Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Keluarga: Melampaui Garis Keturunan dan Hubungan Darah

Ilustrasi gambar dari Pixels

Kisah nyata seorang eks Seminari St.Rafael Kupang

Editor: Fredy Suni

Tafenpah.com - "𝐴𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑝𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚 𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑘? 𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ-𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟 𝑠𝑎𝑦𝑎. K𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑢𝑙𝑖𝑎ℎ," saya meminta bantuan kepada kakak sepupu. 😔


"𝑀𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑚𝑎𝑎𝑓. 𝐵𝑙𝑚 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑡𝑢. 𝑀𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑘𝑒𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢𝑎𝑛 𝑛𝑖," jawabnya.


Itulah hari di mana saya memahami bahwa saya tidak boleh berharap apalagi bergantung ke orang lain. Saya harus bergantung pada diri saya sendiri. Gagal atau berhasil, saya harus berjuang sendiri.

                                    ***


𝐏𝐫𝐨𝐥𝐨𝐠

Ilustrasi kaka beradik sedang bertengkar.Parenting

Dalam beberapa fase kehidupan, saya pernah menyaksikan dua orang kakak beradik kandung yang berperang warisan tanah sampai akhir hayat. Ada juga kakak adik yang saling fitnah, saling menjatuhkan, saling menjelekkan, bahkan ada tidak saling teguran sampai usia senjanya. 


Hal ini lantas membuat saya bertanya tentang makna keluarga yang sesungguhnya.


𝐊𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫 𝐒𝐞𝐦𝐢𝐧𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢/𝐁𝐢𝐚𝐫𝐚

Fase terendah dalam kehidupan.Pixels

Dua fase terendah dalam hidup saya adalah ketika kedua orang tua saya meninggalkan dunia. Itu pasti. Namun itu barulah permulaan kisah hidup saya.


Bertahun-tahun setelahnya, saya kembali memasuki satu lagi fase terendah dari hidup. Itu adalah ketika saya harus keluar dari Rumah Studi Biara Karmel Wairklau. Semua terasa berubah. Banyak kenalan saya yg berubah sikap. Waktu masih frater, mereka begitu baik. Waktu saya sudah keluar, kita seperti orang yang tidak saling kenal. Bahkan ada seorang tua (kenalan lama) yang saya tegur waktu dalam perjalanan ke Kampus. Beliau tidak menggubris. Itulah kenyataannya.


Masih teringat jelas, ketika saya membawa dua kardus. Satunya berisi pakaian, satunya lagi berisi buku-buku. Saya menitipkan sementara di rumah sebuah keluarga di Nitapleat sebelum akhirnya mendapatkan kosan murah di wilayah tersebut. Kosan itu sebulannya 50 ribu rupiah. Mungkin itu kosan yang paling murah se-kabupaten Sikka. Saya memilih tempat itu karena kondisi keuangan saya yang kritis. Karena murah, saya bisa super hemat (𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑡𝑒𝑚𝑎𝑛2 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑎 𝑘𝑢𝑙𝑖𝑎ℎ 𝑡𝑎ℎ𝑢 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑘𝑜𝑠𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑢𝑑).


Kalau hujan ya bocor. Saya harus memindahkan buku-buku dan pakaian ke tempat yang lebih aman. Kalau panas ya sangat, karena langsung beratapkan seng. Belum lagi nyamuk dan tikus yang menjadi sahabat setiap harinya.


𝐇𝐚𝐦𝐩𝐢𝐫 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐁𝐢𝐬𝐚 𝐋𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭 𝐊𝐮𝐥𝐢𝐚𝐡 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐏𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐔𝐚𝐧𝐠

Pixels

Satu kenyataan yang harus saya hadapi adalah bahwa saya harus membayar biaya kuliah di STFK Ledalero sendiri. Saya tidak memiliki pekerjaan. Apalagi penghasilan. Mau meminta ke orang tua? Mereka sudah meninggal lama.


