Paradoks
Pardoks kehidupan pedesaan dan perkotaan. Ilustrasi gambar dari labyrinthsoftmind.com
Oleh: Hendrika LW
Penulis Buku: Nyanyian Hati
Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa terpencil membuat sebagian mahasiswa ciut nyali. Bayangan malam tanpa listrik, tidak ada WiFi, jalanan makadam dan berlumpur. Ah, tapi tidak denganku! Gadis desa yang sejak kecil sudah terbiasa berbaur dengan lumpur sawah.
Kami berlima dari satu fakultas. Aku, Rany, febi, Viko dan Rahmi. Selasa siang tiba di desa Oebela, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan kendaraan oto, semacam truk barang. ‘Selamat datang di kampung kami.” Sambutan kepala desa sangat hangat. Kami tinggal di salah satu rumah warga, karena rumah Pak Kades sedang dalam perbaikan. Kami mulai membiasakan diri tidur di ranjang dengan kasur ‘spons’ tipis yang sudah kumal kecoklatan.
Betapa gembiranya, seluruh warga mendukung program kegiatan kami dengan penuh semangat. Keramahtamahan dan kehangatan di sini membuat kami betah. Sekali pun untuk ke desa lain, kami beradu dengan lumpur. Di atas roda yang terbenam jalanan, pikiranku menerawang ke kota. Aspal yang mulus, tapi masih di bongkar-bongkar, dengan alasan yang tak kupahami! Serta lampu-lampu superbenderang yang mengalahkan cahaya bulan. Hingga kunang-kunang pun terhalau.
Posting Komentar untuk "Paradoks"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat