Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Curhatan Generasi 1990an, Aku Ingin Jadi Apa?

Penulis: Frederikus Suni

Ilustrasi generasi 90an sedang bermain ban oto (potretan permainan tradisional era 90an). Sumber/gambar: Pixabay (Frederikus Suni/Tafenpah.com)


Tafenpah.com - Setiap orang punya cerita dan mimpi-mimpinya. Setiap mimpi memiliki takaran resikonya, termasuk juga tingkat keberhasilan dan kegagalannya.

Sebagai angkatan generasi 90an, tepatnya tahun 1994, aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat-sangat sederhana.

Tinggal di kampung perbatasan Indonesia dan Timor Leste, tepatnya desa Haumeni, Kecamatan Bikomi Utara (dulunya masih termasuk Kecamatan Miomafo Timur yang berkantor pusat di Nunpene), kabupaten Timor Tengah Utara, provinsi Nusa Tenggara Timur, aku dan teman seangkatan, kala itu menikmati dan merasakan momen-momen di mana kami tertawa lepas, berlarian memasuki dan keluar hutan, bepergian ke mana saja dengan beralaskan saldal jepit dengan beragam modelnya sampai pada kegiatan kekanak-kanakkan, sebagaimana anak desa atau kampung pedalaman pada umumnya.

Satu hal yang aku tak pernah lupakan adalah tulusnya persaudaraan, persahabatan dan pertemanan.

Seiring dengan bertambahnya usia, aku dan teman seangkatan masing-masing berpisah dengan beragam pilihan hidup.

Meskipun aku dan teman-teman sekampung masih berada di kabupaten dan provinsi yang sama, akan tetapi aku merasakan momen di mana perpisahan itu sangat lah menyakitkan.

Entah perpisahan karena faktor ekonomi keluarga, sosial, budaya, politik dan lain sebagainya. Namun, namanya perpisahan, rasanya sakit banget.

Sakitnya perpisahan bersama rekan seangkatan, tak sesakit rasa sakitku, ketika memasuki usia 20-an tahun.

Faktor utama dari fase tersebut adalah pertanyaan besar usia 20an tahun, yakni: Aku ingin jadi apa?

Aku Ingin Jadi Apa?

Memasuki usia 20-an tahun, aku dan kamu pasti mengalami pertanyaan-pertanyaan besar hidup, di antaranya: Aku mau menekuni bidang apa? Apakah aku harus lanjut kuliah ataukah fokus kerja? Aku ingin bahagiain orang tua? Seperti apakah citra identitasku? Menjalin hubungan (pacaran) apakah dapat mempengaruhi karir dan pendidikanku?

Serta pertanyaan lain yang menjadi problemmatika kehidupan psikologis usia 20-an tahun.


10 tahun yang lalu, cita-citaku kala itu ingin menjadi Pastor/Imam Katolik.


Tepatnya aku menyelesaikan pendidikan SMA di SMA Negeri Bikomi Utara, aku melanjutkan pendidikan hidup membiara di Postulat Stella Maris Malang, Jawa Timur.

Sebagai seorang anak petani yang hidupnya jauh di bawah kata cukup, aku sangat bersyukur bisa masuk Seminari.

Hidup membiara (selibat) di Seminari adalah suatu kebanggaan sekaligus keberuntungan bagiku.

Lantaran, bukan menjadi rahasia lagi, bahwasannya masuk Seminari itu biayanya sangat mahal.

Apalagi ayah dan ibuku hanyalah seorang petani, mana cukup bisa membiayai pendidikanku di Seminari.

Toh, makan sehari-hari saja, kadang gak cukup. Apalagi setiap bulan mau bayar uang SPP Seminari dan segala kebutuhanku.

Hematnya, setelah menyelesaikan pendidikan Postulat di Postulat Stella Maris Malang tahun 2015, aku diberikan lagi kesempatan oleh Kongregasi atau Serikat SVD Provinsi Jawa untuk mengenyam pendidikan di Novisiat SVD Roh Kudus Baru Malang.

Namun, sebelum melanjutkan kisahku, kita akan melihat definisi atau makna dari 'Postulat.'

Apa itu Postulat?

Postulan (dari bahasa Latinpostulare, untuk bertanya) awalnya adalah orang yang membuat permintaan atau tuntutan; karenanya, seorang kandidat. Penggunaan istilah ini sekarang secara umum terbatas pada mereka yang meminta izin masuk ke biara Katolik atau ordo religius untuk periode waktu sebelum masuk ke novisiat. (Sumber: Wikipedia).

Setelah menyimak arti dan makna dari Postulat, saatnya aku mau melanjutkan kisah perjalananku di usia 20-an tahun.

Aku memulai pendidikan di Novisiat SVD Roh Kudus Batu Malang dari tahun 2015 - 2017.


Selama mengikuti pendalaman spritualitas sang pendiri SVD, yakni Santo (St) Arnoldus Janssen, SVD termasuk visi dan misi pelayanannya, aku mengalami banyak pergolakan batin.

Di mana, pada satu sisi aku ingin meneruskan pendidikanku sebagai calon Imam Katolik. Namun, di lain pihak, aku ingin menjalin hubungan (pacaran) dengan lawan jenis dan juga ingin bekerja untuk membantu ekonomi orang tuaku.

Perang batinpun tak bisa dipisahkan dari keseharianku. Antara jiwa dan raga saling bertentangan. Di mana, jiwa (keinginan terbesarku adalah segera mengundurkan diri dan kembali menjadi awam (umat Katolik biasa).

Akan tetapi, ragaku masih berada di lingkungan pembinaan, terutama Novisiat SVD Roh Kudus Batu Malang.

Akibatnya, selama 2 tahun aku tak begitu menikmati studi dan juga berbagai hal kerohanianku di Novisiat SVD Roh Kudus Batu Malang.

Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang

Setelah menyelesaikan studi atau pembentukan karakter di Novisiat SVD Roh Kudus Batu Malang, tahun 2017 aku bersama rekan seangkatanku melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang.

Pertentangan antara kehidupan bebas dan terikat (membiara) makin bergelora dalam diriku.

Apalagi, sejak menekuni bidang Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang, keadaan psikologisku sedang tidak baik-baik saja.

Bagaimana tidak, selama 3 tahun (mulai dari pendidikan di Postulat Stella Maris Malang hingga Novisiat SVD Roh Kudus Batu Malang), aktivitas harianku hanya tertuju pada bidang spiritual atau teologi.

Sementara di perguruan tinggi, antara kehidupan spiritual (teologi) dan kehidupan realita (filsafat) telah mencabik-cabit impianku untuk menjadi Imam Katolik.

Ketika berhadapan dengan disiplin ilmu filsafat, aku dan mungkin saja rekan seangkatanku memasuki fase 'culture shock,' atau 'geger budaya, terlebih di dunia perguruan tinggi.

Pasalnya fondasi atau dasar keyakinan ku sebagai seorang kaum Nasrani (Katolik), terlebih sebagai calon Imam/Romo/Pastor Katolik dalam seketika diluluhlantakan oleh ajaran filsuf Yunani kuno.

Memang, aku harus akui, bahwasannya iman atau dasar ke-Katolikkanku tidak kuat. Makanya, aku dengan mudah percaya begitu saja dengan pendapat/ide/logika berpikir para filsuf Yunani kuno.

Terlepas dari krisis identitasku di atas, jauh di dalam lubuk hatiku, aku pun percaya ada satu penguasa semesta.

Penguasa ini memiliki cinta yang agung dan tulus. Ia tidak pernah memilih, apalagi mengkotakkan umatnya berdasarkan ras, etnis, golongan, kepentingan, politik, ekonomi, sosial dan budayanya.

Pada fase ini, kamu mau menilai diriku sebagai penganut Kristiani atau animisme bahkan ateis, aku tak peduli.

Intinya, aku percaya pada nabi atau Tuhan yang mengajarkan cinta dan pengampunan serta belas kasih.


Keluar dari Seminari sekaligus Resign dari Kampus

Hampir 2 tahun, aku mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang, tentunya ada juga banyak pengalaman dan ilmu yang aku dapatkan dari institusi tersebut.

Tahun 2019, aku memilih untuk kembali menjadi awam, alias keluar dari Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang.

Meskipun keputusanku ini tidak diketahui oleh orang tua dan juga sanak familiku di kampung halaman tercinta.

Setelah mendapatkan surat persetujuan dari dewan provinsi SVD Provinsi Jawa, aku juga pergi ke kampus dan meminta resign/mengundurkan diri dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang.

Awalnya, aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk berhenti dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang.

Akan tetapi, ketika memasuki dunia kerja, aku baru tahu dan paham akan pentingnya Ijazah.

Ijazah terkesan hanyalah sepotong piagam atau surat, namun Ijazah yang akan membantu pemiliknya dalam mendapatkan pekerjaan di dunia kerja.

Dalam kondisi ini, aku sudah tidak punya pilihan lain, selain terus belajar, membangun relasi dengan banyak orang, termasuk para petinggi di negeri ini hingga pelosok negeri.

Tujuannya bukan untuk sekadar sok-sokan, namun sebagai jembatan untuk menyeberangkan diriku dari jurang keterpurukan, gegara salam mengambil keputusan.


Keputusan awal usia 20an akan dirasakan Menjelang Akhir Masa Dewasa Awal

Saat ini, ketika memikirkan atau merefleksikan apa saja yang telah aku lalui di awal tahun 20an itu terasa sakit.

Bagaimana tidak, jika seandainya aku fokus menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang, setidaknya akan menjadi modal bagi aku untuk menyukseskan impianku di dunia kerja.

Namun, apalah daya, ibarat nasi sudah menjadi bubur.

Jalan satu-satunya adalah belajar dari pengalaman kegagalan tersebut untuk setidaknya menjadi sedikit baik untuk saat ini dan ke depannya.

Jika seandainya usia dan kesempatan dapat diputar ulang, aku akan belajar dengan lebih sungguh-sungguh.

Selain itu, aku akan berusaha untuk membekali diriku dengan berbagai keterampilan demi hari esok, lusa dan yang akan datang.

Sayangnya, waktu dan kesempatan tak bisa ditarik bahkan diputar lagi. Semuanya sudah berlalu. Kini, hanyalah penyesalan demi penyesalan yang aku rasakan.

Berkaca pada rentetan pengalaman gagalku, entah gagal dalam kuliah, membangun bisnis, membangun hubungan (pacaran) dan lain sebagainya, kini aku pun bertekad untuk melanjutkan ambisi-ambisiku yang belum kudapatkan.

Memang, proses menuju kepada impian tersebut, tentunya tidak mudah. Namun, aku yakin, bila segalanya dibawa dengan komitmen dan tulus menjalaninya, niscaya aku akan meraih impianku yang masih berceceran di segala penjuru.

Relevansi Kisahku dengan Pembaca Budiman

Teruntuk sobat pembaca, kira-kira apa yang kamu dapatkan dari kisah perjalanan hidupku di awal usia 20-an tahun?

Terlepas dari pertanyaan tersebut, aku hanya menitipkan pesan kepada sobat kampus untuk lebih prioritaskan studinya, ketimbang hal lain yang tidak begitu urgent atau penting.

Karena keputusan kita saat ini, kita pun akan merasakan dampaknya di edisi yang akan datang.

Teruntuk kamu semua, terima kasih untuk support dan dukunganmu kepadaku.

Jangan lupa, untuk bagikan tulisan ini kepada sobat kenalan dan siapa saja, sebagai bentuk dukungan Anda kepada portal Tafenpah.com


Sekian dan terima kasih. 

Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Curhatan Generasi 1990an, Aku Ingin Jadi Apa?"