Baomong Korupsi, Katong NTT Peringkat Ketiga Indonesia Berdasarkan Data ICW 2024

Penulis : Frederikus Suni 

Baomong Korupsi, Katong NTT Peringkat Ketiga Indonesia Berdasarkan Data ICW 2024. Gambar MetaAI/TAFENPAH.COM


TAFENPAH.COM - Korupsi merupakan akar permasalahan yang biasanya Katong (kita) dengar, baca hingga saksikan melalui berbagai pemberitaan di surat kabar, televisi serta media siber (online). Berdasarkan data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2024, provinsi Nusa Tenggara Timur menempati urutan atau peringkat ketiga nasional dengan jumlah 63 tersangka kasus korupsi.

Data dari ICW tersebut, semacam alarm untuk Katong semua yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, agar selalu waspada, selain Katong pun ikut mengawas berbagai proyek mangkrak yang hingga saat ini belum terselesaikan, akibat aliran duit (cuan) dari pemerintah pusat yang tidak tersalurkan hingga ke akar rumput.

Kendati pun aliran dana pembangunan dari pemerintah pusat setiap tahun terus digelontorkan dalam jumlah yang sangat fantastis, kadang kala pun dana tersebut, salah atau tidak difungsikan sebagimana orientasinya.

Di sini kita melihat dengan jernih, bahwasannya siapa pun yang berhadapan dengan tumpukan duit, pastinya tergiur, ngiler bahkan tamak.





Ketamakan itulah yang melahirkan sisi kebinatangan dalam diri pengelola keuangan daerah.

Akibat dari perbuatan tidak terpuji demikian, lahirlah ketimpangan sosial, melambannya pertumbuhan ekonomi, sumber daya manusia tidak terurus dengan maksimal, angka stunting terus meningkat, rantai kemiskinan tidak terputus, dan berbagai dampak psikologis lainnya.

Ketika Katong sampai di fase tersebut, pantaskan Katong baomong terkait topik korupsi? Mengapa generasi muda NTT tidak suka untuk berdiskusi topik korupsi? Bagaimana peran pemerintah provinsi, kota, kabupaten, tokoh adat, tokoh agama serta kearifan lokal mempengaruhi praktik korupsi? Solusi seperti apakah yang layak dan cocok untuk mengekang angka korupsi di NTT yang mayoritas adalah penganut Kristen Katolik dan Protestan?

Perihal pantas atau tidaknya Katong ikut berbicara persoalan korupsi, menurut hemat saya dan juga TAFENPAH, isu korupsi memang akan tetapi menjadi salah satu hal yang perlu kita bicarakan.




Karena ini menyangkut kesejahteraan Katong yang berada di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur.

Katong juga punya hak untuk bersuara. Entah suara Katong nantinya sampai ke telinga para pemimpin kepala daerah atau tidaknya, itu tidak menjadi persoalan.

Tugas kita adalah terus bersuara. Meskipun ada kalanya suara Katong dibungkam oleh pemimpin beserta koloninya.

Pembungkusan opini publik dari kepala daerah, dalam hal ini suara Katong bisa terjadi dalam berbagai layanan administrasi, dipersulit untuk mengikuti tes apa pun hingga ancaman verbal maupun nonverbal terhadap diri Katong, kakak, adik, orang tua serta sanak family.

Kendati begitu, sebagai warga Indonesia yang memiliki kebebasan berpendapat, suara kita dilindungi oleh Undang-undang.

Untuk itu, jangan takut menyuarakan isu korupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi kehidupan Katong di NTT yang selalu terjebak dalam situasi ketidakadilan, diskriminasi, keterbelakangan, dll.

Mengapa generasi muda NTT tidak suka membahasa isu korupsi?

Data korupsi provinsi di Indonesia, NTT peringkat ketiga nasional. Gambar Instagram @goodstats



Berdasarkan salah satu tulisan dari Yufengki Bria di Detikcom yang berjudul 'ICW: Korupsi Belum Jadi Topik Utama di Kalangan Muda NTT' pada akhir 2024 menampilkan data yang cukup menggelitik sekaligus menyayat hati.

Bagaimana tidak, dalam survei online yang melibatkan 400 responden muda NTT, setidaknya 80 persen menganggap korupsi hanya sebatas kerugian negara.

Artinya; topik korupsi di ruang atau kehidupan harian generasi muda NTT tidak begitu penting untuk dibicarakan. 

Pemicu dari ketidakseriusan generasi muda NTT untuk membahas korupsi menurut TAFENPAH adalah budaya stigmatisasi di lingkungan keluarga, sekolah, ramah keagamaan hingga ruang publik yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu dan tidak layak untuk dikonsumsi masyarakat.

Pendapat TAFENPAH ini juga semakin kuat dengan pernyataan dari Sigit Wijaya (Koordinator Divisi Penggalangan Dukungan Publik ICW yakni 'persoalan korupsi ini belum menjadi topik utama di kalangan masyarakat NTT, khususnya kaum muda," Kamis (12/12/2024).


Akibat dari problematika tersebut adalah timbulnya sikap acuh tak acuh, tidak peduli serta matinya rasionalisasi (akal sehat) generasi muda NTT di era kebebasan berekspresi di ruang publik.

Bagaimana peran pemerintah provinsi, kota, kabupaten, tokoh adat, tokoh agama serta kearifan lokal mempengaruhi praktik korupsi?

Kontribusi terbesar dari setiap pemimpin pemerintahan di provinsi Nusa Tenggara Timur (Gubernur, Wali Kota, Bupati, Camat, Desa hingga RT) adalah bagaimana mereka memberikan edukasi terhadap generasi muda, agar berkontribusi dalam mengawas setiap kebijakan, terutama yang berkaitan dengan dana pembangunan.

Karena literasi keuangan yang baik pada akhirnya melahirkan sumber daya manusia yang profesional, berintegritas serta cakap dalam etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk kolaborasi lintas generasi, stakeholder pemerintah dan swasta sangat dibutuhkan, guna mengantisipasi terjadinya penyelewengan dana pemerintah.

Peran Tokoh Agama

Mayoritas masyarakat provinsi Nusa Tenggara Timur menganut agama Katolik dan Protestan, selain Islam, Hindu, Budha, Konghucu.

Citra masyarakat NTT terkenal dengan toleransinya.

Toleransi tidak terbatas pada konteks kehidupan antar umat beragama semata. Lebih jauhnya, toleransi mencakup keadilan serta kesehatan masyarakat.

Terkait kasus korupsi yang masih tinggi di kalangan pemimpin wilayah NTT, di sini tokoh agama sangat memainkan peran penting dalam mengedukasi umatnya , dalam hal ini para pemimpin politik, agar mereka mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang pribadi serta golongannya.

Ceramah atau kotbah di mimbar Altar Suci jangan hanya fokus pada hal - hal yang selama ini umat sudah jalani.

Melainkan, isi kotbah itu terkadang harus tegas, keras namun tetap bercita rasa humanistik.

Karena suara Tokoh Agama lebih mengena atau didengar pemimpin politik, ketimbang suara masyarakat marginal.

Peran Edukasi Tokoh Adat dan Bagaimana Kearifan Lokal Budaya NTT Mempengaruhi Etika dan Moral Pemimpin Publik 

Perlu TAFENPAH garisbawahi, setiap zaman, setiap pemimpin pada masanya selalu menghadirkan sisi baik dan buruk.

Sisi baik dari pemimpin adalah mengontrol, memerintah serta memastikan setiap program kerjanya terlaksana dengan baik.

Sementara, sisi negatifnya adalah mereka pun meninggalkan kasus - kasus yang pada akhirnya menghambat serta mempengaruhi kemajuan wilayah NTT, terutama kasus korupsi.

Katong sangat menyayangkan berbagai kasus korupsi yang melibatkan berbagai pemimpin di NTT.

Karena kasus korupsi dengan sendirinya membunuh masa depan sumber daya manusia, termasuk lumpuhnya ekonomi masyarakat.

Akibatnya, masyarakat NTT sulit mendapatkan pekerjaan, terjadinya ketimpangan sosial, dan mendorong generasi muda NTT untuk merantau.

Merantau sejatinya bukan menjadi sesuatu yang tabu di kalangan masyarakat NTT. Tapi, karena sistem yang sengaja diciptakan oleh pemimpin wilayah itu sendiri.

Untuk itu, tokoh adat dalam hal ini memiliki kapasitas untuk memberikan edukasi atau semacam pencerahan kepada anggotanya yang bersumber dari kearifan lokal budaya NTT sendiri.

