Apakah Manusia Itu Sungguh Makhluk yang Bebas?

 Penulis: Davitus Madu Antu, Finotrio Q. S. Ximenes, Novalius Bere

Apakah Manusia Itu Sungguh Makhluk yang Bebas? Gambar Freepik


TAFENPAH.com - Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Antara jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan. Keduanya membentuk eksistensi manusia. aktivitas badaniah manusia merupakan dinamika dari jiwa. Dengan begitu badan dapat dikatakan sebagai ungkapan keakuan dari jiwa. Maka keberadaan jiwa sangat sentral dan tak tergantikan. 

Keberadaan jiwa dalam tubuh menjadikan manusia mampu menghadirkan diri secara utuh di dunia serta memungkinkan manusia beraktivitas. Dengan demikian jiwa ada hubungan dengan kehendak bebas. Dapat pula dikatakan bahwa karena jiwa manusia menjadi makluk yang bebas dan otonom.

Otonomi dan kebebasan adalah dua hal yang fundamental dalam dalam pemikiran filosofis mengenai manusia. Otonomi dan kebebasan adalah dua hal yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia. 

keduanya turut membentuk keutusan keputusan yang dibuat manusia. akan tetapi ada soal yang muncul apakah manusia itu benar benar bebas dan otonom? Apakah itu kebebasa apa makna kebebasan? Arikel singkat ini berusaha mengurai argumen bahwa otonomi dan kebebasan sangat dekat dengan manusia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Pandangan Determinisme

Determinisme menegasi gagasan kebebasan manusia. Hal itu berangkat dari pandangan bahwa setiap tindakan dan keputusan selalu terhubung dengan deretan sebab yang mengikutinya. Pandangan ini berasumsi bahwa terdapat hukum alam yang mengatur seluruh kejadian di dunia. Menyerahkan kebebasan pada hukum alam berarti kondisi sebelum suatu tindakan terjadi sudah menentukan bahwa tindakan tersebut akan terjadi. 

Maka tersingkirlah kemungkinan-kemungkinan tindakan lain. Dalam kerangka ini, perilaku manusia dapat  dipahami sebagai hasil kalkulalsi fator-faktor penentu. Skenario aktivitas manusia berjalan sesuai dengan ketetapan (hukum alam), dan bukan lahir dari pilihan bebas.

Ada empat faktor yang diyakini sebagai dasar yang menentukan perilaku manusia. keempat faktor itu melahirkan empat jenis determinisme, yaitu fisik-biologis, psikologis, sosial, dan religius. Determinisme fisik-biologis menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan konsekuensi logis dari kondisi genetis, struktur otak, hormon, serta hukum fisika-kimia yang bekerja pada organisme biologis. Determinisme psikologis berpandangan bahwa perilaku ditentukan pengalaman, proses pembelajaran, dan dorongan bawah sadar. 

Hal itu memiliki dasap pada apa yang ditegaskan oleh Freud. Dia berargumen bahwa tindakan manusia merupakan manifestasi aktivitas psikis yang terpola sejak masa kanak-kanak. Hal itu menyingkirkan pandangan bahwa tindakan manusia bersumber pada rasionalitas atau pilihan bebas.

Determinisme sosial menyoroti bahwa struktur sosial, kelas, norma budaya, institusi, dan kondisi ekonomi. Hal-hal itu memberi arah sikap, pilihan, serta peluang hidup manusia. Sehingga individu dipandang sebagai hasil konstruksi sosial yang beroperasi sejalan dengan skenario masyarakat. Adapun determinisme religius menegaskan bahwa seluruh peristiwa dan tindakan manusia bergerak dalam lingkaran kuasa dan rencana Tuhan. 

Dengan demikian nasib manusia sebenarnya telah ditetapkan sejak awal. Kebebasan hanya bersifat terbatas dan ilusi belaka. Rangkaian pandangan itu memadati ruang aktivitas manusi, sehingga ruang bagi kebebasan manusia semakin menyempit. Dasarnya adalah tindakan dipahami sebagai konsekuensi dari kekuatan eksternal yang mendahului dan mengaturnya.




Kebebasan sebagai Eksistensi Manusia

Kritik terhadap determinisme menyoroti kelemahan reduksionis dalam pandangannya. Walaupun faktor biologis, psikologis, sosial, dan religius memberi peran. Namun, mereduksi manusia hanya pada empat faktor tersebut rupanya mengabaikan kompleksitas dan paradoks eksistensi manusia. Pandangan deterministik menolak kebebasan dan melihat manusia hanya dari satu sisi. 

Selain itu, determinisme mengabaikan fakta evaluasi moral dalam tindakan manusia. Jika segala tindakan telah ditentukan, maka pujian dan celaan bukanlah sesuatu yang relevan. Determinisme juga menyingkirkan tanggung jawab moral dari hati dan nurani seseorang. Kesalahan dianggap sebagai konsekuensi hukum kausal, bukan keputusan bebas.

Berbanding terbalik dengan argumen deterministik, kebebasan dipandang sebagai inti eksistensi manusia. Hal itu didukung oleh sejumlah argumen. Pertama, manusia hidup dalam ranah “kemungkinan-dapat” dan pilihan. Manusia punya potensi untuk memilih suatu pilihan dengan banyak alternatif. Kedua, kebebasan terikat pada tanggung jawab. Ketertiban sosial mengandaikan individu yang bertindak dengan kesadaran konsekuensi dan kesediaan menanggung risiko moral. Hal ini tidak berlaku jika tindakan sepenuhnya ditentukan. 

Ketiga, Kant menegaskan bahwa moralitas bergantung pada kebebasan. Penilaian moral hanya bermakna bila individu dapat memilih untuk menaati atau menolak suatu perintah.

Kebebasan dapat dipahami melalui dua pendekatan konseptual utama. Secara negatif, kebebasan berarti ketiadaan paksaan eksternal dan intervensi. Terutama dari negara atau pihak lain. Itu memberi ruang otonomi dasar sebagaimana dijamin dalam hak asasi manusia. 

Secara positif, kebebasan berarti kapasitas untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dan mengambil keputusan bermakna. Dalam dimensi ini, kemiskinan, ketidaktahuan, atau hambatan internal dapat membatasi kebebasan seseorang. Meskipun tidak ada paksaan formal.

Jenis kebebasan juga dapat dibedakan berdasarkan struktur pilihan. Kebebasan horizontal merujuk pada keputusan netral dan pragmatis. Keputusan ini tidak melibatkan pertimbangan moral, seperti memilih makanan atau barang konsumsi. 

Kebebasan vertikal mengikutsertakan pilihan moral yang sejalan dengan tujuan dan nilai. Misalnya individu menghadapi pertentangan antara kepentingan pribadi dan suara hati. Keputusan takluk pada hirarki nilai kehidupan. Dengan demikian, kebebasan dapat bekerja di tingkat kesenangan praktis maupun pertimbangan etis substantif.

Pada ranah metafisik dan sosial, terdapat pembedaan antara kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial. Kebebasan eksistensial, seperti dijelaskan Sartre, merupakan prasyarat dasar manusia untuk menenun makna dengan benang-benang pilihan. Dengan bagitu individu bertanggung jawab penuh atas pembentukan dirinya. Berseberangan dengan itu, kebebasan sosial merupakan kondisi eksternal yang mefasilitasi ruang partisipasi tanpa diskriminasi dan tekanan negara. 

Dalam hal ini juga termasuk hak sipil dan politik. Kebebasan sosial merangkum dimensi negatif dan positif, yaitu bebas dari penindasan dan bebas untuk mengakses sumber daya. Keduanya saling melengkapi. Kebebasan eksistensial menegaskan otonomi internal. Sedangkan kebebasan sosial menciptakan struktur yang memungkinkan otonomi itu diwujudkan secara riil.


Penutup

Pandangan Determinisme menyajikan argumen kuat menentang kebebasan dengan empat: faktor biologis, psikologis (Freudian), sosial, hingga teologis sebagai basis yang mengatur prilaku manusia. Akan tetapi, artikel ini menunjukkan bahwa mereduksi manusia hanya pada faktor-faktor penentu ini adalah suatu kekeliruan besar. 

Kritik terhadap determinisme menegaskan kembali bahwa manusia tidak dapat dimengerti tanpa mengakui dimensi keanekaan dan kemampuan refleksi mereka. Kemampuan manusia untuk membuat evaluasi moral, melakukan pertimbangan atas "situasi kemungkinan dapat," dan—yang paling krusial—memikul tanggung jawab atas tindakannya, secara tegas membantah klaim bahwa semua perilaku telah ditentukan sebelumnya. Pilihan dan tanggung jawab inilah yang menjadikan kebebasan bukan hanya sekadar gagasan, tetapi suatu keharusan eksistensial yang melekat pada kodrat manusia.

Oleh karena itu, otonomi dan kebebasan harus diposisikan sebagai ciri khas yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Kebebasan tidak hanya dipahami sebagai ketiadaan paksaan eksternal (kebebasan negatif), tetapi juga sebagai kapasitas internal untuk menjadi penguasa diri sendiri (kebebasan positif), yang merupakan inti dari otonomi. 

Selanjutnya, otonomi ini terwujud dalam dua arena: secara eksistensial, ia mewajibkan manusia untuk menciptakan makna dan esensinya sendiri, dan secara sosial, ia memerlukan jaminan kebebasan vertikal (dari Negara) dan horizontal (dari sesama individu) agar pilihan-pilihan otonom tersebut dapat dilaksanakan. Pengakuan atas kebebasan dan otonomi inilah yang mendasari martabat manusia dan membentuk fondasi etika serta keadilan dalam setiap tatanan masyarakat.


Daftar Acuan

Hariroh, Syarifah, and Muhammad Alif. 2025. “Takdir Dalam Genggaman: Memahami Dan Menerima Ketentuan Ilahi.” Jurnal Al Mutsla: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan 7(1): 1–13. doi:10.46870/jstain.v7i1.15041.

Hart, Matthew. 2019. “Theological Determinism and the Goodness of God.” University of Liverpoll.

Ilaa, Dhiyaa Thurfah. 2021. “Feminisme Dan Kebebasan Perempuan Indonesia Dalam Filosofi.” Jurnal Filsafat Indonesia 4(3): 211–16. doi:10.23887/jfi.v4i3.31115.

Ishom Fuadi Fikri, Syarof Nursyah Ismail, Husniyatus Salamah Zainiyati, and Nur Kholis. 2023. “Struktur Kepribadian Manusia Dalam Psikoanalisis Sigmund Freud: Perspektif Filsafat Pendidikan Islam.” Edupedia : Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam 8(1): 71–88. doi:10.35316/edupedia.v8i1.2787.

Kadir, Zul Khaidir. 2025. “Bayang-Bayang Lombroso : Epigenetika Dan Kembalinya Pendekatan Biologis Dalam Hukum Pidana.” Terang: Jurnal Kajian Ilmu Sosial, politik dan Hukum 2(3): 37–50.

Pardosi, Milton Thorman. 2025. “Freedom and Responsibility in Jean-Paul Sartre’s Existentialism: A Philosophical Review.” Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial 9(1): 316–24. doi:10.22219/satwika.v9i1.40466.

Sitohang, Kasdin. 2009. FILSAFAT MANUSIA Upaya Membangkitkan Humanisme. Yogyakarta: Kanisius.

Skinner, B.F. 2006. 1–4 The Praeger Handbook of Education and Psychology, Volumes 1-4 Beyond Freedom and Dignity. New York: Penguin Books. doi:10.5040/9798216000198.ch-028.

Winarsih, Gunawan Santoso, and Siti Aminah Saing. 2023. “Hak Kebebasan Individu Dan Tanggung Jawab Sosial Dalam Keputusan Pribadi Pada Masyarakat Modern Jurnal Pendidikan.” Pendidikan Transformatif 02(03): 436–47.


Hariroh, Syarifah, and Muhammad Alif. 2025. “Takdir Dalam Genggaman: Memahami Dan Menerima Ketentuan Ilahi.” Jurnal Al Mutsla: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan 7(1): 1–13. doi:10.46870/jstain.v7i1.15041.

Hart, Matthew. 2019. “Theological Determinism and the Goodness of God.” University of Liverpoll.

Ilaa, Dhiyaa Thurfah. 2021. “Feminisme Dan Kebebasan Perempuan Indonesia Dalam Filosofi.” Jurnal Filsafat Indonesia 4(3): 211–16. doi:10.23887/jfi.v4i3.31115.

Ishom Fuadi Fikri, Syarof Nursyah Ismail, Husniyatus Salamah Zainiyati, and Nur Kholis. 2023. “Struktur Kepribadian Manusia Dalam Psikoanalisis Sigmund Freud: Perspektif Filsafat Pendidikan Islam.” Edupedia : Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam 8(1): 71–88. doi:10.35316/edupedia.v8i1.2787.

Kadir, Zul Khaidir. 2025. “Bayang-Bayang Lombroso : Epigenetika Dan Kembalinya Pendekatan Biologis Dalam Hukum Pidana.” Terang: Jurnal Kajian Ilmu Sosial, politik dan Hukum 2(3): 37–50.

Pardosi, Milton Thorman. 2025. “Freedom and Responsibility in Jean-Paul Sartre’s Existentialism: A Philosophical Review.” Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial 9(1): 316–24. doi:10.22219/satwika.v9i1.40466.

Sitohang, Kasdin. 2009. FILSAFAT MANUSIA Upaya Membangkitkan Humanisme. Yogyakarta: Kanisius.

Skinner, B.F. 2006. 1–4 The Praeger Handbook of Education and Psychology, Volumes 1-4 Beyond Freedom and Dignity. New York: Penguin Books. doi:10.5040/9798216000198.ch-028.

Winarsih, Gunawan Santoso, and Siti Aminah Saing. 2023. “Hak Kebebasan Individu Dan Tanggung Jawab Sosial Dalam Keputusan Pribadi Pada Masyarakat Modern Jurnal Pendidikan.” Pendidikan Transformatif 02(03): 436–47.



TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam Literasi. Perkenalkan saya Frederikus Suni. Saya pernah bekerja sebagai Public Relation/PR sekaligus Copywriter di Universitas Dian Nusantara (Undira), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya juga pernah terlibat dalam proyek pendistribusian berita dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ke provinsi Nusa Tenggara Timur bersama salah satu Dosen dari Universitas Bina Nusantara/Binus dan Universitas Atma Jaya. Tulisan saya juga sering dipublikasikan ulang di Kompas.com. Saat ini berprofesi sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), selain sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah Luar Biasa Jakarta Barat. Untuk kerja sama bisa menghubungi saya melalui Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy || ������ ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Apakah Manusia Itu Sungguh Makhluk yang Bebas?"