Melukis Kota Malang dalam Kacamata Diaspora NTT, Meminimalisir Stigma Buruk Warga Setempat terhadap Keberadaan Pelajar Flobamora dengan 3 Pendekatan Filsafat Pendidikan
Frederikus Suni
![]() |
Melukis Kota Malang dalam Kacamata Diaspora NTT, Meminimalisir Stiga Buruk warga setempat terhadap keberadaan pelajar Flobamora dengan 3 Pendekatan Filsafat Pendidikan. TAFENPAH.COM |
TAFENPAH.COM - Kota Malang, Jawa Timur merupakan salah satu destinasi terpenting dari perjalanan diaspora NTT.
Terminologi 'diaspora NTT,' tidak cukup kita tinjau dari satu sudut pandang. Karena di dalamnya terkandung banyak makna.
Kendati demikian, dalam pembahasan ini, saya hanya fokus pada perantau dari provinsi terselatan Indonesia, NTT. Secara khususnya kepada mereka yang setelah menamatkan pendidikan menengah atas (SMA) dan memiliki untuk melanjutkan pendidikan tingginya di berbagai universitas hingga sekolah tinggi di kabupaten Malang, provinsi Jawa Timur.
Baca Wisata Malang Selatan;
Tak disangkal lagi bahwasannya, kota Malang merupakan destinasi perjalanan pendidikan pelajar NTT.
Terlepas dari problematika hingga penyematan stigma buruk masyarakat setempat yang secara tersurat maupun tersirat (gaya komunikasi verbal maupun nonverbal) terhadap keberadaan pelajar NTT yang sudah lama dikenal dengan karakter khasnya yakni; temperamental, kasar, suka mabuk, pencipta kegaduhan tatanan sosial, suka diatur, bertindak semena-mena hingga hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran etika dan norma warga setempat.
Akibat dari perilaku demikian, para pelajar yang saat ini ingin melanjutkan pendidikan tingginya di kota Malang (laboratorium atau pusat toleransinya provinsi Jawa Timur) tersebut, secara terang-terangan warga setempat banyak yang menutup diri terhadap keberadaan pelajar NTT.
Terutama persoalan penolakan pemilik kos/kontrakan yang sebagian tidak memberikan bahkan tidak merelakan tempat usahanya untuk ditempati para pelajar diaspora NTT. Kendati, para pelajar dari NTT rutin membayar uang kosnya.
Persoalan besar ini juga tidak bersifat tetap, melainkan dinamis. Artinya, hipotesa saya tidak mengindikasikan bahwasannya, mayoritas warga setempat 100 persen menolak atau menutup pintu rumahnya terhadap keberadaan pelajar NTT. Melainkan, sebagian warga tetap memberikan izin tempat tinggal untuk pelajar NTT dengan perjanjian tertentu.
Silogisme demikian setali/searah/sejalan/semakna dengan filsafat pendidikan yang menekankan bahwa pada dasarnya manusia terbentuk dalam tiga bingkai besar yakni;
1. Manusia sebagai makhluk individu
2. Manusia sebagai makhluk sosial
3. Manusia sebagai makhluk susila
![]() |
Salah satu spot Instagramable Balai Kota Malang, Jawa Timur. Foto by Vino |
Manusia Sebagai Makhluk Individu
Dalam konteks pelajar NTT di kota Malang, sejatinya ketika mereka memutuskan untuk keluar (pergi) meninggalkan segala kenyamanannya di tengah, di dalam lubuk hati mereka sudah terbentuk kesadaran akan pribadinya.
Artinya; mereka pergi ke kota Malang hingga belahan dunia mana pun, ciri khas kepribadian mereka sudah terbentuk dari keluarganya.
Dalam perkembangannya, entah individu atau pribadi hingga oknum tertentu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, sejatinya saat itu pun ada perasaan bersalah.
Perasaan bersalah tersebut, mungkin saja sebagain individu menyadarinya dan memilih untuk kembali ke arah yang benar.
Sebagian secara sadar, namun karena pengaruh lingkungan pertemanan yang kurang mendukung, mereka pun melakukan sesuatu atas dasar keinginan kelompok.
Manusia Sebagai Makhluk Sosial
![]() |
Penulis bersama konco-konco di salah satu pusat Malang, tepatnya di kawasan urban Ijen Malang. TAFENPAH.COM |
Sampai kapan pun, saya selalu percaya akan keterhubungan. Artinya, setiap orang tidak mungkin menjalani kehidupannya secara sendiri. Melainkan, kita menjalani kehidupan selalu berdampingan dengan orang lain.
Dalam kebersamaan, apa yang kita cita-citakan akan tercapai.
Contohnya; Apabila para pelajar NTT menginginkan lingkungan yang nyaman, terutama ketika mereka mengenyam pendidikan lanjutan di kota Malang, pertama-tama mereka harus mempelajari kearifan lokal budaya setempat. Di samping, mereka terus mengembangkan sistem atau kepercayaan adat istiadatnya.
Karena di dalam adat istiadat setempat maupun kearifan lokal budaya sendiri terkandung kekayaan pemahaman akan pentingnya menghargai dan menghormati orang lain.
Hal demikian semakna dengan pendapat atau ajaran dari filsuf kebudayaan Ernst Cassirer yakni; langkah pertama untuk mendekatkan diri hingga memahami orang lain dalam melalui simbol-simbol kebudayaan.
Artinya; manusia adalah makhluk yang membudaya. Makhluk yang hidup dan dalam unsur-unsur kebudayaan itu sendiri.
Sesuai dengan pengalaman saya selama tinggal di kota Malang dan Batu hingga perjumpaan kebudayaan lintas suku, agama, ideologi, kepentingan, golongan, pendidikan, gaya hidup dan aspek kehidupan lainnya di sekitar Blitar, Tulungagung, Surabaya Jawa Timur, satu hal yang saya dapatkan adalah orang Jawa (penduduk setempat) sangat ramah terhadap para pendatang.
Asalkan kita hidup mengikuti aturan-aturan umum yang berlaku dalam keseharian mereka.
Untuk lebih detailnya, kita akan bersama melihat poin ketiga yakni;
Manusia Sebagai Makhluk Susila
Pada poin ketiga ini, inti pembahasannya adalah bagaimana kita sebagai pendatang dari daratan NTT menghargai dan mengikuti etika dan moral dalam keseharian warga kota Malang dan sekitarnya.
Karena gaya hidup (perilaku dan tindakan) kita selalu terhubung dengan hukum Kausalitas (sebab-akibat).
Artinya; apa yang kita lakukan dengan cara yang benar, pada akhirnya kebaikan akan kembali kepada kita.
Sebaliknya, tindakan kita yang selalu bertentangan dengan etika dan moral, pada akhirnya kita sendirilah yang menanggung konsekuensinya.
Teologikal ini bertujuan untuk menyadarkan kita bahwa dalam kehidupan apa pun selalu ada ruang dan waktu yang mempengaruhi pemikiran, cara pandang, kebiasaan, tutur kata, tingkah laku, dan aspek sosial lainnya.
Untuk itu, ketiga poin di atas yang terdiri dari; manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan susila merupakan fondasi bagi kita dalam menjalani kehidupan di mana pun.
Hal ini pun diperkuat dengan kelima Sila Pancasila.
Sebagai warga negara Indonesia yang taat hukum, keberadaan kita pun tidak akan pernah terlepas dari keberadaan orang lain, budaya, ras, agama, kepentingan hingga aliran pemikiran atau perspektif lainnya.
Untuk mengejawantahkan nilai-nilai kebhinekaan terlebih dahulu kita memperkuat identitas lokal kita.
Setelah fondasi kebudayaan kita kuat, kemudian kita beralih kepada komunitas lintas kebudayaan hingga sampai pada penghayatan nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya yakin dengan fondasi atau filosofi di atas, kita sebagai perantau atau diaspora NTT yang mencari suaka (tempat tinggal, pekerjaan, melanjutkan pendidikan hingga meraih mimpi-mimpi kita, dll) selama di kota Malang akan sangat menyenangkan.
Sebagai informasi tambahan, hipotesa di atas bukanlah sebatas pledoi atau pembelaan saya.
Di mana ketika saat ini dan ke depan siapa pun yang menanyakan bagaimana perasaan saya selama hampir 6 tahun tinggal di kota Malang dan sekitarnya, tentu saja saya akan menjawab;
"Jika Tuhan atau Semesta mengizinkan, saya ingin kembali dan menetap di kota Malang. Karena di sanalah pertama kali saya belajar untuk mengenali diri sendiri, mengenal keberadaan orang lain secara majemuk, dalam artian saya mengenal kepribadian lintas kebudayaan, lintas agama, ras, ideologi, filosofi pendidikan, cara pandang, gaya hidup dan berbagai aspek sosial lainnya."
Demikian lukisan kota Malang dalam versiku. Lantas, bagaimana dengan perjalanan kamu selama di kota pendidikan sekaligus kota toleransinya Jawa Timur?
Silakan sampaikan cerita kamu, kritik, dan saran yang membangun, guna memajukan wawasan kebudayaan kita di situs TAFENPAH.COM
Disclaimer; Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendikte, apalagi menggurui pembaca! Melainkan tulisan ini hanya sebatas informasi akan pentingnya sikap menghargai orang lain, apalagi sebagai perantau.
Di mana pun kita berpijak, di situlah kita secara emosional meletakkan sikap dan perilaku sesuai dengan kehidupan warga setempat.
Jika Anda pegiat konten digital, mahasiswa, dosen, praktisi pendidikan, antropologi, pekerja media dan siapa pun yang ingin mempublikasikan ulang tulisan ini ataupun mengambil sebagian materi dari esay ini, diharapkan untuk mencantumkan nama TAFENPAH sebagai sumber rujukannya.
Salam kebudayaan
Ayo Bangun NTT
Ayo Dukung TAFENPAH dalam pendistribusian konten-konten kearifan lokal budaya Nusantara khususnya suku Dawan Timor NTT.
Posting Komentar untuk "Melukis Kota Malang dalam Kacamata Diaspora NTT, Meminimalisir Stigma Buruk Warga Setempat terhadap Keberadaan Pelajar Flobamora dengan 3 Pendekatan Filsafat Pendidikan "
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat