Sebaris Pesan Pemutus Kebersamaan
![]() |
Sumber Gambar: Kompas |
Oleh : Pudji Widodo
Tafenpah.com - Sore itu kami bertemu di tepi lapangan basket. Rully dan
Hevi akan menuju ke tempat parkir motor sedang aku akan ke sanggar Pramuka.
Rully menghentikan langkahnya dan membiarkan Hevi melanjutkan berjalan sendiri.
Hevi paham tak mau mengganggu kami.
Rully menggamit lenganku. Sejenak kami bergeser ke sudut
laboratorium elektronika.
"Mengapa kamu tidak pernah marah kepadaku ?" Rully
lebih dulu membuka diri.
"Untuk apa?, tak baik menyimpan marah"
Bening bola matanya menatapku serasa meminta kepastian.
"Sudahlah, banyak yang lebih penting untuk kita
persiapkan dari pada membicarakan itu". Aku melanjutkan.
"Kebersamaan kita tinggal sebentar Pras."
"Tak ada yang salah di antara kita, keputusanmu benar.
Aku yang terlalu berharap padamu Rully."
"Karena itu aku minta maaf."
"Aku juga minta maaf, salah kata, salah sikap selama
kita bersama. Juga salah menaruh hati." Balasku disusul tawa lirih untuk
meredakan tekanan situasi.
"Terima kasih Pras"
"Nah Hevi tentu
gelisah menunggumu." Aku menepuk lengan Rully.
Kami berpisah, sampai tangga sanggar pramuka aku sempatkan
menengok ke arah shelter parkir motor. Pada saat yang sama Rully menoleh
ke arahku. Ada getar lirih di dada kala kulambaikan tangan. Gadis berambut
panjang sepinggang itu membalas melambaikan tangan sebelum motornya bergerak
meninggalkan shelter parkir.
Dua minggu lagi kami akan menghadapi ujian akhir SMA. Itulah
perbincangan serius yang terakhir antara kami. Rully sempat menyampaikan keinginannya
melanjutkan belajar di Solo, sedang aku tidak memberitahu pilihan minat belajar
selanjutnya.
Mungkin karena itu dia memerlukan kepastian. Bila
selanjutnya kami tak bisa bertemu lagi, dia telah mengetahui bahwa tak ada luka
di antara kami. Segurat luka akibat keputusan menjelang libur kenaikan kelas setahun lalu yang harus
aku terima.
Keputusan dalam sebaris pesan pendek "Pras kita tidak
bisa bersama lagi." Tulisan singkat pada secarik kertas itu ada di antara
lembar halaman buku " Seratus hari di Surabaya yang menggemparkan
Indonesia," Seminggu lalu aku membantu Rully meminjam buku karya Ruslan
Abdulgani, karena jumlah buku pinjamannya di perpustakaan sudah maksimal.
Dua kegiatan besar persiapan dan pelaksanaan Perkemahan
Wirakarya dan Raimuna Nasional Pramuka Penegak membantu mengalihkan hari-hari
tanpa Rully. Gunung Ijen, Gunung Raung, Ranu Kumbolo, Gunung Arjuna, dan
Taman Nasional Baluran menjadi sasaran mengolah batin, memperkuat daya juang
mengatasi kompetisi di masa depan yang jauh lebih rumit dari pada soal putus
cinta.
Dik Pras, mantan mencarimu tuh."
Aku menghentikan gerak senamku. Acara reuni SMA kali ini, diawali dengan olahraga senam. Mas
Noval, kakak kelas menepuk bahuku lalu menunjuk seorang wanita yang berdiri
sendiri sepuluh meter di kanan belakangku.
Aku menghampiri perempuan yang bercelana hitam, atasan hijau
dipadu pasmina, berambut pendek dengan kacamata minus. Belum sempat aku
mengucap salam, dia telah mengulurkan tangan "Aku Rully."
Ya Tuhan, setelah 17 tahun lenyap bak ditelan bumi, hari itu
kami bertemu lagi. Ini reuni ketiga setelah kami lulus. Rully masih tetap
mempesona.
Kebetulan pada reuni pertama dan kedua aku bisa hadir,
sedang Rully tidak. Hampir semua teman sekelasnya menanyakan tentang Rully
kepadaku. Mengingat kedekatan kami dulu, mereka tak percaya saat aku cuma
mengangkat bahu.
Aku tidak melanjutkan senamku, dan mengantar Rully ke tempat
teman-temannya berkumpul. Belum sampai bergabung dengan teman-teman sekelasnya,
riuh godaan telah menyambut kami. Untung Wening isteriku tidak ikut hadir.
Kutinggalkan Rully bersama teman-temannya sekelas. Kami dulu
bersama di tahun pertama SMA. Tahun berikutnya saat penjurusan, dia masuk kelas Sosial-Bahasa, sedang aku
berada di kelas IPA-Matematika.
Di gerobak bakso aku bertemu Leksa, adiknya Hevi. "Mas
Pras, ada Mbak Rully, aku ketemu di meja pendaftaran." Dengan antusias
Leksa memberitahuku. Tadi Noval, sekarang Leksa, mungkin menurut mereka
kehadiran Rully merupakan berita besar buatku.
Lebih dari sekedar berita, bahkan awal dari kisah panjang
berikutnya. Rully sempat mencatat nomor HPku, sebaliknya aku sengaja tidak
menanyakan hal itu kepadanya. Sebulan setelah reuni sekolah, satu pesan WA
pertama dari Rully aku terima dalam perjalanan pulang kantor.
Inisiatif mengawali komunikasi kembali antara kami datang
dari Rully. Ini seperti mengulang apa yang terjadi delapan belas tahun yang
lalu. Rully meletakkan secarik kertas ketika dia melintas bangkuku. "Nanti
kita pulang bareng ya", Pesan singkat di kertas itu membangkitkan gairahku
sebagai pria remaja yang pertama kali mendapat perhatian dari lawan jenis.
Rully adalah bunga kelasku. Teman sekelas, lain kelas, juga
kakak kelas adalah sekian pria muda yang lebih dulu mencoba menarik perhatian
Rully. Semua tingkah mereka diungkapkan Rully kepadaku ketika kami telah
menjadi teman dekat.
"Kan tinggal pilih, gitu aja kok repot" godaku
spontan menanggapi apa yang dia ceritakan.
Rully mencubit ringan lenganku.
"Iya aku sudah memilih, aku cinta padamu." Kalimat
itu meluncur dari bibir Rully bersama dengan bunyi bel istirahat berakhir. Rully mendahului lari
kembali ke kelas.
Aku masih berdiri terpaku ketika Rully setelah sampai di
depan pintu kelas membalikkan badan dan menjulurkan lidah. Aku membalasnya
dengan mengacungkan kedua ibu jariku. Itulah tanda sepakat kami saling memiliki.
Sebuah babak baru dalam kehidupanku sebagai remaja pria.
Rekam jejak kebersamaan kami seperti diputar ulang, satu
demi satu tertayang. Seperti barisan tiang lampu jalan tol perak-waru, yang
muncul satu persatu seiring laju mobil yang membawaku pulang dari kantor (pw).
Posting Komentar untuk "Sebaris Pesan Pemutus Kebersamaan"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat