives, generasi muda Kupang tampil sebagai penggerak, merawat nilai-nilai lokal dengan cara yang segar dan penuh daya cipta.

Ayo Dukung NTT dengan cara ikut membagikan konten-konten kearifan lokal budaya Atoin Meto di laman sosial media pembaca budiman.

Terima kasih dan salam Kebudayaan.

Instagram penulis: @federikus_suni

Tiktok: @Tafenpah.com


Disclaimer; Teruntuk Anda yang suka mengambil sebagian materi bahkan mempublikasikan ulang tulisan-tulisan di sini, mohon cantumkan TAFENPAH sebagai sumber utamanya. Mari, kita belajar untuk saling menghargai karya sesama!

Frederikus Suni Redaksi Tafenpah
Frederikus Suni Redaksi Tafenpah Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Serena Francis: Budaya bukan Sekadar Warisan Semata tapi Sumber Inspirasi dan Ada Nilai yang Jauh Lebih Berharga"