Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jurnalis Dulunya Menjadi Profesi Idaman Generasi Milenial, Kini Ditinggalkan

Penulis: Frederikus Suni

Jurnalis Dulunya Menjadi Profesi Idaman Generasi Milenial, Kini Ditinggalkan. Sumber gambar/foto: Freepik


Tafenpah.com - Jurnalis merupakan profesi idaman generasi milenial dan sebagian besar generasi Z, kini hanya tinggal kenangan atau lebih sederhananya adalah tidak menarik lagi.

Karena beban kerjanya sangat besar, sementara imbalan atau penghasilannya tidak sepadan dengan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan materi dalam mencari informasi di berbagai sudut desa dan kota.

Merujuk pada apa yang ditulis oleh Wisnu Prasetya Utomo di salah satu artikelnya yang berjudul "Beban Kerja Besar, Finansial Rentan: riset 3 dilema profesi jurnalis, saya sangat merinding.




Pasalnya, ketiga dilema jurnalis sebagaimana yang diulas oleh pengarang buku "Suara Pers, Suara Siapa?," secara komprehensif dan metodologis disertai dengan hasil wawancaranya bersama dengan 50 jurnalis dari tahun 2020 - 2022 terbilang miris dan sulit dipercaya oleh awam atau mereka yang belum pernah merasakan pahit dan getirnya profesi jurnalis ini.

Jurnalis Dulunya Menjadi Profesi Idaman Generasi Milenial, Kini Ditinggalkan. Sumber gambar/foto: Freepik

Ketiga faktor pemicu atau dilema jurnalis di atas adalah sebagai berikut:

1. Dilema terkait status dan hubungan kerja

2. Dilema terhadap kondisi dan beban kerja

3. Jurnalisme sebagai profesi sementara

Lebih detailnya di portal theconversation.com


Ketiga problem di atas, saya akan mengelaborasikannya sesuai dengan pengalaman saya ketika masih bekerja sebagai jurnalis.

Tahun 2021 - awal tahun 2023, saya bergabung dengan salah satu media online di Jakarta.

Setelah beberapa bulan bekerja di media tersebut dan sebagai Copywriter di Universitas Dian Nusantara Jakarta, saya kembali ke kampung halaman tercinta untuk mengikuti pemakaman adik bungsu saya.

Selama di kampung halaman, saya juga terus mencari informasi untuk ditulis lalu dipublikasikan ke media di mana saya bekerja.

Sekitar 2 bulan kemudian, saya juga meminta untuk bergabung dengan salah satu media di kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sejujurnya baik dari media di Jakarta dan Kupang ini sama-sama memberikan materi kepada saya melalui berbagai event liputan.

Awalnya, saya sangat menikmatinya dan merasa nyaman berprofesi sebagai jurnalis.

Beberapa momen yang tak pernah saya lupakan selama berprofesi sebagai jurnalis adalah saya memiliki kesempatan yang lebih untuk mengenal dan bersahabat dengan berbagai tokoh lokal maupun nasional, termasuk pemimpin daerah dan juga politisi di Senayan, Jakarta.

Relasi persahabatan itu pun kini masih ada dan terus ada selama saya berkarya di bidang literasi digital.

Itulah keuntungan terbesar yang pernah saya dapatkan selama berprofesi sebagai jurnalis.

Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, saya dan mungkin rekan-rekan jurnalis lainnya merasa kurang dalam hal pemenuhan kebutuhan harian.

Memang keadaan ekonomi adalah persoalan terbesar setiap orang dan tak akan pernah usai, selama kita hidup di dunia ini.

Bukankah begitu sobat?

Lalu, saya memilih untuk mencari pekerjaan lain yang sudah pasti punya penghasilan tetap di setiap bulan.

Senada dengan poin ketiga dari apa yang telah disebutkan oleh Wisnu Prasetya Utomo, bahwasannya profesi jurnalisme sebagai profesi sementara.

Walaupun saya tidak aktif lagi sebagai jurnalis. Namun, kecintaan saya terhadap sastra dan segala persoalan bangsa dan negara terus saya ikutin.

Bukan hanya sebatas pengikut, tetapi saya juga terlibat dalam produksi konten digital melalui blog pribadi saya yakni; Tafenpah.com | Pahtimor.com | Hitztafenpah.com | Lelahnyahidup.com dan Sporttafenpah.com


Faktor Lain Pemicu Hilangnya Minat Generasi Milenial dan Z Terhadap Profesi Jurnalis

Munculnya Covid-19 yang melanda dunia, khususnya bangsa Indonesia memaksa kita untuk melakukan segala sesuatu dari rumah saja.

Pembatasan hubungan di tempat kerja, lingkungan, dan berbagai lini kehidupan lainnya mendorong para pengembang, pakar komunikasi dan teknologi untuk menciptakan berbagai aplikasi yang memudahkan siapa saja dalam berbagi informasi, menghadirkan hantu bagi pekerja pers.

Di mana informasi yang dulunya hanya diproduksi oleh para jurnalis, kini siapa saja dapat memproduksi dan membagikannya.

Kecepatan informasi dan konten-konten audiovisual sangat disukai masyarakat, ketimbang konten tulisan.

Bukan hanya itu saja, kebebasan berpendapat yang diberikan oleh pemerintah RI berpengaruh pada pudarnya minat pekerja milenial dan z terhadap profesi jurnalis.

Maka, muncullah istilah citizen journalism atau sebutan bagi blogger, vlogger, selebgram, tiktoker, dll.


Kemunculan citizen journalism terbilang memiliki dampak besar dan menyulitkan jurnalis dalam memproduksi konten.

Meskipun jurnalis bekerja di bawah UU No.40 Tahun 1999, sementara citizen journalism tidak terikat UU, tetapi substansi kerjanya kurang lebih sama, yakni keduanya memberikan informasi edukasi, hiburan, tren dunia, dan segala persoalan yang terjadi di manapun.

Dengan tetap memperhatikan etika dan moral yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tanah air.

Justru profesi content creator lebih seksi atau menarik minat generasi milenial dan z, ketimbang jurnalis. Karena imbalannya tidak seberapa, sementara beban kerjanya sangat berat.

Selain persolan di atas, produksi konten atau artikel berita dari media arus utama yang pekerjanya adalah sekumpulan jurnalis harus melalui beberapa tahap dan waktunya lama.

Sementara, proses publikasi konten dari content creator mudah dan sangat cepat.

Itulah yang memicu ketidaktertarikan generasi milenial dan z terhadap profesi jurnalis.

Hal ini tidak mengindikasikan bahwasannya setiap generasi milenial dan z tidak menyukai profesi jurnalis, lho.

Melainkan banyak anak muda yang bercita-cita menekuni profesi jurnalis.

Sejatinya, profesi apapun itu baik adanya. Tergantung pribadi yang menjalaninya. Perihal imbalan atau bayaran tak seberapa, tapi kalau profesi tersebut sesuai dengan passion dan tidak terlalu mengekang, kenapa kit tidak mencobanya.

Demikian ulasan singkat dari admin Tafenpah Group


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Jurnalis Dulunya Menjadi Profesi Idaman Generasi Milenial, Kini Ditinggalkan "