Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Darma Paripurna bukan Semata Prasasti Dukacita

(Ilustrasi foto dari foto.tempo.co, 6/8/2021)

Oleh : Pudji Widodo

Prasasti dukacita

Dalam rangka memperingati Hari Armada, pada akhir 1998 Pangkalan TNI AL (Lanal) Dili Timor Timur mengadakan bakti sosial di Pulau Atauro alias Pulau Kambing. Cuaca buruk membuat KRI Kupang-582 tak bisa menurunkan personel dan material tepat waktu atau mundur dari waktu yang direncanakan.


Pulau Atauro sekitar 40 km di utara Dili, adalah tempat transit Gubernur Timor  Portugal terakhir Mario Lemos Pires sebelum "lari" kembali ke Portugal.  Mario Lemos Pires meninggalkan Timor Portugal pada Agustus 1975 sebagai wilayah tak bertuan dan dalam keadaan perang saudara.


Dalam deru angin dan deras hujan,  saya sempat berbincang dengan seorang perwira KRI berpangkat Letda.


"Dok coba lihat yang duduk di tangga membawa tas kresek isi mi instan"
"Kenapa Let" tanya saya.
"Dia mantan ABK KRI Amurang, tadi sempat bilang ke saya 'begini Let dulu menjelang Amurang tenggelam'."

KRI Amurang jenis kapal LCU berakhir tugasnya di jajaran Komando Armada Kawasan Timur karena tenggelam. Dalam operasi dengan status BKO Kolakops Timor Timur, saat itu terdapat beberapa kapal LCU yang juga bergantian menjalani rotasi tugas, yaitu KRI Dore-580, KRI Kupang-582 dan KRI Dili-583. Seperti KRI Amurang, KRI Dili-583 juga tenggelam saat melaksanakan tugas pergeseran material. Para mantan ABK KRI Amurang kemudian pindah mutasi ke berbagai kapal perang lainnya, termasuk tamtama yang sedang gelisah kini mengawaki KRI Kupang- 582.


Dialog tentang kegelisahan ABK KRI Kupang-582 seperti rekaman yang diputar ulang ketika ada anggota Polri yang turut menjadi korban dalam tragedi Stadion Kanjuruhan sebagai risiko tugas. Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengungkapkan bahwa dua personel polisi tewas pada Sabtu 1 Oktober 2022 lalu.  Jenazah Briptu Fajar Yoyok Pujiono (Bintara Polres Trenggalek) dan Brigadir Andik Purwanto (Bintara Polres Tulungagung) ditemukan berhimpitan dengan puluhan korban yang lain setelah berdesak- desakan menuju pintu darurat area tribun selatan Stadion Kanjuruhan   (Tempo.co, 4/10/2022).


Entah mengapa mereka bisa terpisah dari induk pasukannya. Apakah memang mereka ditugasi berada di tengah penonton tribun selatan? Bila demikian mengapa mereka tidak segera turun dari tribun  kembali bergabung ke induk pasukannya di tengah lapangan.


Seperti ada situasi kejiwaan yang sama antara ABK KRI Kupang-582 dan para anggota Polri, meskipun latar belakang lokasinya berbeda, satu di tengah laut dan lainnya di dalam stadion olahraga. Masing- masing mungkin memiliki pengalaman dan ingatan tentang musibah yang pernah menimpa dirinya atau rekan kerjanya dan berisiko terulang pada diri mereka.


Seperti juga yang saya alami ketika dalam beberapa kali penerbangan dari Dili ke Malang menggunakan pesawat Hercules C-130 pada dekade sembilanpuluhan. Ingatan saya langsung melayang kepada peristiwa jatuhnya pesawat jenis yang sama dengan korban 135 prajurit TNI AU usai mengikuti upacara HUT ABRI 5 Oktober 1991. Sedang di jajaran TNI AL, kerugian personel terbesar terjadi ketika kapal selam KRI Nanggala-402 tenggelam di perairan utara Bali pada 24 April 2021 bersama 53 personel TNI AL.


Bagi yang bersangkutan, pengalaman dan ingatan tentang musibah saat bertugas, mungkin menjadi pendorong untuk menghayati bahwa hidup yang terbatas harus  diamalkan  sebaik-baiknya agar bermakna dan tidak sia-sia berlalu. Tetapi bagi keluarganya, hal itu bisa membuat kegelisahan akibat ancaman kehilangan orang yang dicintainya.


Dua bulan yang lalu sutradara Rudy Soedjarwo merilis film layar lebar "Saya Sayap Patah" (SSP). Film ini berdasar kisah nyata pengorbanan personel Densus-88 Anti Teror. Kisah nyata pengorbanan personel Polri akibat  risiko tugas kembali terjadi dalam tragedi Stadion Kanjuruhan. 


Haru dan empati atas gugurnya dua bhayangkara Polri ini tidak berarti mengurangi hormat, empati dan kesedihan mendalam atas tewasnya 130 penonton di Stadion Kanjuruhan. Seluruh korban telah menjadi prasasti duka cita warga bangsa.

Risiko pengamanan mass gathering

Saya menaruh perhatian pada beberapa kasus gugurnya anggota Polri akibat risiko tugas, khususnya pada kegiatan mass gathering. Pada pengamanan mass gathering dan penindakan beberapa pelaku aksi kriminal,  peristiwa, lokasi dan pelaku telah terukur sebagai dasar rencana pengamanan sesuai informasi intelejen. 


Pada pengamanan mass gathering,  terdapat peluang besar negoisasi antara aparat dan kelompok yang menjadi obyek/target tindakan yang memungkinkan untuk memperkecil risiko ancaman terhadap keselamatan petugas. Meskipun demikian juga bisa terjadi perubahan situasi yang membahayakan jiwa petugas.


Pada tahun 1998, anggota Resmob Polwiltabes Surabaya dikeroyok warga saat mereka bertugas akan menangkap pelaku kejahatan di Bangkalan. Pelaku lari menuju mushola dan melalui pengeras suara dia berteriak minta tolong warga setempat. Warga yang datang mengeroyok para polisi yang berpakaian preman. Tiga personel polisi tewas, sementara empat lainnya berhasil menyelamatkan diri (okezone.com, 18/6/2012)


Tragedi "Uncen Berdarah 2006" juga tak akan dilupakan oleh insan Polri. Tiga polisi Dalmas, satu anggota intel TNI AU meninggal di lokasi kejadian dan satu polisi meninggal setelah menjalani perawatan. Mereka menjadi korban penganiayaan pelaku unjuk rasa saat bertugas mengendalikan demonstrasi di kampus Uncen Abepura (yahoo.com,16/3/2021)


Pada unjuk rasa di Cianjur Agustus 2019, aparat polisi berupaya mematikan kobaran api dari ban mobil yang dibakar para mahasiswa pengunjuk rasa. Namun seorang mahasiswa justru melempar botol berisi bensin ke ban mobil yang dibakar yang memercik pada tubuh para polisi. Empat polisi mengalami luka bakar, satu diantaranya akhirnya meninggal akibat luka bakar 80% (kompas.com).16/8/2021)


Setiap aparat ketika melaksanakan tugas setelah menerima perintah, sudah mengetahui dan siap menghadapi risiko. Mengungkapkan kasus jatuhnya korban aparat di atas, adalah upaya untuk jernih melihat persoalan bahwa menghadapi mass gathering yang sudah dilengkapi dengan rencana pengamanan sesuai SOP pun masih terjadi risiko menjadi korban. 


Mari membayangkan apa yang ada di benak aparat ketika secara bergelombang Aremania memasuki lapangan hijau usai laga Arema FC dan Persebaya. Apalagi sebelumnya pada bulan September 2022 juga terjadi anarki dalam laga sepakbola di Stadion Pekanbaru dan Sidoarjo di mana penonton merusak fasilitas stadion. 


Dalam kerumunan orang, seperti penyakit, emosi pun menular dan mendorong timbulnya perilaku kolektif. Kesamaan emosi dan tingkah laku terbentuk karena telah terjadi deindividualisasi. Penonton yang bersama-sama turun ke lapangan hijau pun akan bertingkah laku sama karena telah berjiwa kolektif.


Rekaman video yang beredar luas menunjukkan seorang penonton yang berlari mengangkat bendera masuk lapangan hijau Stadion Kanjuruhan. Aksi ini segera diikuti sejumlah penonton melakukan hal yang sama. Aparat keamanan pun waspada dan bertindak, mungkin agar tidak terulang kasus Pekanbaru dan Sidoarjo. 


Namun langkah pengamanan menertibkan penonton berujung bencana. Dalam hal ini Kapolri telah mengumumkan kesalahan para komandan lapangan dan manajemen PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai pelanggaran pidana. 


Tanggal 14 Oktober 2022 TGIPF yang dipimpin Menkopolhukam pun telah melaporkan hasil kerjanya mengusut tragedi Stadion Kanjuruhan kepada Presiden RI. TGIPF menyatakan bahwa dibutuhkan perbaikan secara drastis namun terukur untuk membangun peradaban baru dunia sepakbola nasional yang berperadaban dan bermakna bagi kepentingan publik. 


TGIPF juga merekomendasikan penyelidikan terhadap aparat Polri dan TNI serta pihak-pihak yang melakukan tindakan berlebihan, termasuk menembakkan gas air mata ke arah penonton di tribun yang diduga dilakukan di luar komando. Selain itu TGIPF juga merekomendasikan agar dilakukan penyelidikan terhadap penonton yang melakukan provokasi (Tempo.co, 24/10/2022).


Penutup

Ungkapan "jadikan monentum perbaikan" seakan mantra yang selalu diucapkan tentang harapan perubahan lebih baik dalam setiap musibah dan tragedi. Namun musibah dan tragedi kemanusiaan terus berulang  termasuk bidang sepakbola.


Masyarakat harus mengawal agar seluruh rekomendasi TGIPF yang komprehensif dilaksanakan oleh semua pihak yang disebutkan TGIPF untuk membangun sistem persepakbolaan nasional. Dengan demikian hilangnya 132 jiwa manusia yang menjadi korban kekeliruan penyelenggaraan pertandingan dalam kompetisi liga sepakbola tidak berlalu sia-sia. 


Demikian pula dua bhayangkara Polri telah paripurna melaksanakan darma baktinya sampai gugur sebagai risiko tugas. Ratusan penonton yang meninggal dunia pun adalah mereka yang selama ini setia ikut membentuk sepakbola sebagai industri hiburan. 


Narasi duka cita tidak boleh hanya menjadi prasasti penanda tragedi, bukan hanya bidang pertahanan, tetapi juga bidang olahraga. Di atasnya harus lahir regulasi baru yang mengatur sistem persepakbolaan Indonesia yang baik dan beradab (pw). Semoga.


Pudji Widodo,
Sidoarjo, 15102022 (127).
Untuk Tafenpah.com

Posting Komentar untuk "Darma Paripurna bukan Semata Prasasti Dukacita"