Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jejak Langkah Perantau di Tengah Derasnya Kota Metropolitan


Jejak langkah perantau | Foto; Fredy Suni

Tafenpah.com - Jejak langkah perantau, beriringan dengan sejuta impian di tengah derasnya kehidupan kota metropolitan.

Tinggal di kota metropolitan Indonesia, khususnya di DKI Jakarta sebagai pusat Ibukota negara, sekaligus sebagai pusat industri, ekonomi, politik, budaya, hiburan, dan berbagai aspek vital lainnya, tidak serta merta menjadikan perantau untuk melupakan dari mana ia berasal.

Hal ini senada dengan salah satu filosofi dari etnis Dawan, yakni; Masti Mnao, Muklo'o, naikam mup'nikan kuan bale."

Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah, "ke manapun saya dan kamu pergi, jangan melupakan kampung halaman."

Filosofi klasik asal etnis Dawan Timor ini, sejatinya berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Karena sebagai bangsa yang plural, kita semua memiliki ungkapan demikian, sesuai dengan kebudayaan kita.

Sementara, bila kita kaji dari ilmu Filsafat, pikiran dan imajinasi kita akan tertuju pada sebuah slogan yang terpajang di depan pintu Gua Yunani Kuno, yakni; "Know Yoursel/Kenalilah Dirimu."

Sejujurnya, mengenali diri itu sulitnya minta ampun. Karena proses pengenalan diri, memang butuh pencarian sepanjang hidup kita.

Usia tidak menjadi alasan, apakah kita sudah dewasa atau belum? Meskipun demikian, melalui ragam perjumpaan dengan sesama yang berbeda kebudayaan, karakter, dan usia.

Saya pun sedikit demi sedikit, mengetahui diri saya. Saya pun yakin, kamu juga pasti mengalami hal serupa.

Meskipun proses, ruang, dan waktunya berbeda. Namun, kita selalu berada dalam satu perahu, yakni; mencari tujuan hidup.

Mencari tujuan hidup juga identik dengan apa yang kita sukai. Memang, apa yang kita sukai dan lakukan, belum tentu disukai orang lain.

Karena pada dasarnya, kita memiliki pandangan yang berbeda.

Perbedaan ini mencerminkan nilai-nilai estetik dalam kehidupan harian.

Dalam konteks perantau, ada yang memilih untuk pergi meninggalkan orang tua, kampung halaman beserta sanak family di kampung halaman.

Selain itu, kesunyian dan kenyamanan di kampung halaman. Istilah ini dalam Alkitab (Teologi Kristen) sudah dikatakan oleh para Nabi dan Penginjil.

Demikian pula, saya yakin iman kepercayaan lainnya pasti kurang lebih serupa. Apalagi yang berasal dari agama Samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam).

Tujuan dari kita pergi dan meretasnya kehidupan masa depan di tanah rantau adalah mencari kebahagiaan.

Plato dalam Etika Nicomachea sudah jelas mengatakan bahwasannya, tujuan tertinggi dan terakhir dari pencarian manusia adalah kebahagiaan.

Jejak langkah perantau | Foto; Fredy Suni


Meski dalam pencarian tersebut, entah sadar ataupun tidak, kerap kali kita menggunakan cara apapun untuk mencapai tujuan yang kita inginkan.

Padahal, dalam disiplin ilmu Etika dan Moral jelas mengatakan, kita tidak boleh menghalalkan segala cara, untuk mencapai tujuan kita.

Bullshit! Omong kosong. Secara kasarnya saya melabeli pemikiran demikian. Karena, kehidupan tidak akan pernah berjalan lurus-lurus saja.

Karena dunia selalu dipenuhi dengan DUALISME, yakni kebaikan dan keburukan.

Meskipun demikian, setidaknya kita memiliki filter kehidupan, khususnya mengenai hal buruk dan baik dalam kehidupan.

Ironisnya kehidupan perantau, tidak pernah lepas dari persaingan. Semakna dengan filosofi klasik Latin (Homo Homini Lupus), yang berarti: Manusia Menjadi Serigala Bagi Sesamanya).

Benar saja. Karena sesama perantau pun pasti bersaing dalam memperebutkan secuil roti dari para penguasa, entah di bidang apapun.

Menyadari kondisi demikian, kita pun harus yakin dan percaya, bahwasannya di dunia ini tidak ada yang mengasihani kita. Kitalah yang harus bermental baja dalam menanggulangi kehidupan harian kita yang penuh dengan dramanya.

Dramatisasi kehidupan perantau, bertalian erat dengan makna menyelami dunia, meski kita harus melawan arus.

Melawan arus berarti kita menyadari risikonya. Tapi, kalau kita yakin, niscaya sedasyat apapun badainya, kita pun akan melewatinya.

Karena dalam perjalanan, kita punya dasar atau kompas sesuai dengan filosofi kearifan lokal budaya kita.

Di mana, kita pergi ke negeri asing, bukan berarti lari dari kenyataan hidup di kampung, dsb. Tapi, karena ada tujuan yang ingin kita capai.

Inilah secuil kisah dari perantau, dalam meretasnya kehidupan di kota metropolitan.

Instagram Penulis @suni_fredy

Youtube; Tafenpah Group

Portal Pendukung;

Pahtimor.com

HitzTafenpah.com

LelahnyaHidup.com



Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Jejak Langkah Perantau di Tengah Derasnya Kota Metropolitan"