Otonomi dalam Bayang-Bayang Kolektivitas: Meninjau Ulang Kebebasan di Indonesia Melalui Lensa Berlin dan Otonomi Relasional

Hubert Eko Setiawan, Petrus Lanang, Yosep Irfan Lakapu

Mahasiswa Fakultas Ilmu Filsafat UNWIRA, Kupang

Freedom. Gambar Freepik

TAFENPAH.COM - Indonesia abad ke-21 terperangkap dalam sebuah paradoks kebebasan yang mendebarkan. Di satu sisi, ruang ekspresi individu tampak lebih luas dengan demokratisasi dan digitalisasi. Di sisi lain, tuntutan konformitas sosial, dominasi narasi kolektif, dan instrumentalisasi identitas untuk tujuan politik menggerogoti kemungkinan untuk menjadi diri sendiri. Dalam konteks inilah, kerangka berpikir Isaiah Berlin tentang dua konsep kebebasan, yang diperkaya dengan konsep Otonomi Relasional, bukan sekadar teori filsafat yang elitis, melainkan pisau analisis yang tajam untuk membedah realitas kebebasan kita yang seringkali ilusif.

Kebebasan Negatif: Ruang yang Terkontraksi di Era Keterhubungan

Berlin mengingatkan bahwa fondasi kebebasan yang paling jelas adalah kebebasan negatif: ketiadaan campur tangan yang menghalangi pilihan individu. Dalam konteks Indonesia, jaminan kebebasan negatif ini tertulis rapi dalam konstitusi, namun praktiknya mengalami kontraksi yang sistemik. Ruang tanpa intervensi itu dikepung dari berbagai penjuru.

Ranah digital, yang semula dianggap sebagai frontier kebebasan baru, justru menjadi medan pengawasan dan pembatasan halus. Ujaran kebencian dan hoaks seringkali dijadikan justifikasi untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat. Mekanisme take-down notice dan pelaporan massal (brigading) digunakan untuk menekan suara-suara yang dianggap mengganggu kemapanan atau norma tertentu. Kebebasan dari intervensi negara juga kerap dipertanyakan dengan adanya sejumlah regulasi yang memberikan ruang bagi interpretasi represif. Individu, meski secara hukum tidak dipenjara, merasa harus menyensor diri sendiri (self-censorship) sebuah bentuk intervensi yang telah diinternalisasi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagai pilar kebebasan negatif klasik, pun masih kerap dihadapkan pada intoleransi sosial dan pembiaran negara, di mana mayoritas mempersempit ruang gerak minoritas. Di sini, pertanyaan Berlin, “Sejauh mana saya dibiarkan sendiri?” dijawab dengan getir: semakin sedikit, meski tanpa selalu melibatkan penjara fisik.

Bajingan Kolektivitas: Penyalahgunaan Kebebasan Positif ala Indonesia

Bahaya utama yang diwanti-wanti Berlin justru sedang terjadi dengan subur di Indonesia: pembajakan kebebasan positif. Kebebasan positif adalah kapasitas untuk menguasai diri sendiri dan mewujudkan potensi autentik. Namun, konsep “diri sejati” ini dengan mudah disubversi menjadi “diri kolektif” yang lebih tinggi.

Dalam retorika politik dan wacana publik, sangat mudah ditemukan klaim-klaim yang mematikan otonomi individu: “Sebagai orang Indonesia sejati, tentu kamu mendukung...”, “Sebagai anggota kelompok ini, kepentingan sejatimu adalah...”, atau “Ajaran kitab suci kita sebenarnya menghendaki...” Klaim-klaim ini melakukan persis “pemutar-balikan yang monstruous” yang ditakuti Berlin. Penyeragaman paksa, marginalisasi pilihan hidup alternatif, dan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu dibungkus dalam narasi pembebasan—pembebasan dari pengaruh asing, dari penyimpangan moral, atau dari ancaman terhadap identitas kelompok.

Partai politik, kelompok keagamaan militan, bahkan negara, sering kali mengklaim diri sebagai perwakilan dari “akal budi sejati” rakyat. Mereka mengatasnamakan “kebebasan yang benar” untuk menindas kebebasan memilih yang salah. Tekanan untuk konform dalam budaya gotong royong yang dipaksakan, romantisasi nilai komunal yang mengabaikan hak individu, dan politik identitas yang menyederhanakan kompleksitas manusia menjadi sekadar label, semua adalah manifestasi kebebasan positif yang telah dibajak (Saidiman 2006). Individu tidak lagi didorong untuk menemukan suara internalnya, melainkan diinstruksikan untuk menyanyikan lagu paduan suara kolektif dengan nada yang telah ditentukan.

Jalan Keluar: Otonomi Relasional sebagai Fondasi Kebebasan yang Membumi

Di sinilah sumbangsih konsep Otonomi Relasional menjadi sangat relevan dan konstruktif untuk Indonesia. Konsep ini menolak jalan buntu antara individualisme atomistik (yang asing secara kultural) dan kolektivisme represif (yang membunuh kebebasan). Otonomi Relasional menawarkan pemahaman bahwa kita menjadi diri yang otonom justru melalui, bukan terlepas dari, hubungan dengan orang lain.

Pertama, konsep ini menggeser fokus dari pencarian “diri sejati” yang tertutup ke proses dialogis pembentukan diri. Otonomi bukanlah keadaan bawaan, melainkan kapasitas yang berkembang dalam ekosistem sosial yang memberikan pengakuan (recognition), pendidikan kritis, dan ruang untuk bereksperimen. Keluarga, sekolah, dan komunitas seharusnya menjadi laboratorium tempat individu belajar merefleksikan nilai, menguji pilihan, dan bertanggung jawab atas keputusannya, dalam suasana dialog yang saling menghargai{Formatting Citation}. Realitas di Indonesia justru menunjukkan banyaknya institusi ini yang menjadi mesin penyalur dogma dan penuntut kepatuhan.

Kedua, Oshana mengingatkan bahwa otonomi membutuhkan kondisi material dan sosial yang memungkinkan. Seorang perempuan di dalam struktur patriarki yang kuat, seorang buruh upah murah, atau seorang warga yang terjebak dalam jaringan klientelisme politik, secara de facto kehilangan otonomi. Mereka mungkin bebas dari penjara (kebebasan negatif), tetapi tidak memiliki kendali substantif atas hidupnya. Oleh karena itu, perjuangan untuk otonomi di Indonesia harus pula menjadi perjuangan untuk keadilan ekonomi, kesetaraan gender, reformasi hukum, dan pemberantasan korupsi. Tanpa prasyarat sosial ini, kebebasan positif hanya akan menjadi milik elite yang memiliki sumber daya.

Menerjemahkan Konsep ke dalam Aksi: Agenda untuk Indonesia yang Otonom

Untuk keluar dari paradoks kebebasan ini, Indonesia memerlukan agenda konkret yang diilhami oleh sintesis antara peringatan Berlin dan tawaran Otonomi Relasional:

1.  Memperkuat dan Memperluas Ruang Negatif: Negara harus konsisten menjadi penjaga kebebasan negatif dengan mencabut regulasi yang multi-tafsir represif, menegakkan hukum secara adil tanpa diskriminasi, dan secara aktif melindungi minoritas dari tirani mayoritas. Ruang digital harus dikelola dengan prinsip hak asasi manusia, bukan sekadar keamanan dan ketertiban.

2.  Mendemokratisasi Ruang Sosial: Kebebasan positif harus dikembalikan kepada individu dengan mendorong pendidikan literasi kritis di semua jenjang. Masyarakat sipil harus gencar membangun narasi tandingan yang menolak klaim-klaim kolektif yang monolitik dan merayakan keberagaman pilihan hidup.

3.  Membangun Infrastruktur Pengakuan (Recognition): Kebijakan publik dan praktik kultural harus diarahkan untuk menciptakan “hubungan-hubungan sosial yang sehat, adil, dan saling mengakui”. Ini mencakup penguatan layanan kesehatan mental, dukungan untuk keluarga, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan penciptaan ruang publik inklusif di mana perbedaan dapat berdialog setara.

4.  Menyatukan Perjuangan: Perjuangan kebebasan politik dan perjuangan keadilan sosial ekonomi harus dilihat sebagai satu kesatuan. Memperluas otonomi individu berarti juga memerangi struktur kemiskinan, ketimpangan, dan dominasi yang membuat pilihan seseorang tidak pernah benar-benar bebas.

Penutup: Kebebasan sebagai Proses Relasional yang Tak Pernah Selesai

Pemikiran Berlin mengajarkan kita untuk waspada terhadap para penjual kebebasan palsu yang berkostum kolektivitas. Otonomi Relasional memberi kita peta untuk membangun kebebasan sejati yang tidak individualis namun juga tidak terjebak dalam kelompok. Bagi Indonesia, tantangannya adalah membayangkan dan mewujudkan suatu bentuk kebersamaan yang justru menjadi tanah subur bagi tumbuhnya individu-individu yang otonom, kritis, dan bertanggung jawab.

Kebebasan bukanlah status yang diberikan sekali jadi, melainkan sebuah proses relasional yang terus-menerus—antara diri dan komunitas, antara hak dan tanggung jawab, antara ruang privat dan tuntutan publik. Hanya dengan memahami ambivalensi ini kita dapat mengupayakan sebuah masyarakat yang bebas bukan hanya dari belenggu, tetapi juga untuk menjadi dirinya yang paling utuh, dalam sebuah jaringan pengakuan yang manusiawi. Inilah proyek kebangsaan kita yang paling mendasar dan belum tuntas.


Bibliografi

Berlin, I. (1969). Four Essays on Liberty. Oxford University Press “Two Concepts of Liberty”: 423-12.

Dahlan, Mohammad. “Pemikiran Filsafat Moral Immanuel Kant.” Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 8, no. 1 (2009): 37.

Firdaus M. Yunus. “Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre.” Al-Ulum 11, no. 2 (2011): 267–82.

Hardy, Henry. “Isaiah Berlin ’ S Inner Citadel,” no. January (2008): 1–14.

Hume, David. “An Enquiry Concerning Human Understanding David Hume.” Philosophy, 1748, 1–121.

Ivana, Kezia Stella, and Teori Dialektika Relasional. “Kezia Stella Ivana - 2364290007,” n.d.

Juwana, I.D.Pa, and D.G.E Sastra Wiguna. “Determinasi Konsep Diri Dan Ketahanmalangan ( Adversity Quotient ) Terhadap Kreativitas Mahasiswa Jurusan S1 Pendidikan Matematika IKIP PGRI Bali.” Emasains VIII, no. 2 (2019): 112–21. http://repository.uin-suska.ac.id/20488/7/7. 2018205TMPI_BAB II.pdf.

Online, Isaiah Berlin, The Pdf, Isaiah Berlin, and Legacy Fellow. “Isaiah Berlin in Conversation with Richard Wollheim Isaiah Berlin in Conversation with Richard Wollheim,” n.d.

Rizki, Khairur, and Muhammad Chandra Hariadi. “Pandangan Hak Asasi Manusia Terhadap Kebijakan Two Child Policy Presiden Xi-Jinping.” Indonesian Journal of Peace and Security Studies (IJPSS) 3, no. 2 (2021): 11–27. https://doi.org/10.29303/ijpss.v3i2.81.

Saidiman, Oleh : “Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin Terhadap Universalisme Pencerahan Skripsi Ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Sebagai Tugas Akhir Perkuliahan Di UIN Jakarta Untuk Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam,” 2006.

Tremblay, Jean-marie, Mark D. Regnerus, Sociologia D A Sistema Nacional D E Educação, Fernando Tavares Júnior, José Luís Sanfelice, Fernando Tavares Júnior, Luiz Fernandes Dourado, et al. 


Ivana, Kezia Stella, and Teori Dialektika Relasional. “Kezia Stella Ivana - 2364290007,” n.d.

Juwana, I.D.Pa, and D.G.E Sastra Wiguna. “Determinasi Konsep Diri Dan Ketahanmalangan ( Adversity Quotient ) Terhadap Kreativitas Mahasiswa Jurusan S1 Pendidikan Matematika IKIP PGRI Bali.” Emasains VIII, no. 2 (2019): 112–21. http://repository.uin-suska.ac.id/20488/7/7. 2018205TMPI_BAB II.pdf.

Online, Isaiah Berlin, The Pdf, Isaiah Berlin, and Legacy Fellow. “Isaiah Berlin in Conversation with Richard Wollheim Isaiah Berlin in Conversation with Richard Wollheim,” n.d.

Rizki, Khairur, and Muhammad Chandra Hariadi. “Pandangan Hak Asasi Manusia Terhadap Kebijakan Two Child Policy Presiden Xi-Jinping.” Indonesian Journal of Peace and Security Studies (IJPSS) 3, no. 2 (2021): 11–27. https://doi.org/10.29303/ijpss.v3i2.81.

Saidiman, Oleh : “Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin Terhadap Universalisme Pencerahan Skripsi Ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Sebagai Tugas Akhir Perkuliahan Di UIN Jakarta Untuk Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam,” 2006.

Tremblay, Jean-marie, Mark D. Regnerus, Sociologia D A Sistema Nacional D E Educação, Fernando Tavares Júnior, José Luís Sanfelice, Fernando Tavares Júnior, Luiz Fernandes Dourado, et al. 


TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam Literasi. Perkenalkan saya Frederikus Suni. Saya pernah bekerja sebagai Public Relation/PR sekaligus Copywriter di Universitas Dian Nusantara (Undira), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya juga pernah terlibat dalam proyek pendistribusian berita dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ke provinsi Nusa Tenggara Timur bersama salah satu Dosen dari Universitas Bina Nusantara/Binus dan Universitas Atma Jaya. Tulisan saya juga sering dipublikasikan ulang di Kompas.com. Saat ini berprofesi sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), selain sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah Luar Biasa Jakarta Barat. Untuk kerja sama bisa menghubungi saya melalui Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy || ������ ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Otonomi dalam Bayang-Bayang Kolektivitas: Meninjau Ulang Kebebasan di Indonesia Melalui Lensa Berlin dan Otonomi Relasional"