Peran Kearifan Lokal Budaya NTT terhadap Korupsi

Pertama-tama, setiap kebudayaan selalu mengajarkan nilai-nilai etika dan moral yang cukup terhadap anggotanya.

Kendati pun demikian, kebiasaan masyarakat setempat, khususnya di NTT yang tercermin dalam pencaplokan (pengambilalihan) bidang tanah, ketidakadilan dalam membagi harta warisan, diskriminasi antar suku, senioritas antar pemimpin suku, kepala wilayah pemimpin serta kebiasaan yang terkesan biasa saja dalam praktik kehidupan masyarakat, secara tak sadar melahirkan budaya korupsi itu sendiri.

Apalagi masyarakat di NTT hingga saat ini masih terbawa dengan suasana feodalisme, pungutan pajak, dll dari warisan koloni Belanda dan Jepang, juga turut memupuk budaya korupsi di kalangan masyarakat.

Untuk mengantisipasi tumbuh dan suburnya praktik korupsi di kalangan masyarakat NTT, menurut hemat saya dan TAFENPAH adalah pemerintah provinsi, Kota, Kabupaten, tokoh agama, serta tokoh adat terus memperkuat identitas lokal masyarakat.

Bagus Muljadi (Pakar, Ilmuan, tokoh akademis, pemikir kritis sekaligus Asisten Profesor di University of Nottingham Inggris) berkali - kali menegaskan pentingnya dunia pendidikan, pemerintah, dan swasta (termasuk tokoh agama dan tokoh adat) memperkuat identitas lokal bangsa Indonesia melalui nilai kebudayaan setempat.

Karena menurut Bagus Muljadi, Indonesia merupakan laboratorium kekayaan budaya, pariwisata, sosial, ekonomi, politik serta berbagai aspek kehidupan lainnya, asalkan pemerintah benar - benar menjalankan fungsinya dengan baik.

TAFENPAH sebagai media alternatif provinsi Nusa Tenggara Timur yang peduli pada pengembangan sumber daya manusia yang berlandaskan pada kearifan lokal budaya, juga terus berkomitmen untuk memberikan sumbangan ide, gagasan, pemikiran dan cara pandang yang unik, guna mendukung sumber daya manusia NTT yang berkarakter, profesional, berintegritas, berdaya saing, beretika, bermoral, jujur, adil, dan mengutamakan kepentingan bersama ketimbang pribadi.

Melalui kajian literatur kebudayaan suku Dawan Timor (Atoin Meto), TAFENPAH menawarkan solusi yang mungkin saja cocok untuk diterapkan oleh setiap pemimpin wilayah, terutama dalam konteks mengurangi praktik korupsi yang masih tinggi di NTT, sebagai berikut;

1. Gubernur berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan yang berada di wilayah NTT untuk merancang sekaligus menerapkan model pendidikan yang berangkat dari kearifan lokal budaya setempat.

Karena pendidikan karakter yang bersumber dari kekayaan warisan leluhur NTT, sejatinya sudah mengajarkan setiap anggotanya untuk menjalani hidup sesuai dengan semangat kejujuran, keterbukaan, kerja sama, persatuan, persaudaraan serta menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.

2. Edukasi terkait topik korupsi menjadi isu penting dalam setiap jenjang pendidikan formal maupun informal

3. Memberikan sanksi tegas kepada para koruptor 

4. Pemerintah NTT memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengawasan serta pengelolaan anggaran pembangunan 

5. Adanya transparansi anggaran 

6. Kampanye Anti Korupsi menggema di setiap lembaga pemerintah maupun swasta 


Demikian kajian TAFENPAH terkait dengan tingginya angka korupsi di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sumber; Instagram @goodstats
Detikcom


TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam Literasi. Perkenalkan saya Frederikus Suni. Saya pernah bekerja sebagai Public Relation/PR sekaligus Copywriter di Universitas Dian Nusantara (Undira), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya juga pernah terlibat dalam proyek pendistribusian berita dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ke provinsi Nusa Tenggara Timur bersama salah satu Dosen dari Universitas Bina Nusantara/Binus dan Universitas Atma Jaya. Tulisan saya juga sering dipublikasikan ulang di Kompas.com. Saat ini berprofesi sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), selain sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah Luar Biasa Jakarta Barat. Untuk kerja sama bisa menghubungi saya melalui Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy || ������ ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Baomong Korupsi, Katong NTT Peringkat Ketiga Indonesia Berdasarkan Data ICW 2024"