Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Para Penulis Sejarah

Pixels

Penulis: Muhammad Riang Lesilawang | Editor: Fredy Suni

Tafenpah.com - Berbicara lewat menulis  March 17, 2022 "History is written by the winners" (sejarah ditulis oleh para pemenang). Ungkapan ini lazim diasalkan pada Winston Churchill saat ia membawakan pidato di hadapan "The House of Commons", 23 Januari 1948. 


Di kemudian hari para sastrawan dan sejarawan membuktikan ungkapan populer di atas sudah dipakai pada abad 19. Sudah diungkapkan dalam berbagai bahasa Eropa modern seperti Perancis, Italia, dan Jerman. Hingga hari para ahli sepakat, pencetus pertama gagasan "eye-catching" (memikat mata) ini belum dipastikan. 



Yang menarik bukan untaian kata-katanya, tapi maknanya yang sangat dalam. Tidak terbantahkan kebenarannya selama ratusan tahun. Warisan-warisan teks kuno biasanya hanya bisa berasal dari penulis kenamaan yang punya otoritas intelektual dan politik atau lingkaran kerajaan. 

Tulisan Plato, misalnya, masih utuh lantaran pengaruh Plato yang tidak terbantahkan kala itu bagi masyarakat Yunani. Tulisan Aristoteles juga demikian. Aristoteles adalah murid Alexander Agung, penguasa Yunani paling fenomenal. Namun ketika Alexander Agung meninggal, Aristoteles diburu. Banyak karyanya dibakar. Untungnya diselamatkan ilmuwan Muslim dari Timur Tengah. 


Ketika Gereja Katolik berkuasa di Eropa, tulisan-tulisan yang dianggap bidaah dibakar, padahal sangat kaya dan brilian isinya. Di era modern hampir tidak terdengar kisah kejam itu, tapi sebenarnya masih terdapat praktik lain yang sejenis. 


Sensor pemerintah atas sirkulasi buku-buku tertentu mengandung arti yang sama. "Sweeping" sepihak kelompok ekstrimis atas buku-buku yang bermuatan Marxis di Indonesia juga mengusung misi pemusnahan massal yang sama atas warisan sejarah. Mereka memiliki kekuasan dan dengan itu mampu mengubah sejarah menurut versi sendiri. 


Saya masih ingat masa-masa belajar sejarah di SMP. Guru pelajaran sejarah kami adalah saksi hidup rezim Soeharto. Ia bahkan lahir di era Soekarno. Asyik sekali kami mendengarkan cerita guru tua itu sampai-sampai pelajaran sejarah merupakan kegemaran seluruh siswa. Saking menariknya, hampir seisi kelas tertidur saat guru kami mengajar dengan pola mendongeng (story-telling), termasuk saya. 


Buku sejarah yang jadi pedoman kami kala itu menceritakan secara heroik aksi Soeharto dalam menyelamatkan Indonesia. Dikisahkan, kala itu, 1964-65, Indonesia berada di ambang kekacauan dan terancam menjadi negara gagal. Kelompok komunis ingin merebut kekuasaan dan menjadikan Indonesia bagian dari gugus negara komunis. 


Geram melihat itu, Soeharto lantas mendapat perintah langsung dari Soekarno untuk membantai para pengkhianat bangsa. Di sinilah lahir Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lazim kita kenal SUPERSEMAR. Soeharto lantas langsung membabat habis komplotan dan simpatisan komunis atau PKI (Partai Komunis Indonesia). 


Tindakan kepahlawanan Soeharto membuat kami terpesona. Belakangan saya baru sadar kalau ada versi lain dari sejarah itu. SUPERSEMAR dikeluarkan Soekarno karena paksaan Soeharto. Akibat buntutnya yang menjadi salah satu fase paling gelap dalam sejarah Indonesia adalah juga tanggung jawab Soeharto. 


Mengapa versi lain ini baru kelihatan? Karena selama masa penguasaannya, semua tulisan sejarah hanya boleh beredar setelah melewati sensor pemerintah. Tatkala Soeharto tumbang, kehilangan kekuasaan, semakin banyak sumber sejarah menguak kebenaran. Para penulis sejarah memang adalah pemenang dan penguasa.


Apa yang penting untuk kita pelajari? Bukan aktor sejarah yang kejam seperti Soeharto atau Hitler. Kita mungkin berada di kapal yang sama dengan mereka. Bila kita membaca sejarah dari satu sudut pandang, lalu mengamini itu sebagai kebenaran, kita juga melanjutkan estafet sejarah yang direkayasa oleh para pemenang alias penguasa. 


Yang patut diingat adalah tidak pernah ada versi kebenaran tunggal. Tidak pernah ada sejarah dari satu sudut mata. "To see is also not to see". Ketika kita melihat sesuatu, pada saat yang sama penglihatan kita mengabaikan yang lain. Setiap naskah sejarah selalu mengungkapkan sesuatu sekaligus menyembunyikan atau membungkam sesuatu. Karena itu, hermeneutikus Jacques Derrida menasihatkan, kebenaran sebuah teks tidak ditemukan di dalam atau di luar teks, melainkan di antara sela-sela teks.


Semua orang adalah pelaku dan saksi sejarah. Semua orang punya hak untuk menulis. Hanya sayang, ada orang yang tidak mampu menulis kebenaran sejarahnya, entah keterbatasan kompetensi, tidak memiliki kesempatan, represi rezim, entahlah. 


Akhirnya, melalui karya sastra, kita dapat merajut masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Mari, dan terus menebar kebaikan melalui tulisan. Karena sepandai dan setinggi apa pun kita, kita akan hilang dari sejarah dan dunia, jika kita tidak mulai menulis _ Pramoedya Ananta Toer

Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Para Penulis Sejarah"