Goresan Asmara di Kota Tulungagung

Novel: Goresan Asmara di Kota Tulungagung

#Episode 1

TULUNGAGUNG, Tafenpah.com - Kita tak pernah memilih untuk jatuh cinta dengan siapa pun. Termasuk latar belakang pasangan


Namun dibalik gelora asmara yang tersembul dari dalam hati kita, ada luka dan derita yang masih tersimpan rapi dalam kalbu kita. Ke manakah kita harus berceloteh? Entah, sebab aku juga masih menyimpan goresan-goresan asmara di kota Tulungagung.


Akhir Januari 2019, aku resmi keluar dari Biara Katolik. Tepatnya di Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang. Jl. Terusan Rajabasah no.6.


Malam itu, aku mencari jasa travel untuk menuju kota Tulungagung. Aku membungkus dingin malam dalam nuansa kebebasan untuk memilih tujuan hidup. 


Sebelum perjalanan menuju kota Tulungagung, aku berpamitan dengan rekan-rekan yang telah menemaniku selama hampir 6 tahun di dalam Biara Katolik.


Tepat pukul 22.00 WIB, aku mulai menghirup udara di luar tembok Biara. Perjalanan malam menuju Tulungagung sangat menyenangkan. Karena aku bisa menyaksikan kelap-kelip kota Malang di tengah malam.


Travel yang aku tumpangi pun melewati kota Blitar, Kediri hingga Tulungagung. Saat aku menginjakkan kaki pertama kali di bumi Tulungagung, hanya ada satu kata yang keluar dari hatiku yakni Syukur.


Dua saudaraku yang sudah beberapa bulan kerja di sana menyambut aku bak seorang pahlawan. Maklum sejak aku keluar dari kampung halaman kami tidak pernah bersua lagi. Rasa kangen mulai berkejaran di ubun-ubun kepala.


Aku pun menjinjin koper merah besar masuk ke tempat kerjaan. Ko Jack  telah mengagetkan aku yang sementara makan malam.


“Wah, kopermu gede amat sih. Emangnya mau rantau jadi TKI? Celoteh Ko Jack untuk mencairkan suasana. Hmmm, bukan Ko! Ini mah pakaian aku.


Waduh, kamu pelarian dari Biara ya? Tanya Ko Jack

“Bukan Ko! Tapi, aku yang sudah memutuskan untuk berhenti menjalani kehidupan membiara.

“Baiklah, silakan lanjutin makannya.


Esok pagi ketika ku buka jendela, pori-poriku serasa dicabik dengan udara dingin kota Tulungagung. Sementara karyawan yang lain masih menikmati tidurnya. Aku memutuskan untuk melakukan olahraga ringan di area balkon.


Kabut masih menutupi kota Tulungagung, aku pun kembali dikagetkan dengan sapaan akrab dari Ko Jack,”selamat pagi Fred.”

“Pagi juga Ko.

“Hmm tumben kamu kok bangun pagi-pagi banget ya?”

“Uda terbiasa Ko.”

Good news boy. Oh yeah, ntar kamu tolong jemputin Hengki yang semalam jaga Opa di RS Tulungagung ya?

“Tapi, aku kan belum tahu daerah sekitar sini ko!

“Tenang aja, nanti kamu antarin si mbok, sekaligus pulang sama Hengki ya.

“Siap Ko.”




Di kala mentari masih ikut mendekap perut bumi bagian Timur, aku sudah bersafari dengan motor Revo Fit milik Ko Jack menuju RS Tulungagung untuk mengantarin si mbok. Si mbok adalah asisten rumah tangga sekaligus yang membantu Hengki untuk merawat Opa.


Aku rasa kehadiranku diterima dengan baik oleh Ko Jack dan karyawannya. Hatiku jadi tenang. Namun aku juga masih gelisah akan pekerjaan apa yang nantinya dikerjakan.


Ternyata Ko Jack sudah menginstruksikan kepada karyawan kepercayaannya untuk menempatkan aku dibagian Barista. Wah, jujur saat aku diberitahu, aku kaget. Karena aku rasa tidak PD untuk menghandel pekerjaan tersebut. Beruntung Cici dengan telaten mengajariku untuk melayani tamu dengan budaya “hospitaliti.”


Setelah beberapa jam aku ditraining sama Cici tentang cara membuat kopi, dan beragam minuman dengan menggunakan mesin packing food, aku semakin percaya diri untuk standbye di Barista.


Ya, selain melayani customer, sekaligus cuci mata dengan karyawati di toko sebelah yang terlihat aduhai dan melemahkan mata. Semangat 45 pun meledak dalam diriku. Hidupku kian berwarna.


Siang itu, tetiba ada gadis cantik yang membangunkan aku, gegara keasyikan menikmati hawa sejuk kota Tulungagung, “mas susu kocoknya piro (berapa)?


“Alamah, aku pun terhempas dari tidurku. Gegara pertanyaan susu kocok. Sembari aku mengibas rasa kantuk, aku pun tak berpikir panjang langsung memberikan daftar harga susu kocok. Setelah ditimang, gadis cantik itu pun memesan 2 gelas.


Takaran susu kaleng, es krim dan sirop aku ikutin sesuai dengan yang sudah diajarkan oleh Cici.


Mbak, pesanannya wes.

“Ow nggeeh mas.



Sejak perjumpaan dengan gadis itu, aku selalu berharap semoga ia bisa kembali lagi. Emang bener aja dugaanku. Sore harinya gadis cantik itu kembali untuk memesan kopi pahit.


Dalam hati, masa gadis cantik kok minum kopi pahit? Ah bodo amat. Yang terpenting aku bisa memandangnya.


Sialnya, aku tak bisa berkenalan dengannya. Gegara kesibukanku untuk memikirkan takaran gula dan ulikan kopinya.


Beruntung Hengki bisa memberitahu aku bahwasannya nama gadis itu adalah Winda. Memang rejeki anak soleha ngak ke mana-mana.



Tahap PDKT

Berbagai jurus rayuan pun aku sudah kantongi di isi celanaku. Tentu jurus-jurus tersebut, aku dapatkan dari petunjuk mbok Google.


Semalaman aku belajar bagaimana cara yang efektif untuk dekatin cewek dengan elegan. Tidur malam pun terganggu. Gegara aku harus menghafal gerak-gerak, agar si doi tidak terkesan dihakimi dan dipelototin oleh aku. Ya, meskipun pada kenyataannya aku harus pelototin. Wong gadis itu pun sudah berhasil mencuri segenap jiwaku. Ah, lebay!


Elegi pagi membawa nuansa romantika. Secangkir kopi hangat pun menemaniku. Sialnya, jurus maut yang semalaman aku bersusah payah ngumpulin dari mbok Google, seketika hilang begitu saja. Bullshit! Ah, sudahlah. Yang terpenting hari ini aku harus berkenalan dengan gadis pencuri jiwaku itu.


Aku pun mulai bertanya-tanya di Rinto dan Hengki. Mereka berdua adalah saudara sepupuku. Mereka bersedia untuk membantu aku untuk berkenalan dengan malaikat pencuri jiwa tersebut. Aku pura-pura meras bego dan tolol. Ibarat orang yang baru belajar pertama kali untuk dekatin cewek. 


Rinto dan Hengki pun mulai membangun asumsi dan teori yang kkelimpungan di dalam benak pikiranku. Aku merasa diriku disetir oleh mereka. Tapi, aku tak peduli! Yang aku butuhkan sekarang adalah ingin berkenalan dengan Winda.


Pertemuan Pertama: Tukar Nomor Kontak


Milenial tanpa ponsel dan kuota, ibarat seseorang yang kehilangan jati dirinya. Pagi yang sangat indah di di kota Tulungagung. Aku membuka gerbang pintu Barista. Sembari merapikan alat-alat dan nyapu serta mengepel.


Aku sangat menikmati hari-hari kerjaku. Ko Jack dan Cici Jeany  ada urusan keluarga di Surabaya. Pagi itu, mereka pamit untuk beberapa hari tinggal di Surabaya. Tentu aku memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mendekati si Winda.


Matahari berada di garis khatulistiwa, suara adzan mengumandang dari arah Mesjid. Itu menandakan manusia kembali bersembah sujud kepada Sang Pemberi kehidupan.


Aku, Rinto, Hengki dan Radit (Orang kepercayaan Ko Jack) menikmati makan siang bersama. Sembari kami menikmati beberapa tukang becak yang selalu setia menunggu pelangga di pojok perempatan 555 kota Tulungagung.


Usia mereka sudah renta. Namun, semangat mereka hampir saja mengalahkan aku di tanah rantau. Hengki mulai batuk dan mendehem di arah depan. Itu adalah kode keras bagi saya untuk segera menemui Winda. Karena gadis manis itu lagi pesan minuman dingin.


Aku tak menghiraukan kode dari si Hengki. “Tenang bro masih ada kesempatan bagi aku untuk berjumpa dengan Winda!” Begitulah pembelaan aku kepada mereka yang sudah menghakimi aku.


Suara Adzan kembali menggema di bumi Tulungagung. Satu per satu karyawan yang berada di sekitar perempatan pojok 555 Tulungagung bergegas kembali ke rumah mereka.


Sementara kelap-kelip malam kini menjadi penerangan bagi pedagang kaki lima yang sibuk membuka lapak untuk memasarkan hasil dagangan mereka. 


Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membeli roti di di toko sebelah. Ya, modus lelaki yang sudha ketinggalan zaman. Akn tetapi, tak salah, jika aku mencoba. Malam itu aku pun berhasil mendapatkan nomor kontak Winda. 


Rinto, Hengki, Raditya pun mulai mendekati saya untuk berbagi nomor kontak. Aku tak sudi berbagi nomor kontak Winda.


Malam itu, aku mencoba untuk menghubungi Winda. Dan berakhir pada janjian untuk jogging setiap pagi.


Jogging Bersama Winda


Winda adalah gadis manis yang bekerja di toko roti, berdampingan dengan tempat aku bekerja. Aku bekerja di Cafe & Pizza. Tepatnya di perempatan 555 kota Tulungagung.


Kadar tepung dan komposisi daging sapi, serta bahan-bahan pendukung Pizza masih segar di depan mataku. Aku tidak bisa menahan lagi gelora asmara. Gelora cinta yang bergejolak di dalam dada terus mengarahkan aku untuk segera memanggil nama Winda.

Waktu berlalu secepat kilat petir, aku pun semakin khawatir. karena Winda belum keluar dari tirai besi toko roti itu.


Namun, kecemasanku tidaklah bertahan lama. Karena pintu toko segera dibuka. Aku sudah tahu, bahwa itu adalah winda. Tepat seperti apa yang aku pikirkan. Winda segera keluar. Hatiku semakin membara. Aku hampir melonjak kegirangan. Karena pujaanku menepati janjinya untuk jogging bersama di Alon-Alon kota Tulungagung.


"Astaga si nenek tua ini juga ikut-ikutan, ah! Celotehku. Karena winda membawa serta sang majikan untuk jogging bersama.  Makin runyam dunia, bila cinta kawula muda diganggu oleh kehadiran orang lain.


Kegembiraan yang aku rasakan, dengan seketika sirna terbawa angin nan segar kota Tulungagung pada pagi hari. Karena aku berpikir bahwa, pagi itu aku harus jogging berdua saja. Ya, karena semalam kami sudah menyepakati perjanjian via pesan WhatsApp. Bukan perjanjian yang dilandaskan pada hukum industri, ya.


"Sugeng enjing Mbak." Pura-pura menyapa bosnya Winda. Padahal hati sudah dongkol!

Jawabnya, Sugeng Enjing nak." Sampeyan saking nang ndi?

Ow, kula saking Timor mbak. Piye kabare?

"Sae-sae mawon, nak."

"Enggehhh."


Setelah percakapan singkat antara aku dan bossnya winda. Kami pun mulai jogging bersama. Oh ternyata, si nenek tua itu lebih peka, daripada dugaan aku. Lalu, ia mengatakan kepada winda bahwa, " Winda aku duluan ya."

"Jawab winda, ohh Ngeechh."


"Asyik. Aku dan winda memiliki kesempatan untuk ngobrol. Aku senang winda pun senang. Ya, karena kami saling menahan gelora asmara di dalam dada. Sembari menikmati jogging pagi bersama winda, kami pun ditemani dengan suasana hiruk - pikuk para Lansia yang dengan bersemangat berlari ke sana - kemari sembari menebarkan senyuman khas dari raut wajah mereka. Aku dan winda sangat menikmati moment seperti itu. Maklumlah ada kebebasan untuk mengekspresikan diri. Karena sebagian besar waktu yang kami miliki dihabiskan dalam dunia kerja.

"Win.....aku senang kamu mau jalan bareng sama aku."


Jawabnya, wes, aku juga senang, kok mas." Percakapan diantara aku dan winda semakin ngalir. Moment seperti ini, kami gunakan untuk saling mengenal satu sama lain. Sembari kami mencari udara segar di taman kota Aloon - Aloon Tulungagung.

"Win.....kamu agama Islam kan?


"Jawabnya, wes, aku agama Islam."

"Lah, sampeyan agama opo?

"Aku agama Katolik, Win."


Kayaknya dia agak terkejut. Karena ia tidak menyangka aku beragama katolik. Tetapi, antara aku dan dia tidak mempersoalkan agama. Karena agama itu berkaitan dengan ruang privat. Ruang yang hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan.


Namun, realitas bangsa Indonesia yang menggunakan agama untuk saling mencari kelemahan bagi sesamanya. Meminjam istilah Thomas Hobbes,"manusia adalah serigala bagi sesamanya (Homo Homini Lupus)."


"Winda.....oh Winda mengapa engkau menghipnotis diriku dengan senyuman manjamu. Kondisi ini mendorong aku untuk mengecup keningnya, tapi aku malu dengan orang-orang yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku kami."


Maklum sebagian besar yang jogging pada pagi hari ini adalah para lansia. Aku dan Winda hadir dengan warna pelangi.


Akhirnya, aku pun berani untuk merangkul dia. Winda pun malu-malu. Katanya, aku malu dilihatin orang. Jawabku, ngak perlu malu winda." Lalu, winda semakin memancarkan senyuman malu-malu, sembari wajahnya yang mulai memerah. Hhhhhhhh........


Setelah sekian belasan kali, aku dan winda mengelilingi taman kota Aloon - Aloon Tulungagung yang luas dan panjangnya tidak sebanding dengan Taman Alun - Alun kota Malang. Meskipun, aku orang asli Timor tapi aku sudah cukup mengenal Jawa Timur dengan baik. Sementara winda cuman mengenal Kediri kota kelahirannya. Lalu aku mengajak winda untuk liburan di kota Malang.


Winda gadis manja yang melemahkan mataku. Maklum laki-laki mengawali perasaan cinta dari pandangan mata.


Tanpa terasa petualangan aku dan winda berakhir dengan seiring datang dan perginya detik demi detik menuju pekerjaan kami.


Notifikasi pesan WhatsApp dari Winda


 " Makasi ya uda nemenin aku jogging." Aku pun membalas chatnya, ow ya makasi juga win."

Pesan emoji memenuhi labirin semesta WhatsApp.


Mas nanti hari senin jogging lagi ya. Dalam hati, setiap hari jogging, enggap apa-apa, kok. Asalkan jangan bawa-bawain majikan kamu.


Tapi, cinta aku dan Winda berakhir dengan peristiwa yang sangat menyakitkan. Karena orangtua Winda, tak merestui hubungan kami. Antara aku dan Winda harus menerima kenyataan, bahwa kami boleh saling mencintai, tapi latar belakang kami tak merestuinya.


BERSAMBUNG.......

Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Goresan Asmara di Kota Tulungagung"