Lemahnya Relasi Konvensional Manusia di Era Digital
Disini penulis mengajak para pembaca untuk bersama-sama
melihat realitas hidup manusia saat ini, lalu kita akan bersama-sama mencari
solusi agar pengeluhan-pengeluhan mengenai peran manusia di era digital ini
tidak menjadi persoalan yang serius dalam hidup kita.
Fenomena
manusia di era digital
Hidup di era digital sekarang ini penuh diwarnai dengan pelbagai tantangan. Tantangan tersebut secara eksplisit maupun implisit telah mengubah cara hidup, cara berpikir bahkan pola relasi antar sesama manusia. Komunikasi dengan segala kemudahannya (handphone, internet, dll) kini telah mengubah dunia menjadi seukuran jari tangan saja.
Hal ini tidak bisa dielakan dan ditolak oleh manusia yang hidup dalam bingkai era digital ini. Tetapi hendaknya kemajuan-kemajuan diberbagai bidang kehidupan manusia ini diterima dengan baik dan memfasilitasinya juga dengan baik. Agar dengan demikian, relasi antara manusia tetap adem dan langgeng. Kemajuan-kemajuan ini kerap dikenal dengan jaman post-modern dimana menuntut manusia untuk mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu, atau mutlak perlu untuk meregenerasi pola prilaku dan pola pikir manusia sesuai dengan tuntutan jaman sehingga manusia dapat tetap ‘eksis’ disetiap perubahan jaman ini.
Namun pertanyaan besar yang muncul terhadap realitas dunia digital
ini ialah, bagaimana eksistensi manusia ditengah serangan perubahan jaman yang
sangat mencekam ini?
Tidak dapat disangkal bahwa aktualisasi pola prilaku dan pola pikir manusia akibat perkembangan teknologi ini terepresentasi dengan begitu jelas dalam diri manusia di abad 21 ini. Manusia yang terbentang dari umur 5/7-50/60-an tahun keatas tengah terlelap dalam kenikmatan menu yang disajikan oleh modernisme.
Euforia terhadap perkembangan teknologi ini menyebabkan terlupakannya identitas
dari manusia itu sendiri. Sehingga pada titik puncaknya manusia menjadi pemalas
dan senang mengimpikan hal-hal yang muluk serta
enak, sehingga dilupakannya realitas. Manusia yang pada hakekatnya
sebagai mahkluk sosial kini relasinya dengan yang lain secara konvensional terbatas,
sedangkan relasi dengan yang lain secara telepresent begitu luas dan
bahkan tak terbatas. Sehingga efeknya, manusia menjadi nomophobia. Dan
istilah yang mengatakan ‘yang dekat jadi jauh, dan yang jauh jadi dekat’
menjadi familiar di mata kita.
Sebenarnya perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai bidang kehidupan manusia ini, mengajak kita untuk merefleksi lebih dalam mengenai keberadaan kita di tengah perubahan dunia ini. Siapakah saya ? Demikian pertanyaan yang menuntun kita untuk sampai pada puncak pengenalan eksistensi diri kita ditengah gelombang perubahan jaman ini.
Untuk mengantar kita kepada pengenalan akan diri kita , saya mengutip pendapat dari bapak Dr. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Aku klik maka aku ada, disana ia katakan teknologi komunikasi digital pada abad ini telah mengubah pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Homo digitalis adalah manusia yang hidup pada abad 21 ini, ada alasan mengapa manusia saat ini dikatakan sebagai homo digitalis atau manusia ‘jari’ karena ia memastikan keberadaannya lewat jari yang mengklik. Istilah homo digitalis ini bisa terdengar sarkastis (sesuatu yang bersifat mengejek) karena bisa berarti manusia jari bukan manusia bijak atau berintelek (sapiens). Homo digitalis bereksistensi lewat gawai (alat penunjang), artinya eksistensinya ditentukan oleh tindakan digital atau jari yang mengklik lewat uploading, chaating, posting,dll.
Dari pernyataan ini, jelas terlihat kepada kita bahwa
keberadaan manusia tidak lagi ditentukan oleh hubungannya dengan yang lain
secara tatap muka melainkan ditentukan oleh jari yang mengklik di gawai itu. karena lewat postingan kita berbagi atau pamer
untuk kebutuhan akan pengakuan dari orang lain.
Perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia ini rupa-rupanya meninabobokan manusia sehingga manusia terlelap dalam euforia modernisme dan pada ujungnya manusia menjalankan kehidupannya seperti orang yang mengigau. Ia tidak mampu menghadapi realitas kehidupannya dengan menerima segala konsekuensinya.
Sehingga akibatnya manusia senang mengimpikan hal-hal yang muluk dan mudah menyerah dan senang mencari jalan pintas untuk keluar dari problem yang dihadapinya. Ini karena manusia dimanjakan oleh teknologi yang sebenarnya dikontrol oleh manusia namun secara tak sadar fungsinya terbalik menjadi alat mengontrol manusia. Karena fungsinya mengontrol manusia maka manusia hidup bukan atas apa yang menjadi hakekat manusia itu sendiri tetapi manusia hidup atas apa yang diperintahkan oleh teknologi.
Memang tidak dapat kita sangkal bahwa perkembangan teknologi ini juga dapat membantu dan menguntungkan kita, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa kontribusi teknologi ini bagi kehidupan manusia sangatlah besar.
Maka dari itu, saya mengajak
kita untuk menggunakan teknologi itu sebagai alat membantu kita dalam membangun
relasi yang baik dengan orang lain serta secara bijak dalam mengolahnya agar
kita tidak terjerumus dalam ‘keegoisan’ kita. Dan dengan demikian eksistensi
manusia sebagai makhluk sosial di era digital ini tetap berperan dengan baik.
Posting Komentar untuk "Lemahnya Relasi Konvensional Manusia di Era Digital"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat