Makan Terakhir
Makan terakhir. Ilustrasi gambar dari Desisachiko.com |
Oleh: Hendrika LW
Saat itu aku memulai kehidupan baru. Aku mengenal lawan jenis secara privasi, saat sama-sama mencari makan di tempat yang asri. Benno, cowok bertubuh tegap dan berbulu lebat yang menjadi idola para gadis. Kami hidup bersama tanpa pesta perkawinan. Di dunia kami insting cinta sudah cukup. Aku melahirkan tiga bayi yang tambun dan sehat.
Alam tak henti mencumbuiku dengan kehangatan. Aku melahirkan lagi. Melahirkan lagi. Melahirkan lagi. Kehidupan kami sangat bahagia. Rumah bambu yang nyaman, lahan kebun yang luas, membuat kami makmur.
Entahlah, hari itu mungkin sudah naas kami. Pantas saja sejak semalam aku gelisah, firasatku tak enak. Pagi itu seperti biasa, nyonya baik hati menaruh seember makanan sisa di bawah pohon mangga. Anak-anak segera kupanggil sarapan. “Wah, enak sekali makanan ini, ya bu.” Kami makan dengan lahap. Tak kusangka, ini adalah makanan terakhir kami. Beberapa jam kemudian semua terkapar, termasuk aku. Sejak hari itu, rumah nyonya sepi dari suara cericit kami.
Posting Komentar untuk "Makan Terakhir"
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat