Merdeka Belajar Tanpa Akses Merdeka, Potret Mahasiswa UT Ambon Di Era Digitalisasi

Oleh: Angelino Ch Lakusa

Merdeka Belajar Tanpa Akses Merdeka, Potret Mahasiswa UT Ambon Di Era Digitalisasi. Tafenpah.com

TAFENPAH.COM - Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Di era digitalisasi ini, semangat pemerataan akses pendidikan semakin digunakan melalui berbagai platform pembelajaran secara daring,termasuk di antaranya yaitu universitas terbuka ( UT ). 

Institusi pendidikan tinggi yang mengusung akan konsep “ Belajar di mana saja dan kapan saja “. Namun,secara realisasi di lapangan jauh dari sebuah harapan.

Di Daerah Kepulaun Terkhusunya kota Ambon,Provinsi Maluku.  yang kaya akan budaya, Dan sumber daya alam. Namun rentan secara infrastruktur,Yang  dimana mahasiswa UT Menghadapi Kontradiksi yang sangat besar, ketika mereka dituntut untuk  belajar secara merdeka,namun tidak memiliki akses yang merdeka.





Sejak awal,UT hadir dengan janji demokratisasi pendidikan tinggi.Mahasiswa dari polosok Indonesia bisa mengakses Kuliah tanpa harus datang ke ruang kelas konvensional.Dengan sistem Registrasi onlian,tutorial onlian,tutorial daring,dan ujian berbasis computer.

UT memanfaatkan teknologi sebagai sebuah jembatan bagi mahasiswa yang tidak bisa kuliah tatap muka secara langsung sama seperti kampus-kampus lain pada umunya. 

Yang dimana mahasiswa wajib untuk mengikuti belajar secara tatap muka. Namun, UT memberikan pengalaman baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dalam mengakses semua mahasiswa UT dipelosok Negeri .

Dalam rangka kebijakan nasional ini sejalan dengan visi merdeka belajar.  

Pembelajaran yang harus adaptif,fleksibel,dan dapat menjangkau pada semua. 

Seperti; Halnya jembatan yang dibangun tanpa memperhitungkan kondisi tanah di kedua sisinya, digitalisasi tanpa memperhatikan ketimpangan infrastruktur hanya akan memperlebar jurang yang ada.

Di Ambon,yang di mana jaringan internet belum merata,listrik yang masih sering padam di beberapa wilayah di pelosok,dan perangkat digital tidak terjangkau oleh mereka. mahasiswa UT harus berjuang lebih keras hanya untuk bisa terhubung untuk belajar.

Setiap semester,Mahasiswa UT diwajibkan melakukan registarasi secara onlian melalui sistem My.Ut. dalam dokumen resmi,proses ini disebut mudah,efesien,dan falksibel. Namun,kenyataannya tidak sesederhana itu di Kota Ambon.masih banyak Mahasiswa yang kesulitan mengakses situs UT karena kecepatan internet yang lambat atau server yang sering error.

Bagi Mahasiswa yang tinggal di wilayah pesisir,pulau-pulau kecil sekitar Ambon,atau daerah pegununungan.proses registarasi bukan hanya tentang mengisi data. banyak mahasiswa yang harus menempuh perjalanan jauh ke kota hanya untuk mencari sinyal atau wifi public.Tidak jarang,mahasiswa kehilangan kesempatan registarasi karena hambatan teknis yang tidak mereka cipatkan sendiri.

Selain itu,Mahasiswa UT dituntut belajar secara mandiri,dengan bahan ajar berupa modul digital atau cetak,serta tutorial online melalui platform elerning,Zoom atau Microsoft Teams.

Bagi Mahasiswa di kota besar,ini mungkin menyenangkan.Namun Di Ambon dan sekitarnya,sinyal internent sering kali tidak stabil,terutama ketika cuaca buruk atau ketika gangguan jaringan melanda pada wilayah timur.

Tutorial yang seharusnya menjadi ruang interaksi dan ruang pemahaman malah berubah menjadi ruang frustasi bagi mahasiswa UT. Jaringan yang kadang bermasalah yang ,Website elerning yang mengalami gangguan ,atau bahkan tidak bisa masuk sama sekali  karena masalah teknis.Dan Ini sudah menjadi pengalaman yang umum bagi mahasiswa UT Ambon. Belajar mandiri Pun akhirnya bermakna”belajar Sendiri” dalam arti yang paling literal dan sunyi.

Salah satu bentuk digitalisasi yang paling signifikan di UT adalah pelaksanaan ujian online serta ujian yang dilakukan lewat Rumah masing-masing dengan Tujuannya adalah efisiensi dan transparansi. Namun di Ambon, ini berubah menjadi bentuk ketidakadilan struktural yang terselubung.

Mahasiswa harus mencari tempat dengan koneksi stabil, laptop yang layak, dan situasi tenang. Bagi mereka yang tinggal di rumah dengan kondisi banyak anggota keluarga, atau di kawasan yang rawan akan listrik yang sering padam, dan mengikuti ujian menjadi perjuangan tersendiri bagi mereka. 

Tidak jarang mahasiswa UT gagal dalam mengikuti ujian hanya karena faktor teknis yang di luar kendali mereka, seperti koneksi jaringan yang terputus saat ujian berlangsung. Lebih menyakitkan lagi, sistem UT sering kali tidak memberikan ruang untuk toleransi terhadap kendala semacam itu.

Masalah yang dihadapi mahasiswa UT Ambon bukan hanya soal teknis saja. Namun Ia mencerminkan ketimpangan struktural yang lebih dalam. Ketika sistem pendidikan dibangun dengan asumsi bahwa semua daerah punya akses dan fasilitas yang sama, maka yang diuntungkan hanyalah mereka yang sudah "siap digital."

Sementara mahasiswa di daerah timur Indonesia , Khususnya Kota Ambon, harus berkompetisi dengan beban ganda yang di mana menyelesaikan studi sambil mengatasi hambatan infrastruktur pada daerah.

Akses internet yang tidak stabil, minimnya fasilitas yang mendukung, dan terbatasnya interaksi sosial menyebabkan mahasiswa UT di Ambon sering kali merasa terpinggirkan, bukan hanya dari sistem-nya saja tetapi juga dari narasi besar akan pembangunan pendidikan nasional.

Era digitalisasi pendidikan semestinya tidak melupakan satu hal penting yaitu konteks lokal. Mahasiswa UT Ambon adalah potret nyata bahwa sistem nasional harus merata terhadap realitas geografis wilayah, sosial, dan ekonomi yang beragam pada wilayah Kota Ambon. UT dan pemerintah seharusnya perlu melakukan koreksi sistem, misalnya dengan:

Menyediakan pusat belajar digital di tiap kabupaten/kecamatan.
Memberi fleksibilitas dan toleransi terhadap kendala teknis di daerah.
Menyesuaikan kebijakan dengan mendengar secara langsung suara mahasiswa dari wilayah yang terpecil yang ada di provinsi Maluku Indonesia.

Tanpa langkah-langkah semacam itu, jargon “merdeka belajar” hanya akan menjadi slogan kosong yang tidak menyentuh akar persoalan.

Mahasiswa UT Ambon yang hidup dalam dua dunia, dunia digital yang dimana menjanjikan akan kebebasan dalam belajar, dan dunia nyata yang membatasi ruang mahasiswa dengan koneksi buruk, listrik yang sering padam, serta jarak geografis wilayah  yang tak diperhitungkan. 

Dalam ketimpangan itu, mereka tetap dituntut untuk belajar  bukan karena sistem yang mendukung, tetapi karena tekad mereka sendiri untuk tetap bertahan dalam sistem belajar ini.

Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan untuk membebani. Maka, pertanyaan penting bagi Univeristas terbuka serta para pengambil kebijakan ini.

Apakah memang benar mereka sudah memberi akses yang merdeka kepada semua mahasiswa, atau justru  membiarkan mereka tetap belajar Tanpa akses yang merdeka, Terkhususnya kota ambon yang belum siap secara digital,sama seperti pada kota-kota maju lain-nya yang ada di Indonesia yang sudah maju akan digital?



TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia ||Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. ||Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia.Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat.Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider.Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.comSaya juga menerima jasa pembuatan Website ||Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy ||Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ ||WhatsApp: 082140319973 ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Merdeka Belajar Tanpa Akses Merdeka, Potret Mahasiswa UT Ambon Di Era Digitalisasi "