Sepenggal Kisah Seorang Blogger Desa di Tengah Konflik Kemanusiaan Timor Leste dan Bagaimana Situasi Kehidupannya di Kota Metropolitan Jakarta

Penulis : Frederikus Suni 

Salah satu bangunan tradisional warga Timor Barat Indonesia dan Timor Leste. Sumber foto: Alamy

TAFENPAH.COM - Pada tahun 1999 ketika terjadi pergolakan di Timor Timur, tepatnya di salah satu desa yang letaknya di sebelah Timur, Timor Barat (perbatasan) Indonesia dan distrik Oecusse (bagian eksklave Timor Leste), hawa panas, bara api, rasa kecemasan di antara sesama warga desa semakin mencekam kehidupan sosial. 

Karena sejauh tatapan mata, segalanya memang tampak indah. Namun, Keindahan alam perbukitan, deretan sabana (savana) yang terbentang dari sisi Utara, Selatan, Timur, dan Barat sedang menangis, atas tindakan sesama suku Atoni Pah Meto (etnis Dawan Timor NTT), yang berjuang untuk bertahan hidup dari ancaman pihak militer (perbedaan politik).

Di mana, sebagian warga di desa tersebut, tergabung dalam organisasi pembela NKRI di bawah dukungan militer.

Sementara, sebagai warga memilih untuk berdiam diri, guna mengantisipasi tindakan yang tidak diinginkan oleh penguasa. Meski hati kecil mereka ingin membantu pengungsi dari Timor Timur yang mencari suaka (oase/tempat perlindungan) di perbatasan Indonesia. Akibat perang saudara yang berkecamuk/meledak di tanah leluhurnya Atoni Pah Meto (Distrik Oecusse dan sekitarnya).

Dalam kekacauan tersebut, pada tahun 2000 hingga 2001 hadirlah seorang Blogger (Kreator Digital) yang sejatinya memilih untuk membela warga Timor Timur (Kini menjadi negara Demokratik Timor Leste).

Akan tetapi, suaranya seakan ikut tenggelam di balik ketakutan akan keselamatan dirinya (termasuk anggota keluarganya) yang memang pada saat itu sedang bertaruh nyawa.

Kendati demikian, secara sembunyi - sembunyi ia (Si Blogger) tersebut, menuliskan setiap peristiwa kemanusiaan yang ia lihat, alami dan saksikan ke dalam catatan hariannya.

Catatan harian dari Blogger tersebut, pada akhirnya diketahui oleh salah satu tokoh intelektual sekaligus tetua adat di kampung atau desa perbatasan Indonesia dan Timor Leste.

Sebagai solusi yang terbaik, guna mengantisipasi kehilangan nyawa dari pihak penguasa, tokoh intelektual dan tetua adat tersebut, memanggil Blogger itu dan berbicara empat mata (face to face).

Karena tokoh intelektual di kampung perbatasan Indonesia dan Timor Leste tidak mau anggotanya terluka.

Maka, diputuskanlah bahwasannya mau tidak mau, suka dan tidaknya, si Blogger harus mengungsi ke salah satu kota metropolitan, tepatnya di Jakarta (pusat administrasi, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan gaya hidup) warga Indonesia.

Selama di jantung ibukota negara tersebut, si Blogger itu merasakan kejamnya kehidupan.

Bagaimana tidak, di lingkungan kehidupan warga perkotaan yang segala sesuatu mengagungkan ego, superioritas dan diskriminasinya, si Blogger pun mengalami fase kritis identitas.

Di mana, ia kehilangan kepercayaan untuk memperjuangkan aspirasi pengungsi yang masih terlilit politik persaudaraan di kampung halamannya.

Dalam kondisi tersebut, ia berniat untuk kembali ke pulau Timor Barat, provinsi Nusa Tenggara Timur.

Karena mungkin di sana, ia akan lebih dekat dengan para pengungsi dari Timor Timur (Timor Leste).

"Driiiing.....driiiiing," itulah bunyi mesin telepon umum yang ada di salah satu sudut kota Kefamenanu, kabupaten Timor Tengah Utara.

"Hello, apa sa bisa ngomong den tua adat?" Tanya si Blogger dari ujung sebelah pulau Jawa.

"Ya, ni den sa sendiri ko," balas tua adat.

"Kapan sa bisa kembali ko?" Tanya si Blogger kepada tetua adat.

"Dasar! Bodoh kau!" Emang lu mau cari mati ko?" Sahut tua adat dengan nada keras.

"Son apa-apa" balasnya.

"Son bisa!" Tegas tua adat kepada si Blogger.

Demikian percakapan singkat antara si Blogger dan tetua adat yang tidak menghasilkan kesepakatan.

Dalam kebingungan tersebut, si Blogger sejak saat itu berniat untuk mendirikan sebuah situs atau portal (media berskala kecil) yang bertujuan untuk mempublikasikan hasil pengamatannya selama hidup berdampingan dengan pengungsi dari Timor Timur yang masih berjuang untuk menyelamatkan diri di kampung halamannya.

Ide brilian itu tidak berjalan dengan ekspektasi. Karena syarat untuk mendirikan blog harus membutuhkan pemahaman coding dan urusan teknis lainnya.

Apalagi saat itu, sumber daya manusia di bidang programing (IT) masih sangat minim. 

Makan saja susahnya minta ampun. Apalagi impian untuk memilih blog (tempat untuk berkarya) tanpa batas di mesin Google.

Memang secara pengalaman, si Blogger ini sudah lumayan tahu dan paham akan coding.

Kemampuan tulisannya juga bagus. Kendalanya adalah selain faktor dukungan dari tua adat, termasuk rekan seperjuangannya.

Ada juga keterbatasan akses berita. Mengingat kala itu, dunia pers masih diawasi ketat oleh penguasa.

Jadi, suaranya semakin tenggelam dengan kerasnya sistem politik tanah air.

Seiring dengan perjalanan waktu, impian Blogger untuk terlibat dalam aksi penyelamatan manusia, khususnya para pengungsi yang berada di kampung halamannya sirna, hilang, lenyap dan tak tersisa.

Ibarat reruntuhan bangunan tua yang mengisahkan penyesalan.

Meskipun demikian, si Blogger memanfaatkan media cetak untuk mengirimkan artikel dan juga berbagai karya tulisan yang berisikan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan.

Sayangnya, ketatnya filterisasi publikasi pada zaman itu, ikut menguburkan harapan si Blogger.

Mencoba dan terus mencoba adalah sesuatu hal yang mungkin sudah biasa dan menjadi semangat tersendiri bagi si Blogger.

Tepat pada musim semi antara bulan Desember hingga Maret tahun 2003, setahun sesudah referendum Timor Timur (Timor Leste), dunia pers sedikit leluasa dalam hal pendistribusian informasi dan komunikasi di media online. Karena sudah ada reformasi di bidang pemerintahan setelah runtuhnya Orde Baru 1996 - 1998).

Kendati pamor pemberitaan di media cetak (surat kabar, majalah, koran) mendominasi pasar.

Momentum tersebut juga dimanfaatkan oleh si Blogger untuk mempublikasikan hasil tulisannya yang sudah lama tersimpan di catatan hariannya.

Awalnya, tulisan dari si Blogger tersebut tidak mendapatkan feedback (umpan balik/tanggapan) dari pembacanya.

Maklum saja, karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum familiar dengan informasi di internet.

Rasa frustasi pun mulai mengejar keseharian si Blogger. Akhirnya, ia pun menutup blog pertamanya yang berjudul "VoxTimor."

Vox artinya suara. Jadi, secara harfiahnya Vox Timor adalah suara dari Timor Indonesia.

Kegagalan itu tidak menghentikan semangat si Blogger desa untuk terus berkarya. Meskipun karyanya hanya dinikmatin oleh dirinya sendiri.

Nihilisme Friedrich Nietzsche memang tepatlah untuk disematkan ke dalam diri si Blogger.

Karena dari sekian banyak usahanya dalam memperjuangkan aspirasi pengungsi Timor Leste tidak berhasil didengar oleh pembacanya.

Dalam situasi tidak menguntungkan tersebut, akhirnya si Blogger memutuskan untuk terjun ke dunia malam kota metropolitan Jakarta yang sangat menguras isi dompet.

Gaya hidup bak elit, tetapi utangnya menumpuk. Gali lobang dan tutup lobang adalah bagian dari perjalanan si Blogger desa yang kecantol dengan kehidupan kota metropolitan Jakarta.

Lantas, bagaimana dengan aspirasinya yang masih menggantung? Komunikasi seperti apakah yang terjalin antara si Blogger dan tetua adat di kampung halamannya?

Nantikan kisah heroik si Blogger Desa di episode kedua 


Disclaimer : Cerpen ini sebagian berisi kisah nyata dan sebagain adalah cerita fiktif. Apabila ada kesamaan cerita dan lainnya, sejatinya tidak bermaksud untuk mendikte apalagi menggurui pembaca. Cerita ini juga tidak bermaksud untuk menyerang atau mengkritik pemerintah dan lembaga mana pun. 






TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia ||Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. ||Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia.Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat.Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider.Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.comSaya juga menerima jasa pembuatan Website ||Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy ||Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ ||WhatsApp: 082140319973 ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Sepenggal Kisah Seorang Blogger Desa di Tengah Konflik Kemanusiaan Timor Leste dan Bagaimana Situasi Kehidupannya di Kota Metropolitan Jakarta "