Kritik Sastra, Belajar dari Dua Film Layar Lebar Garapan Sutradara Roy Lolang dan Jeremias Nyangoen, Guna Menciptakan Industri Perfilman NTT yang Berbasiskan pada Kearifan Lokal
Penulis : Frederikus Suni
![]() |
Kritik Sastra NTT dalam pengembangan industri perfilman Flobamora yang berbasiskan pada Kearifan Lokal. TAFENPAH.COM |
TAFENPAH.COM - Provinsi Nusa Tenggara Timur kaya akan potensi alam, budaya, energi baru terbarukan (panas bumi) atau Geothermal di Flores hingga intelektual.
Kendati demikian, kekayaan alam dan budaya NTT, sejauh ini belum memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Flobamora (Flores, Sumba, Timor dan Alor).
Karena pembangunan wilayah NTT yang berada di bagian terselatan Indonesia ini sangat kompleks.
Hal ini juga disampaikan oleh mantan gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, ketika memberikan sambutan dalam acara bedah buku dan Launching Antologi Puisi Religi Sang Mesias karya Pater Fritz Meko, SVD di aula Hotel Cahaya Bapa, Naikoten, Kupang, Ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur.
Saat itu, saya juga terlibat dalam kegiatan tersebut. Perspektif yang saya tangkap dari sekian narasumber, khususnya tokoh intelektual dari Universitas Nusa Cendana (Undana), dan Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang adalah mereka mengkritisi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur yang seolah melupakan para penulis yang tersebar di daratan Flobamora.
Karena ketidakseriusan pemprov NTT dalam memberdayakan potensi alam (pariwisata) dan kearifan lokal budayanya untuk dikompilasikan menjadi satu maha karya film. Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung di balik karya sastra Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Pemikiran satiris atau kritik sastra tersebut dalam pandangan saya adalah bukannya para tokoh intelektual dan juga penulis di NTT mendiskreditkan/menyudutkan kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat termasuk para pendahulunya.
Akan tetapi, cara pandang tersebut sejatinya ingin membuka dialog interaktif antara pemerintah provinsi, kota/ kabupaten, tokoh intelektual, penulis, masyarakat, pekerja industri kreatif, khususnya perfilman untuk berkolaborasi dalam mengembangkan potensi alam dan budaya lokal ke dalam satu film layar lebar.
Saya pun sadar akan keterbatasan pemerintah provinsi dan daerah di NTT dalam mengembangkan industri film.
Kendati demikian, belajar dari dua sutradara Roy Lolang dan Jeremias Nyangoen dalam mengkreasikan ide/gagasan di balik film CINTA BETE dan WOMEN FROM ROTE ISLAND, setidaknya ikut menyadarkan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini, terutama di bawah kepemimpinan Emanuel Melkiades Laka Lena untuk lebih serius dalam menginvestasikan sumber daya manusia di bidang Broadcasting.
Bagaimana tidak, kecintaan sutradara Roy Lolang dan Jeremias Nyangoen terhadap alam, budaya, isu sosial, ketimpangan, cara pandang masyarakat NTT luar biasa.
Dua film layar lebar tersebut juga mendapatkan berbagai penghargaan di ajang festival film nasional dan masuk nominasi Oscar 2025, khususnya film Women From Rote Island untuk kategori Best International Feature Film, meski belum mendapatkan penghargaan di ajang bergengsi tersebut.
Akan tetapi, dunia sudah menyaksikan isu sosial, alam, pariwisata, budaya dan kehidupan orang NTT.
Untuk pemerintah provinsi sudah seharusnya mengembangkan sumber daya manusia NTT di industri perfilman.
Berbicara mengenai sumber daya manusia NTT yang sudah lama berkecimpung di bidang Broadcasting, berdasarkan pengetahuan saya, tentunya banyak generasi milenial NTT yang memiliki kapasitas.
Sayangnya, mereka tidak mendapatkan tempat di wilayahnya sendiri. Akhirnya, mereka memilih untuk berkarya di luar daerah.
Salah satu sumber daya manusia NTT yang sudah lama dikenal luas oleh warga Indonesia, terutama di NTT adalah Eugenius Kau Suni.
Dosen Sistem informasi Universitas Katolik Atma Jaya, sebelum mengabdikan dirinya untuk mendidik generasi bangsa, terlebih dahulu ia bekerja sebagai Jurnalis TV (MetroTV, Berita Satu TV dan terakhir menjabat sebagai Senior Producer Kompas TV).
Tokoh intelektual asal desa Tes, kecamatan Bikomi Utara, kabupaten Timor Tengah Utara, NTT tersebut juga mengajar Jurnalistik dan Informatika di Universitas Mercu Buana Jakarta, Kwik Kian Gie School of Business Jakarta dan STIKOM InterStudi Jakarta.
Selain Eugenius Kau Suni, S.T., M.T ada juga generasi muda NTT yang berkecimpung di bidang Broadcasting dan perfilman.
Menurut saya, tokoh-tokoh milenial di atas, seharusnya mendapatkan tempat di bidang pengembangan sumber daya manusia, terutama lingkungan Pemprov NTT.
Karena semakin banyak tokoh intelektual yang berada di lingkungan strategis dengan dukungan sumber daya materi dan lainnya, pengembangan industri perfilman NTT cepat maju dan berkembang.
Kendati demikian, setiap pemimpin memiliki cara pandang, termasuk lanskap pembangunan daerahnya.
Yang terpenting, saatnya kita belajar untuk terlibat aktif dalam promosi seni dan budaya NTT.
Karena bangsa besar dibangun berdasarkan kekayaan lokalnya. Demikian pula, NTT juga memiliki jutaan kekayaan lokal.
Apalagi provinsi Nusa Tenggara Timur terkenal dengan pariwisatanya.
Dengan memanfaatkan popularitas pariwisata NTT, kemajuan industri perfilman NTT bisa teratasi.
Asalkan pemerintah provinsi, kota dan kabupaten membuka diri untuk berkoordinasi dan berkolaborasi dengan Praktisi broadcast dan perfilman, terutama melibatkan generasi muda NTT yang memiliki kapasitas (Integrasi) di kedua bidang tersebut.
Mengingat kekayaan ide/gagasan lokal di balik setiap karya penulis NTT tidak ketinggalan dengan penulis-penulis di luar Flobamora.
Mari, kita menunggu kejutan dari Pemprov NTT dalam memberdayakan potensi alam dan budayanya, terutama lahirnya industri perfilman NTT di bawah semangat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi abad ke-21.
Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendikte apalagi menggurui pembaca, terutama kepemimpinan gubernur NTT, bapak Emanuel Melkiades Laka Lena beserta stafnya.
Tulisan ini sebagai refleksi sekaligus kegelisahan saya dalam memandang kekayaan alam pariwisata dan kebudayaan lokal NTT yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk memberikan peningkatan ekonomi dan aspek lainnya bagi seluruh warga Flobamora.
Tulisan ini juga jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, saya menantikan kritik dan saran yang membangun dari pembaca TAFENPAH.
Instagram penulis: @frederikus_suni dan @tafenpahtimor
TikTok : @tafenpah.com
YouTube : Perspektif Tafenpah
Posting Komentar untuk "Kritik Sastra, Belajar dari Dua Film Layar Lebar Garapan Sutradara Roy Lolang dan Jeremias Nyangoen, Guna Menciptakan Industri Perfilman NTT yang Berbasiskan pada Kearifan Lokal "
Posting Komentar
Diperbolehkan untuk mengutip sebagian materi dari TAFENPAH tidak lebih dari 30%. Terima kasih