Makan Terakhir

Makan terakhir. Ilustrasi gambar dari Desisachiko.com
.


Oleh: Hendrika LW


Saat itu aku memulai kehidupan baru. Aku mengenal lawan jenis secara privasi, saat  sama-sama mencari makan di tempat yang asri. Benno, cowok bertubuh tegap dan berbulu lebat yang menjadi idola para gadis. Kami hidup bersama tanpa pesta perkawinan. Di dunia kami insting cinta sudah cukup. Aku melahirkan tiga bayi yang tambun dan sehat.


Alam tak henti mencumbuiku dengan kehangatan. Aku melahirkan lagi. Melahirkan lagi. Melahirkan lagi. Kehidupan kami sangat bahagia. Rumah bambu yang nyaman, lahan kebun yang luas, membuat kami makmur.


Entahlah, hari itu mungkin sudah naas kami. Pantas saja sejak semalam aku gelisah, firasatku tak enak. Pagi itu seperti biasa, nyonya baik hati menaruh seember makanan sisa di bawah pohon mangga. Anak-anak segera kupanggil sarapan. “Wah, enak sekali makanan ini, ya bu.” Kami makan dengan lahap. Tak kusangka, ini adalah makanan terakhir kami. Beberapa jam kemudian semua terkapar, termasuk aku. Sejak hari itu, rumah nyonya sepi dari suara cericit kami.



TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam Literasi. Perkenalkan saya Frederikus Suni. Saya pernah bekerja sebagai Public Relation/PR sekaligus Copywriter di Universitas Dian Nusantara (Undira), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya juga pernah terlibat dalam proyek pendistribusian berita dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ke provinsi Nusa Tenggara Timur bersama salah satu Dosen dari Universitas Bina Nusantara/Binus dan Universitas Atma Jaya. Tulisan saya juga sering dipublikasikan ulang di Kompas.com. Saat ini berprofesi sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), selain sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah Luar Biasa Jakarta Barat. Untuk kerja sama bisa menghubungi saya melalui Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy || ������ ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Makan Terakhir"