Meruntuhkan Stiga Masyarakat NTT terkait Keluarnya Seminaris dari Biara Katolik

Penulis: Frederikus Suni 

Para Frater SVD di Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang Jawa Timur. TAFENPAH.COM

TAFENPAH.COM - Salam jumpa sobat Tafenpahners atau pembaca setia TAFENPAH di mana pun. Di edisi kali ini, penulis ingin membagikan kisah sekaligus pandangan masyarakat provinsi Nusa Tenggara Timur, yang memandang seorang Seminaris/Calon Imam/Pastor dalam tradisi kepercayaan Katolik Roma sebagai profesi yang mulia. 

Artinya; Seorang Seminaris itu memiliki kedudukan sosial yang cukup bahkan lebih dihormati dalam kehidupan sehari-hari.

Tradisi penghormatan umat Katolik Roma kepada kaum Selibat (Frater, Bruder, Suster, Diakon, Romo/Pastor) sudah dipraktekkan sejak leluhur masyarakat NTT bersentuhan atau mengenal kepercayaan Samawi (Kristen termasuk salah satu agama Samawi atau agama Abraham).

Baca Juga:


Praktek penghormatan kepada Seminaris termasuk keluarganya sudah menjadi hal biasa di tengah kehidupan masyarakat NTT.


Kendati demikian, ada satu fenomena atau kecenderungan yang terjadi dan melekat dalam benak (hati dan pikiran bahkan pandangan) warga NTT, khususnya kaum awam/umat Katolik yakni; stigmatisasi atau memberikan label kurang terpuji (buruk) kepada seorang Seminaris, apabila dalam masa studinya keluar Biara Katolik.

Pikiran pertama yang terlintas dalam hati umat Katolik NTT dan bahkan umat yang ada di Indonesia adalah si A, B, dan C keluar karena mereka sudah tidak tahan lagi dengan kehidupan seksualnya.

Lebih tepatnya, umat Katolik NTT setiap kali melihat, mendengar bahkan berdialog dengan seorang mantan Seminaris, terminologi atau istilah yang mereka pakai adalah 'PEREMPUAN.'

Artinya; umat Katolik NTT akan dengan spontan melontarkan kalimat tanya seperti di bawah ini;

Baca Juga Isu Geothermal antara Uskup Ende vs Gubernur NTT;


"Kamu keluar karena perempuan kan?"

Tentunya pertanyaan di atas, sejatinya tidak salah. Karena umat Katolik juga berhak tahu faktor yang melatarbelakangi keluarnya seorang Seminaris dari Biara.

Sebagai mantan Seminaris (Calon Imam/Pastor Kongregasi Serikat Sabda Allah/SVD) Provinsi Jawa, penulis akan memberikan jawaban, terkait pertanyaan besar dari umat Katolik di atas.

Tahun 2019, ketika penulis sedang menjalani studi Filsafat dan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, ada satu fenomena atau peristiwa yang menimpa keluargaku di kampung Haumeni, kecamatan Bikomi Utara, kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Peristiwa tersebut, memaksa penulis untuk memilih di antara dua pilihan yakni; tetap melanjutkan masa pembinaan di Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang sekaligus studi Filsafat dan Teologi di STFT Widya Sasana Malang ataukah saya memilih untuk meninggalkan/keluar dari Biar SVD.

Kedua pilihan tersebut sangat sulit bagi penulis. Karena penulis sudah mempertaruhkan semuanya, termasuk keberanian penulis merantau di kota Malang, Jawa Timur selepas tamat sekolah menengah atas di SMAN Bikomi Utara tahun 2014.

Setelah melalui banyak pertimbangan, penulis akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Kongregasi Societas Verbi Divini (SVD) Provinsi Jawa.

Selama perjalanan kehidupan penulis di luar tembok Biara atau Seminari Katolik, penulis kerap kali mendengar pertanyaan besar sekaligus satiris dari umat, entah mereka itu keluarga terdekat, kenalan, sahabat dan siapa saja yang terlibat dalam setiap obaralan.

Di mana, mereka (para penanya) tersebut mayoritas mengatakan atau memberikan stigma kepada penulis bahwasanya penulis tidak dapat menahan dorongan nafsu, terlibat hubungan asmara dengan lawan jenis serta hal-hal yang mengacu/mengarah pada kehidupan romansa.

Padahal, sejatinya ada banyak faktor yang mendorong penulis dan para mantan Seminaris untuk tidak melanjutkan panggilan hidup membiaranya.

Persoalan-persoalan tersebut bisa disebabkan oleh keadaan keluarga, ketidakcocokan Seminaris dengan pembina/formator, kurangnya penghayatan kaul-kaul ketaatan, kemiskinan kesucian, kesulitan dalam belajar sampai pada faktor eksternal atau yang berada di luar kendali seorang Seminaris.

Meskipun begitu, penulis menyakini bahwasannya sebagian besar mereka yang keluar dari Seminari adalah berkaitan dengan pilihan bebas.

Pilihan itu bisa terjawantahkan dalam beragam profesi, salah mengambil jurusan, keputusan yang tidak matang, sebelum Seminaris masuk di salah satu Kongregasi/Tarekat dan Ordo Katolik Roma.

Namun, berdasarkan pengalaman penulis, salah satu faktor yang serius mendorong niat Seminaris atau Kaum Selibat keluar dari panggilannya adalah pencarian jati diri.

Pencarian jati diri setiap orang, termasuk para Seminaris itu sangat sulit. Karena sepanjang hidup, kita tidak pernah puas dengan keadaan diri.

Mustahil dan tidak masuk logika, apabila ada yang beranggapan bahwasanya kehidupan hariannya aman-aman saja.

Setiap orang punya masalah, begitu pun, setiap dari kita memiliki alasan tersendiri, sebelum dan sesudah memutuskan sesuatu yang sangat penting dalam hidup.

Dalam kondisi seperti ini, penulis mengingat lagi Etika Nikomahkhean filsuf Aristoteles dan Plato yakni; Pencarian tertinggi dan terakhir dari manusia adalah kebahagiaan.

Lantas, apakah penulis dan mereka yang terlebih dahulu keluar dari Biara Katolik sudah mencapai tahap final dari pencarian jati diri?

Jawaban dari pertanyaan besar di atas adalah belum! Karena pencarian akan jati diri atau sesuatu yang sangat berharga dan penting dalam kehidupan kita akan terus berlanjut hingga kapan pun.

Untuk itu, pada momen ini, penulis kembali mengajak umat Katolik Indonesia, khususnya yang berada di wilayah paling Selatan Indonesia yakni; NTT untuk tidak lagi memandang seorang Seminaris yang keluar dari Biara adalah sesuatu yang buruk, terlebih pandangan yang mengacu pada kehidupan romansa.

Karena di balik setiap keputusan yang berkaitan dengan pilihan hidup, ada beban moral sekaligus pertanggungjawaban terhadap diri sendiri, keluarga, lingkungan hingga alam/semesta atau Tuhan yang kita imani dalam iman kepercayaan kita.

Mari, kita saling belajar untuk tidak menghakimi, apalagi memberikan stigam buruk terhadap kehidupan setiap orang.


Disclaimer: Apabila rekan media dan siapa saja yang ingin mempublikasikan ulang ataupun mengambil sebagian materi dari sini, mohon cantumkan nama TAFENPAH sebagai sumber rujukan. Hargailah setiap karya dan mari ciptakan lingkungan Siber yang aman dan positif.
Frederikus Suni Redaksi Tafenpah
Frederikus Suni Redaksi Tafenpah Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Meruntuhkan Stiga Masyarakat NTT terkait Keluarnya Seminaris dari Biara Katolik "