Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengembalikan Makna Seni Tari Caci

Seni Tari Caci. Sumber gambar: Medcom

Penulis: Andi Darman | Editor: Fredy Suni

Tafenpah.com - Iklim berpikir modern yang mendewakan rasionalitas cenderung mengabaikan peran estetika (seni) dalam kehidupan manusia. Seni seringkali dipandang sebagai pemuas panca indra atau objek yang hanya untuk dinikmati oleh manusia. Fungsi, nilai dan kebenaran-kebenaran yang diungkapkan lewat seni diabaikan oleh masyarakat modern. Karena itu, seni dipandang oleh masyarakat modern sebagai warisan yang belum selesai. Seni bisa dimodifikasi sesuai dengan keinginan dan perkembangan zaman. 



Dampak iklim berpikir modern sudah terjadi di berbagai daerah di wilayah Indonesia. Seni yang dihasilkan dari berbagai budaya setempat seringkali dimodifikasi bentuknya sesuai dengan perkembangan zaman. Bentuk seni dimodifikasi sesuai gaya modern untuk menarik banyak orang. Akan tetapi, seni tersebut mengalami reduksi makna dari budaya aslinya dan terkubur oleh arus modernisasi.



Reduksi makna seni terjadi baru-baru ini dalam sebuah ajang fashion show festival G-20 Indonesia 2022 di Padang Room, Hotel The Westion, Jakarta pada 18 Mei 2022. Anggela Lerrick sebagai finalis yang mewakili putri NTT menampilkan busana tari caci dari budaya Manggarai. Busana tari caci yang digunakan Anggela dalam ajang tersebut dimodifikasi sesuai dengan arus modernisasi. Banyak orang mengatakan bahwa busana yang digunakan Anggela mirip dengan busana tokoh kartun Capricorn. 



Penampilan Anggela dalam balutan busana tari caci tentu membawa kegembiraan bagi orang Manggari. Mereka merasa identitas dan seni yang dihasilkan dari budayanya di tampilkan kepada orang luar. Namun, tak sedikit orang Manggarai meraSa kecewa dengan bahan, motif dan bentuk busana yang dikenakan Anggela dalam ajang fashion show. Orang Manggarai merasa busana dikenakan Anggela hilang dari nilai filosofis dan estetika (seni) sesuai keyakinan budaya asli.  


Tari caci merupakan tarian adat orang Manggarai yang biasanya dimainkan atau diperagakan oleh laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki yang memainkan tari caci biasanya diuji satu lawan satu dan saling bertarung dengan menggunakan cambuk dan perisai. Akan tetepi, penari tetap menjunjung tinggi rasa saling menghargai, sportivitas, dan toleransi. Hal ini untuk menunjukkan bahwa orang Manggarai diciptakan untuk menjadi pahlawan, pemberani perkasa, dan petarung dalam kehidupannya, bukan pengecut. 


Tari caci biasanya dipentaskan untuk syukuran hasil panen, tahun baru, peresmian kampung, penyambutan pejabat, dan upacara keagamaan. Busana yang digunakan seperti panggal (topeng) pada kepala, tubi rapa, wajah dibalut dengan kain, memakai celana panjang berwarna putin dipadukan dengan kain songke dan tubuh bagian atas penari dibiarkan terbuka selama tari caci. Semua busana yang digunakan penari memiliki fungsi, makna dan nilai-nilai kebenaran bagi orang Manggarai. Karena itu, busana tari caci tak perlu direduksi secara sepihak hanya untuk mengikuti arus modernisasi.

Arus modernisasi membuat seni sebagai sesuatu yang terpisah dan teralienasi dari kehidupan kita. Seni hanya dipandang sebagai pemuasan panca indra dan tidak memiliki pengaruh bagi kehidupan. Dengan itu, kita perlu mengetahui perbedaan kesadaran akan seni (aesthetic conciousness) dan pengalaman akan seni (experience of art) agar seni tidak direduksi secara sepihak. 

Aesthetic Conciousness seringkali dipahami oleh orang-orang yang tidak menemukan nilai kebenaran dibalik seni. Mereka hanya memahami seni sebatas untuk dinikmati dan tidak memiliki pengaruh bagi dirinya. Seni menjadi bagian yang terpisah dari dirinya. Cara pandang demikian seringkali dialami oleh manusia modern sekarang. Mereka hanya melihat ilmu alam, matematika, ilmu sosial, politik, dan semua yang bersifat rasional, yang punya pengaruh bagi kehidupan manusia. Seni tidak diyakini sebagai sesuatu yang dapat membantu manusia untuk memahami dan menerima dirinya dengan baik.


Experience of art muncul untuk memberikan kritik terhadap pemahaman manusia yang memandang seni hanya sebagai aesthetic conciousness. Experience of art memberikan pemahaman bahwa manusia tidak hanya menikmati seni, tetapi berdialog dengan nilai-nilai kebenaran yang ditawarkan seni itu. Dengan itu, manusia tidak hanya menentukan makna dari seni, tapi seni itu juga mempengaruhi manusia dalam memahami dirinya. Manusia menemukan pesan yang menjadi bahan refleksi bagi dirinya melalui interaksi dengan seni.


Seni tari caci dalam budaya Manggarai juga memberikan pesan dan nilai-nilai kebenaran yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Dengan seni tari caci dan busana yang dikenakan penari, orang Manggarai memiliki jati diri sebagai kepahlawanan, keberanian dan petarung dalam hidup. Mereka termotivasi untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dalam menjalani hidup. Karena itu, reduksi bentuk dan motif tari caci ke modern mampu melumpuhkan nilai, pesan dan semangat dasar orang Manggarai.   


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Mengembalikan Makna Seni Tari Caci"