Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Remaja Bunuh Diri

Remaja bunuh diri.Pixabay.com


 Remaja Bunuh Diri, Bukan Soal Iman yang Lemah

Gitu aja kok, bunuh diri sih? Orang tuanya ngajarin apa? Ini reaksi saya – dulu – kalau membaca berita remaja bundir. 

Seorang remaja putri berusia 15 tahun yang meninggal karena terjun dari lantai 33 gedung apartemen tempat tinggalnya, sempat menjadi berita di banyak situs berita online pada tahun 2019. 

Bagi saya yang mengenal anak itu, bukan penghakiman lagi yang muncul dari pikiran saya. Sedih hati saya karena saya kenal anak itu sejak masih kecil. Lia –bukan nama sebenarnya - sering diajak ibunya ke kantor karena kami teman sekantor. 

“Mereka baru pulang dari gereja. Masing-masing masuk kamar. Sejam kemudian ibunya masuk ke kamar Lia, tapi anak itu tidak ada. Panik, ibunya minta bantuan satpam apartemen untuk mencari ke seluruh area. Jam 9 malam baru ketemu, sudah tergeletak di halaman rumput,” papar seorang teman kantor yang tinggal di komplek yang sama. 

Mengapa anak itu memutuskan untuk menyudahi hidupnya dengan cara yang tidak semua orang punya keberanian? Merasa tidak pandai dan menjadi korban bully di sekolah. Demikian ungkap sahabatnya. 

Tidak lama setelah peristiwa itu, masih di tahun yang sama. Terdengar kabar lagi kejadian serupa. Seorang kenalan saya mengalami duka cita sangat mendalam karena putranya yang berumur 20 tahun memutuskan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di balkon rumahnya. Penyebabnya karena diputus pacarnya.

Perubahan Struktur Otak

Mengapa remaja punya pikiran senekat itu? Sebuah jurnal, American Academy of Child & Adolescent Psychiatri memberi jawaban atas pertanyaan saya mengapa anak-anak remaja begitu mudah melakukan bunuh diri. Menurut jurnal ini, otak remaja sedang mengalami proses pematangan dan berkembang dari masa kanak-kanak, masa remaja,  menuju dewasa. 

Amigdala – bagian otak yang bertanggung jawab untuk reaksi sesaat (termasuk ketakutan dan agresif) berkembang lebih dulu. Sementara frontal cortex, area otak yang mengendalikan ‘alasan’ dan membantu berpikir sebelum bertindak (executive function), berkembang belakangan. Frontal cortex masih terus berubah, berkembang lebih lambat, dan akan mengalami kematangan saat ia benar-benar berusia dewasa. 

Perubahan lain pada otak remaja adalah, terjadinya peningkatan yang cepat pada koneksi antar sel otak, yang membuat antar bagian otak semakin efektif. Tumbuh myelin (lapisan sel saraf) yang membantu proses komunikasi antar sel. Perubahan ini penting bagi perkembangan koordinasi antara pikiran, tindakan, dan perilaku. 

Perubahan otak itu berarti cara kerja otak remaja berbeda dengan cara kerja otak orang dewasa ketika mereka membuat keputusan, atau menyelesaikan masalah. Tindakan remaja dituntun oleh emosi dan reaktif dari amigdala, dan kurang berpikir matang dan logis dari frontal cortex. Remaja cenderung impulsif, irasional dan berbahaya. 

Diperburuk oleh NAPSA dan Alkohol

NAPSA atau obat-obatan terlarang dan alkohol yang dikonsumsi oleh remaja akan semakin memperlambat perkembangan frontal cortex. Pemakaian NAPSA dan konsumsi alkohol bertahun-tahun merusak saraf pada frontal cortex dan melemahkan kemampuan berpikir. 

Tanpa zat-zat itu pun, remaja memiliki ciri-ciri: 

- Mudah celaka

- Salah intepretasi terhadap gejala dan emosi sosial

- Mudah terpicu perkelahian dan tawuran

- Dekat dengan perilaku berisiko dan berbahaya

- Kurang berpikir sebelum bertindak

- Kurang mampu mempertimbangkan konsekuensi tindakan mereka

- Tidak mampu mengubah perilaku bahaya dan tidak pantas menjadi perilaku yang pantas


Remaja Laki-laki Lebih Berani

Sebuah survei menyebut, pelaku bunuh diri lebih banyak laki-laki. Padahal perempuan lebih rentan depresi dan sering berencana untuk bunuh diri. Kenapa?

