Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lemahnya Relasi Konvensional Manusia di Era Digital

Penulis: Yoris Pantrang

Foto: Ist


(sebuah upaya merevitalisasi peran manusia sebagai makhluk sosial)

Tafenpah.com - Manusia pada hakekatnya adalah makhluk  yang berelasi. Sebab ia adalah makhluk sosial. Makhluk yang mana membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Namun sangat disayangkan bahwa keberadaan manusia sebagai makhluk sosial di era modern ini tidak begitu berpengaruh dan nampak dalam keseharian hidupnya. 

Sepertinya hakekat manusia sebagai makhluk sosial kehilangan eksistensi. Kehadiran sesama manusia ke panggung aktivitas harian dilihat sebagai pengganggu bahkan dilihat sebagai ancaman. Hal ini dapat terjadi karena manusia modern telah dipengaruhi oleh doktrin digital. Namun disini penulis tidak menyalahkan teknologi itu sendiri tetapi disini penulis ingin mengais kembali peran manusia sebagai makhluk sosial. Agar relasi manusia secara konvensional di era modern ini  tetaplah eksis.

Disini penulis mengajak para pembaca untuk bersama-sama melihat realitas hidup manusia saat ini, lalu kita akan bersama-sama mencari solusi agar pengeluhan-pengeluhan mengenai peran manusia di era digital ini tidak menjadi persoalan yang serius dalam hidup kita.

Fenomena manusia di era digital

Hidup di era digital sekarang ini penuh diwarnai  dengan pelbagai tantangan. Tantangan tersebut secara eksplisit maupun implisit telah mengubah cara hidup, cara berpikir bahkan pola relasi antar sesama manusia. Komunikasi dengan segala kemudahannya (handphone, internet, dll) kini telah mengubah dunia menjadi seukuran jari tangan saja. 

Hal ini tidak bisa dielakan dan ditolak oleh manusia yang hidup dalam bingkai era digital ini. Tetapi hendaknya kemajuan-kemajuan diberbagai bidang kehidupan manusia  ini  diterima dengan baik dan memfasilitasinya juga dengan baik. Agar dengan demikian, relasi antara manusia tetap adem dan langgeng. Kemajuan-kemajuan ini kerap dikenal dengan jaman post-modern dimana menuntut manusia untuk mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu, atau mutlak perlu untuk meregenerasi pola prilaku dan pola pikir manusia sesuai dengan tuntutan jaman sehingga manusia dapat tetap ‘eksis’ disetiap perubahan jaman ini. 

Namun pertanyaan besar yang muncul terhadap realitas dunia digital ini ialah, bagaimana eksistensi manusia ditengah serangan perubahan jaman yang sangat mencekam ini?

            Tidak dapat disangkal bahwa aktualisasi pola prilaku dan pola pikir manusia akibat perkembangan teknologi ini terepresentasi dengan begitu jelas dalam diri manusia di abad 21 ini. Manusia yang terbentang dari umur 5/7-50/60-an tahun keatas tengah terlelap dalam kenikmatan menu yang disajikan oleh modernisme. 

Euforia terhadap perkembangan teknologi ini menyebabkan terlupakannya identitas dari manusia itu sendiri. Sehingga pada titik puncaknya manusia menjadi pemalas dan senang mengimpikan hal-hal yang muluk serta  enak, sehingga dilupakannya realitas. Manusia yang pada hakekatnya sebagai mahkluk sosial kini relasinya dengan yang lain secara konvensional terbatas, sedangkan relasi dengan yang lain secara telepresent begitu luas dan bahkan tak terbatas. Sehingga efeknya, manusia menjadi nomophobia. Dan istilah yang mengatakan ‘yang dekat jadi jauh, dan yang jauh jadi dekat’ menjadi familiar di mata kita.

Sebenarnya perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai bidang kehidupan manusia ini, mengajak kita untuk merefleksi lebih dalam mengenai keberadaan kita di tengah perubahan dunia ini. Siapakah saya ? Demikian pertanyaan yang menuntun kita untuk sampai pada puncak pengenalan eksistensi diri kita ditengah gelombang perubahan jaman ini. 

Untuk mengantar kita kepada pengenalan akan diri kita , saya mengutip pendapat dari bapak Dr. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Aku klik maka aku ada, disana ia katakan teknologi komunikasi digital pada abad ini telah    mengubah    pola-pola    adaptasi    manusia    terhadap    lingkungannya. Homo digitalis adalah manusia yang hidup pada abad 21 ini, ada alasan mengapa manusia saat ini dikatakan sebagai homo digitalis atau manusia ‘jari’ karena ia memastikan keberadaannya lewat jari yang mengklik. Istilah homo digitalis ini bisa terdengar sarkastis (sesuatu yang bersifat mengejek) karena bisa berarti manusia jari bukan manusia bijak atau berintelek (sapiens). Homo digitalis bereksistensi lewat gawai (alat penunjang), artinya eksistensinya ditentukan oleh tindakan digital atau jari yang mengklik lewat uploading, chaating, posting,dll

Dari pernyataan ini, jelas terlihat kepada kita bahwa keberadaan manusia tidak lagi ditentukan oleh hubungannya dengan yang lain secara tatap muka melainkan ditentukan oleh jari yang mengklik di gawai itu.  karena lewat postingan kita berbagi atau pamer untuk kebutuhan akan pengakuan dari orang lain.

Perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia ini rupa-rupanya meninabobokan manusia sehingga manusia terlelap dalam euforia modernisme dan pada ujungnya manusia menjalankan kehidupannya seperti orang yang mengigau. Ia tidak mampu menghadapi realitas kehidupannya dengan menerima segala konsekuensinya. 

Sehingga akibatnya manusia senang mengimpikan hal-hal yang muluk dan mudah menyerah dan senang mencari jalan pintas untuk keluar dari problem yang dihadapinya. Ini karena manusia dimanjakan oleh teknologi yang sebenarnya dikontrol oleh manusia namun secara tak sadar fungsinya terbalik menjadi alat mengontrol manusia. Karena fungsinya mengontrol manusia maka manusia hidup bukan atas apa yang menjadi hakekat manusia itu sendiri tetapi manusia hidup atas apa yang diperintahkan oleh teknologi. 

Memang tidak dapat kita sangkal bahwa perkembangan teknologi ini juga dapat membantu dan menguntungkan kita, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa kontribusi teknologi ini bagi kehidupan manusia sangatlah besar.   

Maka dari itu, saya mengajak kita untuk menggunakan teknologi itu sebagai alat membantu kita dalam membangun relasi yang baik dengan orang lain serta secara bijak dalam mengolahnya agar kita tidak terjerumus dalam ‘keegoisan’ kita. Dan dengan demikian eksistensi manusia sebagai makhluk sosial di era digital ini tetap berperan dengan baik.

 


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Lemahnya Relasi Konvensional Manusia di Era Digital"