Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Human Trafficking Mereduksi Eksistensi Manusia Sebagai Imago Dei, Tinjauan Moral Kristiani

Penulis: Hubert Eko Setiawan

Mahasiswa Program Studi Ilmu Filsafat-Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang

Human Trafficking Mereduksi Eksistensi Manusia Sebagai Imago Dei, Tinjauan Moral Kristiani. Sumber/foto: ValdesNativeTribe


Tafenpah.com - Pemberitaan tentang perdagangan manusia di Indonesia makin marak, baik dalam lingkup domestik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan manusia yang menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, telah menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada dekade terakhir. 

Puncaknya pada tabir kasus perdagangan manusia di Batam yang dibungkam oleh Romo Paschal (Imam Katolik) beberapa bulan yang lalu. Tentu saja sama sekali hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa sebelumnya fenomena ini tidak terjadi. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang terorganisir dengan sangat rapih, merupakan sebagian dari alasan yang membuat berita-berita perdagangan manusia ini belum menarik media massa.

Perdagangan manusia memang bukanlah suatu hal yang baru di muka bumi ini; bahkan negara-negara yang kini dianggap sebagai negara besar pada awalnya banyak berhutang pada penduduk ‘negara miskin dan lemah’ yang dibawa secara paksa untuk bekerja di perkebunan atau pun pabrik. 

Masalah perbudakan merupakan sejarah hitam umat manusia, yang bahkan juga telah direkam dalam kitab-kitab suci. Apakah dengan masyarakat dunia yang makin beradab ini maka perbudakan menghilang? Secara yuridis formal memang demikian, karena tidak satupun negara lagi yang mengakui dan mentolerir perbudakan. Akan tetapi tidak berarti bahwa fenomena ini sudah menghilang seluruhnya dari muka bumi. Komunitas internasional masih menengarai adanya kegiatan setara dalam bentuknya yang lebih ‘modern’ yang kemudian dinamakan sebagai bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (contemporary forms of slavery).

Dewasa ini, perdagangan manusia harus dilakukan secara tersembunyi karena secara legal kegiatan ini dilarang. Paus Fransiskus mengatakan, perdagangan manusia dewasa ini “terjadi di belakang pintu, di dalam rumah-rumah pribadi, di jalan, di mobil, di perusahaan-perusahaan, di lahan-lahan pertanian, di atas kapal-kapal penangkap ikan dan banyak tempat lain”. 

Karena dilarang dan harus dilakukan secara tersembunyi, dia hanya bisa diteruskan kalau mendapat dukungan dari pihak-pihak yang kuat, baik secara modal, politis dan keamanan. Uskup Agung Canterbury, Justin Welby, menegaskan, perlunya menyadarkan umat masing-masing agama tentang persoalan perdagangan manusia. Tentu saja, melawan perdagangan manusia tidak berarti melawan kebebasan manusia untuk berpindah tempat hidup dan kerja. 

Dorongan untuk mencari kehidupan yang lebih aman dan sejahtera umumnya menjadi dorongan bagi banyak orang untuk keluar dari wilayahnya. Kebebasan untuk itu harus dijamin. Yang menjadi soal adalah ketika orang dipaksa untuk keluar dari tanah leluhurnya, atau diperdayai dengan berbagai imingan.

PANDANGAN KITAB SUCI TENTANG PERDAGANGAN MANUSIA

Kitab Suci tidak secara eksplisit berbicara tentang perdagangan manusia. Akan tetapi dari satu dua contoh kasus perdagangan manusia dalam Perjanjian Lama dapat dikatakan bahwa perdagangan manusia merupakan tindakan yang merendahkan martabat manusia sebagai pribadi. 

Menurut A. Sudiarja, perdagangan manusia adalah bentuk perbudakan di zaman modern. Pada zaman dahulu, manusia yang satu memaksa manusia yang lain untuk bekerja tanpa upah dan hak-hak mereka tidak diperhatikan. 

Praktisnya, mereka diperlakukan seperti binatang. Hal ini juga dapat ditemukan dalam Kitab Suci, yakni kisah tentang perbudakan bangsa Israel di tanah Mesir sebagai salah satu contoh bahwa pada masa lampau perdagangan manusia berkaitan dengan penjajahan . 

Dalam Perjanjian Lama kita bisa menemukan dua contoh kasus perdagangan manusia. Kasus pertama adalah Yusuf. Dia adalah korban perdagangan manusia yang melibatkan saudara-saudaranya sendiri sebagai trafficker

Mereka menjual Yusuf kepada saudagar dari Mesir karena mereka cemburu dan iri hati dengan kelebihannya, lagi pula ia diperlakukan lebih istimewa oleh Yakub. Karena itu mereka ingin menyingkirkan dia dan membunuhnya, sehingga mereka sepakat untuk menjual Yusuf kepada saudagar Mesir itu (bdk. Kej. 37:12-36). 

Kitab Kejadian mencatat bahwa di Mesir, meski pun dipercayakan untuk mengurus rumah tangga Potifar, majikannya, Yusuf tetap saja menemukan ketidakadilan dalam hidupnya. Istri majikannya membujuk dia dan menginginkan dia untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. 

Akan tetapi, karena Yusuf adalah seorang yang religius, saleh, takut akan Allah dan bermoral kuat, maka ia menolak permintaan sang majikan (bdk. Kej. 39:7-8). 

Contoh kedua adalah Hagar (bdk.21:9-21). Karena bentuk perdagangan manusia pada zaman dulu sama dengan perbudakan, maka Hagar, budak dari Abraham dan Sara, juga bisa menjadi contoh kasus perdagangan manusia dalam Perjanjian Lama. Delores S. Williams, seorang teolog dari Union Theological Seminary di New York, mengemukakan hal ini dalam kutipan berikut ini :

“Hagar tidak memiliki kendali atas tubuhnya. Tubuhnya menjadi milik sang tuan (Sara), yang suaminya, Abraham mencabuli Hagar. Seorang anak bernama Ismael lahir; si ibu dan anak itu pada akhirnya diusir pergi dari rumah Abraham dan Sara tanpa dibekali apa pun agar dapat bertahan hidup.” 

Satu dua contoh persoalan perdagangan manusia dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama mengungkapkan kepada kita bahwa persoalan perbudakan atau perdagangan manusia sudah dimulai sejak dulu sampai sekarang. 

Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 27

  Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini Gaudium et Spes menandaskan:

“Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya…perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda…begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, semua itu dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidakadilan, lagipula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta” (GS art.27) . 

Seruan moral konsili di atas mengungkapkan perhatian dan kepedulian Gereja terhadap persoalan perdagangan manusia. Tujuannya ialah mengetuk pintu hati semua anggota Gereja untuk bersama-sama mewujudkan kepeduliannya melalui aksi-aksi konkrit guna mengatasi persoalan ini. 

Katekismus Gereja Katolik No. 2414

Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa perdagangan manusia melanggar perintah ketujuh dekalog. Selengkapnya Katekismus menyatakan demikian: 

“Perintah ketujuh melarang perbuatan atau usaha, yang karena salah satu alasanegoisme, ideologi, nafsu-mengambil untung atau karena sikap totaliter menyebabkan, bahwa manusia diperhamba, diperkosa dalam martabat pribadinya atau dibeli, dijual atau ditukar bagaikan benda. Adalah dosa melawan martabat manusia dan hak asasinya, dengan segala kekerasan memperlakukan mereka bagaikan barang keperluan sehari-hari atau menjadikan mereka sumber keuntungan. 

Santo Paulus menghimbau kepada seorang majikan Kristen, agar memperlakukan hambanya yang Kristen “bukan lagi sebagai hamba melainkan lebih daripada hamba yaitu sebagai saudara yang kekasih” (Flm. 16)7.

Dengan sangat jelas Katekismus menandaskan bahwa manusia adalah pribadi yang bermartabat. Dengan demikian manusia tidak bisa dibeli, dijual atau ditukar seperti barang untuk tujuan apapun. Jika manusia diperlakukan demikian maka itu adalah dosa melawan martabat manusia. 

Human Trafficking Lawan Dari Imago Dei

Dalam bukunya Armada Riyanto yang berjudul di katakana bahwa dalam Kitab suci, martabat manusia dijelaskan dengan konstruksi asal usul, kisah Genesis. Manusia diciptakan sebagai yang paling tinggi dari segala ciptaan lain. Manusia diciptakan sebagai puncak dari segala ciptaan. Ia mewariskan kekuasaan atas ciptaan lain dari sang pencipta itu sendiri. Ia dihadirkan dengan cinta oleh Sang Cinta. Dan Sang Pencipta membuat manusia lainnya dari tulang rusuknya sendiri.

Hal ini mau mengatakan bahwa manusia itu sangat berharga, kehadiran manusia juga merupakan kehadiran Sang pencipta itu sendiri. Maka ketika manusia melakukan tindakan perdagangan manusia (human trafficking) hal itu sama saja menjual keluhuran sang pencipta. Manusia sebagai yang paling tertinggi memiliki nilai kemanusiaan yang perlu untuk dihargai. Halnya demikian karena martabat manusia tidak disimak secara keseluruhan dari fondasi dan asal-usulnya, yaitu Tuhan. 

Relevansinya cinta Tuhan bukan hanya dalam jaminan kehidupan abadi, melainkan martabat hidup manusia saat ini dalam aneka kehidupan.

Oleh karena itu Gereja terpanggil untuk memulihkan martabat manusia dan menyembuhkan wajah Allah yang terluka dalam diri para korban perdagangan manusia ketika manusia mengalami ketidakadilan di dalam hidup sehari-hari. 

Karena itu Gereja sebagai tanda dan sarana kehadiran Allah yang menyelamatkan dan persekutuan umat Allah yang sedang berziarah menuju Rumah Bapa mesti hadir, terlibat dan bergumul dalam persoalan-persoalan kemanusiaan. 

Keterlibatan Gereja tersebut adalah ungkapan kepedulian dan keberpihakkan Gereja pada nasib sesama manusia, terutama mereka yang miskin, menderita, terasing, tertindas dan terbuang. 

Sebab misi Gereja Peziarah di atas bumi ini adalah mencintai Yesus Kristus, menyembah-Nya dan mengasihi-Nya, teristimewa dalam diri mereka yang miskin dan kurang diperhatikan, di antaranya para migran, pengungsi dan korban perdagangan manusia, yang berusaha mencari cara untuk mengangkat beban-beban dari pundak mereka dengan kondisi kehidupan yang berbahaya dan mengancam nasib mereka.

Simpulan

Keluhuran harkat dan martabat manusia pada hakikatnya adalah mutlak yang berlaku semua manusia, tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun. Keluhuran ini tidak bersifat abstrak, tapi sebuah kenyataan individual dalam hidup sehari-hari. Keluhuran martabat ini terletak dalam interioritas pribadi manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta dan sesama manusia. 

Setiap pribadi manusia memiliki nilai dalam dirinya. Sikap dasar menghargai dan menghormati sesama mencerminkan kesadaran manusia akan dirinya yang adalah ciptaan Tuhan yang bermartabat ilahi.

Dengan demikian Gereja Katolik tidak membenarkan perdagangan manusia, karena tindakan ini bertentangan dengan pandangan dasar Alkitabiah tentang manusia sebagai citra Sang Pencipta. Human Trafficking telah mencederai sejarah kemanusiaan. Martabat manusia direndahkan. 

Tindakan komersialisasi martabat manusia ditolak karena manusia bukan makhluk ciptaan yang dapat diniagakan.

Harkat dan martabat manusia sebagai citra Tuhan merupakan sebuah antropologi dasar seluruh Ajaran Sosial Gereja yang terkait dengan manusia yang seharusnya diperlakukan sebagai subjek dan bukan objek. Manusia tidak pernah boleh memperdagangkan manusia.

 

Bibliografi

Linto dan wiliam Chang, manusia memperdagang manusia? (Jurnal Ledalero, Vol. 13, No.1, Juni 2014)

Armada Riyanto, Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari, (Yogyakarta: Kanisius, 2013).

Armada Riyanto, Katolisitas Dialogal,- Ajaran Sosial Katolik, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2014).

Go, Piet O.Carm. (penterj.), Perdagangan Manusia, Wisata Seks, Kerja Paksa (Human Trafficking, Sex Tourism, Forced Labour), (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2011).

Hardawiryana, R. (penterj.) Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta : Obor, 2002).

 

Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Human Trafficking Mereduksi Eksistensi Manusia Sebagai Imago Dei, Tinjauan Moral Kristiani"