Sebuah artikel yang dimuat di bbc.co.uk menyebut bahwa konstruksi sosial ‘laki-laki harus  kuat’, ‘laki-laki tidak boleh menangis’ dan ‘laki-laki tidak mengekspresikan perasaan agar tidak tampak lemah’, adalah salah satu penyebabnya. Padahal mengekspresikan perasaan dan menangis adalah cara sehat untuk  mencegah depresi. Air mata berisi kortisol yaitu hormon stress yang sebaiknya dibuang. 

Penyebab lainnya adalah karena laki-laki cenderung lebih berani ketimbang perempuan. 

Sebagai seorang ibu dari anak laki-laki berusia 25 tahun dan anak perempuan berusia 15 tahun, saya memandang peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh remaja sebagai cermin. 

Kepada anak laki-laki saya, saya bertanya, “Apa yang kamu rasakan dan kamu lakukan ketika pacarmu mutusin kamu? Pernah kepikiran bunuh diri? Enggaklah.” 

Saya belum puas dengan jawabannya. “Jika ada cowok umur 20 tahun bunuh diri gegara diputus pacarnya. Apa pendapatmu?” Jawabnya; “Dia terlalu tertutup, nggak punya banyak teman untuk membantu berpikir realistis.” 

Kepada anak perempuan saya, saya bertanya; “Anak teman ibu umur 15 tahun bunuh diri karena merasa nggak pinter dan dibully teman sekolahnya. Menurutmu?” 

Jawabnya, “Itu soal kekuatan mentalnya saja, dan komunikasi dengan orangtuanya pasti jelek. Kalau ngomong, ‘bu aku merasa depresi’. Ibunya pasti banyak nasehat. Nggak nanya dulu, apa penyebabnya.” 

Dari jawaban anak perempuan saya, saya menyimpulkan bahwa ternyata kedekatan anak remaja dengan orang tua bukanlah ‘sesuatu’ yang dapat mencegahnya untuk melakukan bunuh diri. Meski anak bersikap terbuka pada orang tua, tetapi sikap orang tua yang mudah menghakimi dan buru-buru ‘pidato’ soal kurang bersyukur, kurang berdoa, kurang beriman, dan over thinking justru memperburuk kondisi mental anak. 

Itu  yang dialami oleh remaja laki-laki usia 20 tahun yang gantung diri karena diputus pacarnya. “Ngapain sih diputus pacar aja kok dipikirin terus? Sudahlah, banyak hal lain yang lebih penting daripada cewek,” kata sang ayah yang bermaksud menghibur anaknya. Ayah berharap sang anak mengubah cara berpikir, dan memandang persoalannya menggunakan cara berpikir ayahnya. Lupakan!  Atau, ‘Hei! The life must go on!’ 

Penting dipahami, meski otak remaja dan otak dewasa berbeda, bukan berarti remaja tidak dapat membuat keputusan yang baik, atau tidak tahu antara yang benar dan yang salah. Perbedaan otak itu juga bukan berarti bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka. Orang tua hanya perlu tahu dan sadar adanya perbedaan itu, supaya ia dapat membantu mengantisipasi dan mengelola perilaku anak remajanya. 


Penulis:Imma Rachmani

(Redaktur Majalah Femina Group/ GCM Group, Penulis Novel Sebuah Hati Untuk Toni dan masih banyak karya yang tidak disebutkan satu per satu)






Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Hi salam kenal ya!!! Saya Frederikus Suni, biasanya disapa Fredy Suni adalah pendiri dari Tafenpah. Profesi: Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University). Saya adalah mahasiswa Droup Out/DO dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dan Universitas Dian Nusantara (Undira). Saat ini bekerja sebagai Kreator Konten Tafenpah Group | Saya pernah menjadi Wartawan/Jurnalis di Metasatu.com dan NTTPedia.id || Saya pernah menangani proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI || Saya pernah magang sebagai Copywriter untuk Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta. Saat ini fokus mengembangkan portal yang saya dirikan yakni: www.tafenpah.com || www.pahtimor.com || www.hitztafenpah.com || www.lelahnyahidup.com || www.sporttafenpah.com || Mari, kita saling berinvestasi, demi kebaikan bersama || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

2 komentar untuk "Remaja Bunuh Diri"

  1. Sangat menambah wawasan. Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pak Kate yang selalu hadir menyapa dan memberi dukungan

      Salam sehat

      Hapus

Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih


Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat