Asmara di Bawah Bayang-Bayang Patriarki: Sebuah Refleksi Gender dan Teologis

Oleh : Hilarius lawe

Asmara di Bawah Bayang-Bayang Patriarki: Sebuah Refleksi Gender dan Teologis. Hilarius Lawe/Tafenpah.com


TAFENPAH.COM - Dunia asmara, idealnya adalah ruang berbagi kasih dan kebahagiaan, seringkali tercemari oleh ketidaksetaraan gender. Perempuan kerap menjadi objek perbincangan yang ramai, terutama saat dianggap menyimpang dari norma sosial. 

Kedudukan perempuan yang dipandang sebelah mata menjadi topik utama dalam opini ini. 

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2024, kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) mengalami peningkatan signifikan, mencapai 330.097 kasus atau naik sebesar 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Dari data di atas, terdapat sekitar 15% terjadi dalam dunia pacaran dan sekitar 10 % terjadi pada status mantan. Kita perlu bertanya bahwasannya mengapa hal ini terjadi? Lebih dari sekadar norma sosial yang kaku, akar permasalahan ini merentang jauh, mencakup setiap aspek kehidupan perempuan, dari dunia kerja hingga ranah politik, bahkan merasuk ke dalam interpretasi agama yang bias gender.




Ketidaksetaraan ini bukanlah fenomena alamiah, melainkan konstruksi sosial yang dilanggengkan atau menjadi sesuatu yang dianggap lasim oleh budaya patriarki.

Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pusat, sedangkan perempuan dianggap sebagai pinggiran hingga menciptakan standar ganda yang merugikan. 

Laki-laki bebas berekspresi, sementara perempuan terikat oleh ekspektasi yang tidak realistis misalnya harus cantik, pintar, setia, dan selalu mendukung. 

Kegagalan untuk  memenuhi standar ini berujung pada perundungan, kekerasan, dan kontrol yang merampas kebebasan perempuan serta tindakan kekerasan   yang dapat merenggut nyawa perempuan. 

Meskipun dihadapkan pada tantangan dan ketidaksetaraan gender  yang berkelanjutan, sangatlah penting bagi kita untuk tidak pernah menyerah pada jurang keputusasaan atau rasa ketidakberdayaan. 

Sebaliknya, kita harus memandang masa depan dengan optimisme yang gigih dan tekad untuk bertindak. 

Pendidikan adalah fondasi utama, kunci emas yang esensial untuk benar-benar membuka lebar pintu menuju kesetaraan yang sejati dan bermakna. 

Melalui pendidikan yang inklusif dan berkualitas, perempuan akan diberi akses penuh dan tak terbatas ke lautan pengetahuan, keterampilan, dan, yang terpenting, kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. 

Lebih dari itu, kesadaran kolektif yang mendalam dan terus-menerus akan adanya ketidakadilan dan diskriminasi struktural ini harus kita anggap sebagai cahaya obor yang menerangi kegelapan kebodohan dan penindasan. 

Hal ini selaras dengan salah  satu manifestasi nyata dari budaya patriarki yang menunjukkan tingginya angka pernikahan dini. 

Pernikahan anak di Indonesia masih mengkhawatirkan, dengan 8,16% perempuan menikah di usia 10-15 tahun dan 25,08% di usia 16-18 tahun. Hal ini menghambat pendidikan dan potensi mereka, diperparah oleh norma sosial yang membatasi peran perempuan di ranah domestik. 

Kesadaran ini harus mendorong kita untuk melawan diskriminasi gender dan memberikan dukungan penuh kepada korban kekerasan.

Untuk mewujudkan transformasi ini, kita membutuhkan tindakan yang bersifat kolektif, solidaritas yang kuat tanpa batas, dan terutama kepemimpinan yang berani dari perempuan sendiri. Ketiga elemen ini, bila bersatu, akan membentuk kekuatan yang sinergis dan tak terbendung dalam upaya menciptakan perubahan sosial yang substansial, nyata, dan berkelanjutan. Pada akhirnya, perubahan ini bukanlah tanggung jawab satu pihak. 

Setiap pilar masyarakat harus mengambil perannya secara serius dan proaktif misalanya media memiliki kekuatan untuk membentuk narasi, keluarga adalah agen sosialisasi pertama, institusi agama harus menyebarkan pesan keadilan, sistem hukum wajib menjamin perlindungan, ekonomi harus menciptakan akses yang adil, teknologi harus menjadi alat pemberdayaan, bukan pemisah. 

Semua unsur ini memiliki peran yang amat krusial dan tak tergantikan dalam kerja sama untuk membangun sebuah masa depan yang tidak hanya lebih adil, tetapi juga benar-benar setara bagi semua individu, tanpa memandang gender.
Dalam upaya kolektif kita menuju kesetaraan, refleksi teologis dan spiritual menjadi langkah yang sangat krusial dan tak terhindarkan. 

Hal ini menuntut kita untuk meninjau ulang dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran suci agama dengan lensa yang inklusif secara mendalam dan berkeadilan gender. Kita juga perlu meninjau kembali ajaran agama dengan perspektif yang inklusif dan adil gender, selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Interpretasi yang bias dan membenarkan diskriminasi terhadap perempuan harus ditolak, karena agama-agama di Indonesia pada dasarnya mendukung kesetaraan dan keadilan bagi semua.

Dengan berpegangan teguh pada kekuatan iman (keyakinan spiritual) dan pemandu akal sehat (rasionalitas dan etika), kita dimampukan untuk membangun sebuah tatanan relasi, khususnya dalam konteks "asmara" atau kemitraan sejati, yang transformatif dan sehat. Kemitraan yang sejati dan otentik ini haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip luhur seperti kasih (cinta tanpa syarat), saling hormat (penghargaan terhadap martabat), dan kesetaraan penuh. 

Relasi ini harus dengan sengaja dan sadar menolak segala bentuk dominasi, kekerasan, atau penindasan yang merusak. 

Masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan yang kita cita-citakan adalah sebuah era di mana martabat dan kontribusi perempuan diakui sepenuhnya, dihargai secara layak, dan di mana mereka diberikan akses dan kesempatan yang adil serta tanpa batas untuk mencapai puncak potensi penuh mereka dalam setiap aspek kehidupan seperti aspek sosial, profesional, dan personal.
TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam Literasi. Perkenalkan saya Frederikus Suni. Saya pernah bekerja sebagai Public Relation/PR sekaligus Copywriter di Universitas Dian Nusantara (Undira), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya juga pernah terlibat dalam proyek pendistribusian berita dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ke provinsi Nusa Tenggara Timur bersama salah satu Dosen dari Universitas Bina Nusantara/Binus dan Universitas Atma Jaya. Tulisan saya juga sering dipublikasikan ulang di Kompas.com. Saat ini berprofesi sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), selain sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah Luar Biasa Jakarta Barat. Untuk kerja sama bisa menghubungi saya melalui Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy || ������ ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Asmara di Bawah Bayang-Bayang Patriarki: Sebuah Refleksi Gender dan Teologis"