Memahami Matematika Atoni Meto
Oleh: Honing Alvianto Bana (Ketua RimpaF TTS)
![]() |
Memahami Matematika Atoni Meto. Foto Milik Kathon/Promosi Wisata TTS (Honing Alvianto Bana/Tafenpah.com) |
TAFENPAH.COM - Mari sejenak menyeberang ke selatan Nusantara. Di ujung Nusa Tenggara Timur terbentang sebuah pulau yang terbagi menjadi dua negara: bagian timur menjadi negara merdeka Timor Leste, sementara bagian barat merupakan wilayah Indonesia. Di tanah kering yang dikelilingi angin dan sabana ini, terdapat sebuah suku tua bernama Atoni Meto.
Dalam bahasa lokal, Atoni berarti manusia, sedangkan Meto berarti tanah kering. Maka, Atoni Pah Meto berarti “orang-orang dari tanah kering”. Hal tersebut bukan sekadar penanda geografis, melainkan juga cermin kehidupan keras namun bijaksana dari masyarakat Timor Barat. Para peneliti seperti Middelkoop (1982) dan Ormeling (1967) menyebut mereka sebagai People of the Dry Land atau manusia yang menaklukkan kekeringan dengan kebijaksanaan dan pengetahuan praktis yang diwariskan turun-temurun.
Matematika dan Kehidupan
Filsuf Inggris Roger Bacon pernah berkata, “Mengabaikan matematika berarti melukai seluruh pengetahuan.” Matematika adalah cara berpikir yang paling mendasar dari seluruh makhluk hidup. Seekor ayam tahu berapa telur yang ia tetaskan. Manusia memakai konsep “sedikit” dan “banyak” untuk bertahan hidup, membagi sumber daya, dan membangun tatanan sosial.
Sejarah menunjukkan, semakin kompleks konsep matematika suatu masyarakat, semakin maju pula peradabannya. Sebelum bangsa Babilonia mengenal angka nol, perhitungan manusia hanya sebatas untuk bertahan hidup. Namun setelah angka nol ditemukan di India, dunia memasuki lompatan besar yaitu lahirlah arsitektur, astronomi, dan akhirnya teknologi digital berbasis algoritma.
Matematika adalah bahasa universal yang menyusun dunia. Ia bukan hanya kumpulan angka, melainkan cara manusia membangun argumen, berpikir logis, dan memahami pola kehidupan. Karena itu, matematika bukan milik satu bangsa atau zaman tapi ia hadir dalam setiap kebudayaan, termasuk di tanah Timor.
Etnomatematika: Ketika Budaya Menjadi Rumus
Setiap kebudayaan memiliki sistem matematikanya sendiri. Orang Sumeria kuno, misalnya, tidak memakai sistem persepuluhan seperti kita, tetapi sistem berbasis 60. Dari sanalah lahir konsep 60 detik dalam satu menit, dan 360 derajat dalam satu lingkaran.
Penggunaan matematika dalam kebudayaan disebut etnomatematika yakni cara masyarakat tertentu menerapkan logika hitung, ukur, atau pola sesuai konteks sosial dan budaya mereka. Ia tidak hanya menyangkut angka, tapi juga bahasa, simbol, mitos, bahkan ritual.
Jejak etnomatematika sudah lama hadir dalam kehidupan Atoni Meto. Catatan kuno dari penjelajah Tiongkok seperti Fei Hsin (1436) dan Wang Ch’i-tsung (1618) menggambarkan bagaimana masyarakat Timor menghitung dengan batu-batu ceper dan simpul tali. Tradisi sederhana ini menyimpan pengetahuan matematis yang kaya, sekaligus menunjukkan bahwa konsep perhitungan telah hidup di tengah masyarakat jauh sebelum pendidikan formal diperkenalkan.
Matematika Atoni Meto
Seperti bangsa lain di dunia, masyarakat Atoni Meto memiliki cara tersendiri dalam berhitung, mengukur, dan memperkirakan. Matematika bagi mereka bukan sekadar pelajaran di sekolah, tetapi bagian dari kehidupan sehari-hari dari menghitung hasil panen, mengukur luas ladang, hingga memperkirakan jumlah penduduk di desa.
Menghitung Hasil Panen
Sebagian besar Atoni Meto hidup dari ladang dan jagung adalah sumber kehidupan utama. Setelah panen, jagung dikumpulkan di ume kbubu (rumah tradisional) dan dihitung menggunakan satuan yang telah disepakati bersama. Mereka tidak menghitung satu per satu, melainkan mengelompokkan hasil panen ke dalam istilah yang mencerminkan jumlah tertentu:
Satu ikat = 8 buler jagung
Satu tali = 2 ikat (16 buler jagung)
Satu suku = 12 tali (192 buler jagung)
Satu liar = 4 suku (768 buler jagung)
Satu kuda = 20 ikat atau 10 tali (160 buler jagung)
Satuan-satuan ini lahir dari kesepakatan sosial, bukan dari sistem numerik formal. Namun, secara matematis, sistem itu menunjukkan kemampuan abstraksi dan logika yang kompleks. Orang Atoni Meto memahami bahwa bilangan hanyalah simbol dari kenyataan dimana satu tali jagung bukan sekadar angka, tapi representasi hasil kerja, waktu, dan harapan keluarga.
Mengukur Jarak dan Menghitung Jiwa
Untuk mengukur jarak, masyarakat Atoni Meto menggunakan tubuh manusia sebagai acuan. Lima jingkal (jarak dari ibu jari ke telunjuk) orang dewasa dianggap setara dengan satu meter. Tali atau kayu yang diukur berdasarkan panjang tubuh lalu digunakan untuk mengukur lahan pertanian.
Dalam menghitung jumlah orang, mereka menggunakan kerikil atau biji jagung. Satu batu mewakili satu jiwa. Praktik ini masih bisa ditemukan di beberapa desa saat pemilihan kepala desa atau perhitungan peserta kebaktian. Di sana, matematika hadir dalam bentuk paling sederhana namun penuh makna: simbol kehidupan bersama.
Bahasa, Budaya, dan Matematika
Menggali kembali matematika lokal seperti ini penting dilakukan. Sebab, matematika bukan sekadar bilangan dan rumus. Ia adalah bahasa — bahasa yang dibentuk oleh kebudayaan, dan sebaliknya, kebudayaan yang hidup melalui bahasa.
Bahasa lokal Atoni Meto, dengan seluruh istilah dan simbolnya, adalah pintu masuk untuk memahami cara berpikir masyarakatnya. Mengajarkan matematika tanpa mengaitkannya dengan bahasa dan budaya lokal berarti memisahkan ilmu dari akarnya.
Tulisan ini hanyalah sekelumit catatan tentang cara berhitung masyarakat Atoni Meto yang merupakan sebuah upaya kecil untuk merekam pengetahuan yang hampir hilang. Diharapkan, generasi muda Timor mau menggali kembali kisah, cerita, dan kebijaksanaan yang tersimpan di balik setiap simpul tali dan cara berhitung dari suku Atoni. Karena di sanalah sesungguhnya matematika bermula, yaitu dari kehidupan itu sendiri.
Posting Komentar untuk "Memahami Matematika Atoni Meto"
Posting Komentar
Diperbolehkan untuk mengutip sebagian materi dari TAFENPAH tidak lebih dari 30%. Terima kasih