Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aborsi sebagai Tindakan Anti Pro Life dalam Hidup Perkawinan Keluarga Kristiani



Penulis: Hubert Eko Setiawan, Mahasiswa Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.

Aborsi sebagai Tindakan Anti Pro Life dalam Hidup Perkawinan Keluarga Kristiani. Sumber/foto: CNN Indonesia

Kupang, Tafenpah.com - Kehamilan yang tidak dikehendaki adalah kehamilan yang dialami oleh seorang perempuan yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan hamil (BKKBN, 2007). Di Indonesia, dari data WHO tercatat lebih dari 32.000 perempuan mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki dalam rentang waktu 2010-2014. 

Jumlah tersebut menjadi salah satu yang paling tinggi di kawasan ASEAN (PKBI, 2016). Kasus kehamilan yang tidak dikehendaki sering terjadi pada pasangan yang sudah menikah dan belum merencanakan kehamilan. 

Namun yang kini menjadi sorotan publik dan menjadi perhatian khusus adalah kasus kehamilan yang tidak dikehendaki yang terjadi pada usia remaja. Usia remaja adalah usia yang sangat rentan, usia yang sangat gegabah, usia yang masih labil, usia yang belum bisa menentukan keputusan berdasarkan rasio maupun logika yang didasarkan pada sesuatu yang sifatnya positif.

 Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012, pengetahuan remaja berusia 15-19 tahun mengenai kesehatan reproduksi masih minim. Hanya 31,2% laki-laki dan 35,3% perempuan yang mengetahui bahwa kehamilan dapat terjadi hanya dengan 1 kali berhubungan seksual. Data survei yang sama juga menemukan bahwa 4,5% laki-laki berusia 15-19 tahun, 14,6% laki-laki berusia 20-24 tahun, 0,7% perempuan berusia 15-19 tahun dan 1,8% perempuan berusia 20-24 tahun telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Minimnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seks bebas di kalangan remaja dapat menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan yang berakhir pada aborsi tidak aman atau aborsi ilegal.

Aborsi ilegal dilakukan secara tradisional maupun modern, yaitu dengan meminum ramuan, pijatan atau menggunakan alat tertentu yang dimasukkan ke dalam liang vagina mengandung risiko sendiri-sendiri. Contoh pijatan perut yang dilakukan oleh dukun dapat mengakibatkan pendarahan atau kerusakan organ dalam, minum obat tertentu seperti pil kina dapat menyebabkan keracunan, kegagalan ginjal, muntah-muntah yang diikuti dehidrasi dan dapat menyebabkan kematian. Pada aborsi legal, komplikasi pun sering terjadi dan mempunyai risiko cukup tinggi. Ini berkaitan dengan cara-cara dan teknik yang di pakai, waktu, dan siapa serta bagaimana kemampuan para pelaku aborsi. Hal inilah yang menjadikan aborsi sebagai salah satu isu kesehatan reproduksi yang mendapat perhatian sangat serius, dan menguras energi juga emosi.

Perdebatan mengenai aborsi sendiri sudah berlangsung sangat lama. Berbagai kalangan dengan pandangannya masing-masing tentang legalitas aborsi melahirkan banyak perdebatan dan beda pendapat yang tiada ujungnya. Apalagi jika aborsi tersebut dikaitkan dengan hukum, moralitas, kesehatan dan hak asasi manusia. Pembahasan mengenai aborsi menjadi sangat kontroversi di masyarakat. Titik “tengkar” dari perbedaan pandangan mengenai aborsi ini adalah pembelaan terhadap hak hidup janin/embrio atau pembelaan terhadap kepentingan perempuan yang mengandung. Poin inilah yang kemudian menyebabkan “pertengkaran” antara kubu pro aborsi dan kontra aborsi dalam menyikapi tindakan aborsi. Mereka yang pro aborsi menyebut dirinya Pro-choice dan mereka yang kontra aborsi menyebut dirinya Pro-life. Pro-choice merupakan paradigma yang merujuk pada bagaimana aborsi dipahami sebagai tindakan yang sepenuhnya didasarkan pada pilihan bebas yang bersangkutan. Sedangkan Pro-life adalah paradigma yang lebih memihak pada kelangsungan hidup si janin atau bayi.

Pandangan Gereja Katolik

Dalam pandangan Gereja Katolik terkait dengan aborsi, Gereja menolak dengan tegas dan mengutuk tindakan aborsi. Sudah banyak dokumen Gereja yang berbicara tentang penghargaan atas kehidupan dan bahkan yang secara khusus dan tegas mengatakan menolak aborsi.

Katekismus Gereja Katolik yang dipromulgasikan dalam rangka memperingati 30 tahun pembukaan Konsili Vatikan II (11 Oktober 1992) oleh Paus Yohanes Paulus II meringkas secara padat ajaran Gereja Katolik mengenai aborsi pada nomor 2270-2279. Pertama-tama disampaikan masalah perlindungan terhadap janin, “Hidup manusia haruslah dihormati dan dilindungi secara absolut sejak dari saat pembuahan. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang manusia haruslah diakui bahwa dia mempunyai hak sebagai seorang pribadi-diantaranya adalah hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak bisa diganggu gugat bagi orang yang tak bersalah.”

Dalam sebuah konferensi anti-aborsi di Vatikan, Sabtu, 25 Mei 2019 (www.vaticannews.va), Paus Fransiskus mengatakan tidak boleh ada alasan untuk mengambil nyawa seorang manusia, bahkan untuk kasus ketika nyawa itu masih berupa janin yang secara medis lemah dan bisa meninggal saat dilahirkan atau tak lama setelah dia lahir. “Apakah perlu membuang nyawa demi menyelesaikan sebuah masalah? Apakah perlu merekrut pembunuh bayaran untuk menyelesaikan sebuah masalah?,” tegas Paus Fransiskus.

Menurut Paus Fransiskus, janin yang lemah harus diberikan perawatan terbaik seperti halnya orang tua yang juga harus dipersiapkan mentalnya jika kehilangan janin tersebut. Sebelumnya pada Oktober 2018, Paus Fransiskus mengatakan aborsi sama dengan kontrak pembunuhan yang ditujukan untuk menyelesaikan sebuah masalah. Paus pernah pula membandingkan aborsi dengan program egenetika Nazi di Jerman, yakni perbaikan ras manusia dengan membuang orang-orang yang berpenyakit atau cacat dan memperbanyak individu sehat. Paus Fransiskus dalam konferensi anti-aborsi di Vatikan menekankan Gereja Katolik selama berabad-abad menentang praktik aborsi yang dianggap sebagai sebuah dosa berat.

Esiklik Humanae Vitae

Walaupun praktek aborsi sering dilakukan oleh pasangan di luar nikah, dalam ajaran moral perkawinan dalam Gereja katolik menganjurkan setiap keluarga kristiani untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan dan terbuka terhadap kehidupan itu sendiri (pro-life). Dokumen ini dengan jelas mengajarkan bahwa setiap tindakan perkawinan harus terbuka untuk kehidupan baru.

Dalam dokumen ini diterangkan bahwa tugas utama suami-istri ialah menjadi rekan kerja yang bebas dan bertanggung jawab bagi Allah Pencipta (no. 1). Demi menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga, suami-istri tidak boleh melakukan hal-hal yang melawan hukum alam maupun hukum Allah meskipun harus berkorban luar biasa (no. 2-4).

Perkawinan diadakan oleh Sang Pencipta untuk mewujudkan dalam diri manusia desain diri-Nya sendiri (no. 8), meskipun secara alamiah tidak semua hubungan seksual selalu diikuti dengan kelahiran baru, tetapi hubungan seksual suami-istri harus selalu terbuka pada kelahiran baru. Ajaran itu didasari makna unitif dan makna prokreatif hubungan suami-istri. Dengan demikian, tidaklah dapat dibenarkan secara moral, bahkan dengan alasan apapun untuk melakukan tindakan yang jahat (aborsi, dll) yang berlawanan dengan kehidupan.

Ensiklik Evangelium Vitae

Gereja dengan tegas menolak adanya pengguguran dan mengajak kita untuk selalu menghormati hidup manusia sejak awal. Hidup adalah sesuatu yang baik. Itulah yang ditangkap secara naluri dan kenyataan pengalaman, dan manusia dipanggil untuk menangkap alasannya mendalam, mengapa begitu? Evangelium Vitae (1995) mengurai pertanyaan tadi terdapat di mana-mana di dalam Alkitab, dan sejak halaman-halaman pertama mendapat jawaban yang jelas-tegas dan mengagumkan. Santo Ireneus dari Lyon (1995) dengan definisinya, “manusia yang hidup kemuliaan Allah”. Manusia dikarunia martabat yang amat luhur, berdasarkan ikatan erat sekali yang menyatukannya dengan penciptanya.

Dalam Ensiklik Paus Yohanes Paulus II ini, No. 58 membahas secara khusus perihal persoalan pengguguran (aborsi). Ensiklik mengutip kata Mzm 139: 16 “matamu melihat selagi aku bakal anak”. Kejahatan paling ngeri adalah pengguguran. “Diantara semua kejahatan yang dapat dijalankan melawan hidup, pengguguran yang disengaja memiliki ciri-ciri yang menjadikannya sangat serius dan menyedihkan Konsili Vatikan II melukiskan pengguguran, seperti juga pembunuhan ank-anak, sebagai “kejahatan yang durhaka”. Akan tetapi sekarang bagi suara hati banyak orang kesadaran akan beratnya kejahatan itu berangsur-angsur menjadi makin kabur. Bahwa menurut tanggapan populer pengguguran diterima dalam perilaku dan bahkan dalam hukum sendiri, menandakan dengan jelas adanya krisis kesadaran moril yang berbahaya sekali.

Orang makin tidak mampu membedakan antara baik dan jahat, juga bila hak atas hidup dipertaruhkan. Celakalah mereka yang menyebut kejahatan baik dan kebaikan jahat, yang menggantikan terang dengan kegelapan dan kegelapan dengan terang” (No. 58).

Dalam Ensiklik ini, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa aborsi menghancurkan kehidupan manusia. Paus menyadari bahwa aborsi dipraktikkan oleh karena adanya tekanan/kesulitan hidup. Kehidupan baru, hasil dari hubungan seksual, menjadi musuh yang harus dihindari, dan aborsi menjadi respon yang paling mungkin ketika kontrasepsi gagal (no. 13). Kontrasepsi, sterilisasi dan aborsi bukan solusi yang benar untuk mengendalikan pertambahan penduduk (no. 91) dan juga dipakai atas alasan demografi.

Simpulan

Pada tahun 2004, Joseph Kardinal Ratzinger, Prefek Kongregasi Ajaran Iman, menyatakan: "Seorang Katolik bersalah saat bekerja sama secara formal dalam kejahatan, dan sangat tidak layak hadir untuk menerima Komuni Kudus”.

Pengajaran Alkitab dan Gereja Katolik menyatakan, “ Kehidupan manusia adalah sakral sejak dari awalnya melibatian tindakan penciptaan Allah” (Evangelium Vitae 53). Selain sebagai Gereja mini, keluarga menjadi komunitas pertama yang melahirkan kehidupan dalam Gereja. Dengan demikian, setiap keluarga kristiani tidak dapat menaruh sikap permisif terhadap tindakan aborsi. Sebab bila terjadi demikian, keluarga kristiani akan kehilangan hakekatnya sebagai “Gereja yang melahirkan kehidupan”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan alasan apa saja, Gereja Katolik tetap tidak mendukung praktik aborsi. Pemerintah mungkin mengeluarkan UU di mana jika itu adalah persoalan pemerkosaan diperbolehkan aborsi. Gereja (Katolik) melalui otoritas dan hierarki menolak dengan keras tindakan ini.

Melakukan pembenuhan kepada janin merupakan sebuah tindakan “meng-Allah-kan” diri sendiri. Urusan kehidupan dan kematian adalah kedaulatan Allah. 

 

 

 

 


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Aborsi sebagai Tindakan Anti Pro Life dalam Hidup Perkawinan Keluarga Kristiani"