Saya kemudian meminta untuk mengikuti perkuliahan lebih dahulu. Saya berjanji akan melunasi uang semester sebelum waktu ujian semester. Akhirnya dibolehkan. Saya tinggal memikirkan bagaimana mendapatkan uang kos dan makan sehari-hari sambil menyisihkan sedikit untuk uang semester. Konsepnya jelas. Tapi sumber keuangannya yang blm jelas darimana. 


Saya kemudian memberanikan diri pergi ke rumah keluarga untuk mengatakan bahwa saya sudah keluar dari Biara. Tak diduga. Mereka mengatakan bahwa tidak apa-apa. Itu adalah panggilan hidup. Kemudian saya diberikan beras satu kaleng Hongguang.


"𝐿𝑢𝑚𝑎𝑦𝑎𝑛. 𝐵𝑖𝑠𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢-𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑖𝑛𝑖," ujar saya dalam hati. 😀


Ketika sampai di kosan. Keresahan masih terus mengusik. Darimana saya bisa dapatkan uang? 


Sebuah keajaiban menyapa. Ada sebuah keluarga yang mencari guru privat piano. Saya pun mengambil peluang itu. Di sana, sya mengajar piano untuk kakak beradik: perempuan (SMP kelas 1) dan laki2 (SD kelas 4). Mereka adalah dua murid yang luar biasa. Bahkan saya sudah menganggap mereka sebagai adik-adik saya sendiri. 


Dari private itu, saya akhirnya bisa mendapatkan income untuk membayar uang kuliah.


Selain itu, saya juga cukup aktif dalam pelayanan di Gereja sebagai organis/pianis. Bahkan libur Natal dan Paskah tidak saya pakai untuk pulang kampung. Saya memilih bertahan di sana untuk bisa mengumpulkan uang lebih buat bayar kuliah dan keperluan sehari-hari.


𝐊𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐮

Keluarga Baru.Kompas

Ada satu momentum yang sangat membekas. Waktu itu, saya baru pulang kuliah. Jalan kaki sudah pasti. Saya dikejutkan oleh sebuah suara.


"𝐴𝑑𝑒 𝐸𝑚𝑖𝑙. 𝑀𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎ℎ 𝑑𝑢𝑙𝑢," ajak seorang bapak.


"𝐵𝑎𝑖𝑘 𝑏𝑎𝑝𝑎," respon spontan saya. 😀


"𝐾𝑖𝑡𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑢𝑙𝑢. 𝐽𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑟𝑢-𝑏𝑢𝑟𝑢," ucap bapak itu setelah beberapa saat kami duduk bersama. 


Mereka adalah keluarga yang sangat baik. Suami-istri dan 3 orang anak. Bahkan saya menganggap ketiga anak mereka seperti adik saya. Anak pertama mereka perempuan (SMP kelas 1), anak kedua laki-laki (kelas 5 SD), dan anak ketiga perempuan (kelas 1 SD).


Hampir setiap siang saya selalu ke sana. Selain bisa makan siang gratis. Saya merasa bahwa mereka sudah menganggap saya sebagai bagian dari keluarga mereka.


Ada juga satu keluarga lagi. Mereka hanya memiliki seorang anak laki-laki (SMP kelas 1). Mereka sangat baik. Sya juga biasa berkunjung ke mereka. Bukan hanya untuk makan gratis. Namun saya juga merasa bahwa mereka menerima saya di sana. 


Ada juga seorang bapak yang begitu baik. Beliau sangat mahir bermain piano/organ. Beliau juga ex Frater. Beliau selalu mengatakan kepada saya, "𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑑𝑖 𝑘𝑜𝑠𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠. 𝐷𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑛𝑖 𝑠𝑗𝑎."😀


Beberapa waktu setelahnya, ada juga sebuah keluarga. Mereka punya 3 anak laki2. Mereka juga sangat baik. 


Ada juga satu keluarga lainnya. Mereka memiliki satu anak laki-laki. Hampir setiap malam saya berkunjung ke sana. Selain untuk makan malam. Saya biasa bermain gitar bersama kepala keluarganya yang adalah seorang guru musik SMP.


Masih ada satu keluarga yang tinggal di dekat STFK Ledalero. Mereka memiliki 3 orang anak: Perempuan (SMP kelas 1), laki2 (SD kelas 4), dan perempuan (blm sekolah). Mereka punya keyboard. Saya biasa bermain keyboard di sana untuk waktu yang cukup lama.


Ada lagi sepasang suami istri yang tidak memiliki anak. Saya bahkan cukup sering ke sana. 


Ada juga sepasang suami istri dengan dua anak angkat perempuan (SMA kelas 1 dan SD kelas 2).


Ada juga di wilayah Waegete. Sebuah keluarga yang sangat baik. Anak kedua mereka seumuran saya. Di Waegete juga saya menemukan beberapa orang baik yang memiliki jiwa persaudaraan. Bersama mereka, saya suka bercanda dan berbagi tawa.


Saya juga masih ingat dengan seorang teman. Dia pemain gitar bass. Dia selalu mengajak saya ke rumahnya. Orang tuanya sangat baik. Saya bahkan biasa tidur di rumah mereka untuk beberapa waktu. 


Masih ada sebuah keluarga asal Palue. kepala keluarganya juga ex Frater. Ia juga memperlakukan saya seperti seorang adik. Sangat baik. Sangat baik.


Selain itu, saya juga diperkenalkan oleh Suster Eustochia untuk menggunakan salah satu kamar di Sekretariat TRUK-F sebagai kamar tidur. Di sana saya mempelajari banyak hal. Termasuk kepedulian terhadap orang-orang yang termarjinalkan.


Mungkin kami tidak memiliki ikatan keluarga. Namun mereka semua justru memperlakukan saya seperti keluarga. Bahkan kalau boleh jujur. Mereka memperhatikan saya lebih dari yang dilakukan keluarga saya pada masa-masa itu. Mereka bahkan tahu situasi dimana saya sedang tidak baik-baik saja.


Saya selalu mengingat kebaikan mereka dan terus membawa dalam doa. Semoga nanti bisa berjumpa lagi. Saat ini, saya akan mengucapkan terimakasih banyak. Banyak. Banyak.


Mungkin saya memiliki keluarga dalam artian ikatan darah dan garis keturunan. Namun hampir tidak pernah ada menanyakan, "𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑘𝑎𝑏𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎?" 


Sebuah sapaan sederhana pada fase terendah hidup, yang sangat saya harapkan. Atau mungkin mereka berpikir saya sedang baik-baik saja. Padahal kala itu, saya tidak baik-baik saja.


Dari lingkungan keluarga ikatan garis keturunan, orang yang benar-benar memperhatikan saya adalah mama kecil di Maumere. Ada juga keluarga di Wairpelit dan di wilayah Ritapiret (mereka adalah karyawati di Ritapiret). Mereka hidup dalam kesederhanaan bahkan berkekurangan. Namun, saya tidak pernah lapar setelah pulang dari rumah mereka.


Saya juga memiliki beberapa (cukup banyak) keluarga dari garis keturunan orang tua yang begitu baik. Termasuk ketika saya berkunjung atau berlibur ke tempat mereka. Saya selalu diterima dengan hati yang terbuka.


𝐊𝐫𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐊𝐞𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧


Masa studi satu semester hampir berakhir. Saya harus membayar uang kuliah. Namun saya masih kekurangan dana sekitar 1,5 juta. Saya kehabisan keberuntungan. Padahal semua potensi sudah saya kerahkan. Masih saja kurang.


Saya pun memutuskan untuk meminjam uang dari Kakak sepupu yang saya yakin dia bisa membantu. Mengingat pada masa lalu, kami memiliki ikatan yang cukup kuat.


Saya pun meneleponnya pada malam hari. Di tengah percakapan, saya mengutarakan maksud saya:


𝐴𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑝𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚 𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑘? 𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ-𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟 𝑠𝑎𝑦𝑎. 𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑢𝑙𝑖𝑎ℎ," saya meminta bantuan kepada kakak sepupu. 😔


"𝑀𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑚𝑎𝑎𝑓. 𝐵𝑙𝑚 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑡𝑢. 𝑀𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑘𝑒𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢𝑎𝑛 𝑛𝑖," jawabnya.


"𝐵𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑔𝑎𝑛𝑡𝑖 𝑘𝑘," rayu saya. 😄


"𝑀𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑚𝑎𝑎𝑓. 𝐵𝑙𝑚 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑛𝑖," sambungnya.


Alam tidak baik-baik saja. Sebentar lagi akan turun hujan. Itulah hari dimana saya memahami bahwa saya tidak boleh berharap apalagi bergantung ke orang lain. Saya harus bergantung pada diri saya sendiri.


Sembari mengumpulkan tekad, saya pun memutuskan untuk berjuang dengan tangan saya sendiri. Target saya adalah menjadi lebih baik dari hari ini. Bahwa lusa harus lebih baik dari esok dan seterusnya. Bahkan sampai hari ini, saya pun masih menerapkan hal yang sama: bahwa esok harus lebih baik dari hari ini, hingga suatu saat dimana saya mencapai versi terbaik dari semua potensi diri dan pencapaian hidup saya.


 𝐋𝐨𝐠𝐢𝐤𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐋𝐨𝐠𝐢𝐬𝐭𝐢𝐤


Karena sudah tahu cara mengaktifkan mode hemat, maka saya pun memetakan kenalan mana yang bisa saya kunjungi setiap hari. Selain untuk diskusi, lebih-lebih supaya bisa makan gratis. Wah..parah. Yang ini bukan contoh yang baik.


Pada suatu senja, ketika mengunjungi keluarga kandung yang pernah memberikan saya beras satu kaleng Hongguang 6 bulan sebelumnya, tiba-tiba saya tersentak.


"𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ ℎ𝑎𝑏𝑖𝑠 𝑘𝑎?" tanya mama kecil saya.


"𝑀𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑚𝑎. 𝑆𝑖𝑠𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑙𝑒𝑛𝑔 𝐻𝑜𝑛𝑔𝑔𝑢𝑎𝑛𝑔," jawab saya. 😄


"𝐾𝑎𝑢 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑀𝑖𝑛𝑔𝑔𝑢 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎 𝑘𝑎𝑙𝑖?"


Saya hanya menjawab dengan tawa. Beliau tidak tahu kalau saya sudah menerapkan mode super hemat. 😄😄


Hari ini, saya telah memiliki pendamping hidup. Seorang yang bisa saling berbagi suka dan duka. Walaupun kadang kami berbeda pandangan dan kadang bertengkar. Kami sama-sama merasa bahwa semakin hari kami semakin kompak dan mulai bisa saling memahami.


𝐄𝐩𝐢𝐥𝐨𝐠

Bolacom

Ini bukan pledoi. Ini hanya tentang yang tak terkatakan. Sekaligus permohonan maaf kepada semua, bila selama ini saya kurang memberi kabar tentang keadaan saya. Bukan karena sombong atau apa (tidak ada hal yang bisa membuat saya memegahkan diri). Mungkin hanya karena saya sudah terbiasa dengan keadaan ini cukup lama (keadaan dimana saya tidak memberi kabar dan tidak ditanyai kabar). Saat ini saya biak-baik saja. Semoga kita semua senantiasa sehat selalu. 🙏


Selain itu. Tulisan sederhana ini lebih sebagai bentuk penghormatan dan terimakasih mendalam kepada mereka-mereka yang sudah mendukung saya waktu masih di Maumere. Mereka bukan keluarga. Namun bagi saya, mereka adalah keluarga saya.


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Makna Keluarga: Melampaui Garis Keturunan dan Hubungan Darah"