Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fenomena Tuhan dalam Fenomenologi Jean - Paul Sartre

Pixels

Penulis: Andy Darman (Mahasiswa Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang)

Editor: Fredy Suni

MALANG, Tafenpah.com - Hegel menjadi filsuf pertama yang membawa kata fenomenologi ke ruang publik  melalui bukunya Phenomenologi of the Spirit (1870). Fenomenologi Hegel berbicara tentang apa yang ada dibalik penampakan atau yang biasa disebut Yang Absolut (bahasa teologinya adalah Tuhan). Hegel memahami Yang Absolut sebagai subjek yang menyadari dirinya sendiri atau sempurna dalam dirinya sendiri. 


Manusia mampu mengenal Yang Absolut melalui kesadaran, tetapi kesadaran tanpa sesuatu yang lain dari dirinya tak mungkin dikenal dalam isi kesadaran itu sendiri. Dengan itu, Yang Absolut menurut Hegel mengalienasikan dirinya dalam Alam atau mengobjektivikasikan dirinya sendiri. Alam menjadi sesuatu yang memungkinkan manusia mampu memiliki kesadaran tentang Yang Absolut. Yang Absolut menjadi objek dalam isi kesadaran manusia.


Doktrin sentral fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) juga menekankan bahwa kesadaran manusia selalu bersifat intensional. Artinya setiap tindakan kesadaran (act of consciousness) selalu terarah pada suatu objek tertentu. Isi kesadaran manusia tidak pernah kosong atau lepas dari suatu objek. 


Ketika manusia melihat, manusia melihat objek visual; ketika manusia berimajinasi, imaginasi manusia meghadirkan sebuah objek dalam pikirannya; demikian juga ketika manusia sedang mengingat atau menilai sesuatu, selalu ada objek yang dinilai oleh manusia. Karena itu, kesadaran manusia merupakan kesadaran tentang (consciousness of) atau sebuah pengalaman tentang (experience of) sesuatu.


Bagaimana manusia memahami setiap objek yang tampil dalam kesadaran? Fenomenologi Husserl berusaha menjelaskan relasi timbal balik antara kesadaran dengan setiap objek yang tampil dalam kesadaran. Upaya fenomenologi ini disebut sebagai deskripsi. Deskripsi tidak bermaksud untuk menjelaskan suatu hubungan sebab-akibat yang terjadi pada kesadaran dengan objek kesadaran. Deskripsi bermaksud untuk menjelaskan suatu objek sebagaimana ia hadir atau tampak bagi kesadaran manusia. 


Objek yang tampak dalam kesadaran dilukiskan atau digambarkan dengan bertolak dari objek itu sendiri. Karena deskripsi bukan untuk mencapai pemahaman yang ilmiah tentang suatu objek kesadaran, tapi ditujukan untuk mencapai suatu pemahaman yang menyeluruh tentang suatu objek.  


Misalkan, penjelasan tentang Tuhan. Saya mengambarkan atau melukiskan tentang Tuhan bukan berdasarkan kata orang lain atau kata Kitab Suci. Tuhan dilukiskan dalam kesadaranku berdasarkan relasi timbal balik dalam pengalamanku dengan-Nya. Gambaran Tuhan hadir dalam kesadaranku dan saya mengambarkan Tuhan yang hadir dalam kesadaran itu. 


Dengan demikian, gambaran Tuhan dalam diriku bukan berdasarkan persepsi atau hasil studi, melainkan berdasarkan kesadaran yang bertolak dari Tuhan itu sendiri. Contoh lain, Mazmur 18:2. Tuhan dilukiskan sama seperti bukit batu, kubu pertahanan, gunung batu, perisai dan benteng pertahanan. Semua gambaran Tuhan ini bukan hasil dari persepsi bangsa Israel, tetapi isi kesadaran mereka dalam pengalaman relasi dengan Tuhan. Tuhan mengobjektivikasikan diri-Nya seperti bukit batu, kubu pertahanan, dan sebagainya dalam kesadaran bangsa Israel.


Kritik Jean-Paul Sartre atas Fenomenologi Husserl

Ilustrasi gambar dari Intisarionline
Sartre memberikan kritik terhadap fenomenologi sebagai ajaran tentang kesadaran yang telah digagas oleh Husserl. Menurut Sartre, Husserl sangat keliru dalam menempatkan kesadaran sebagai sesuatu yang transendental (transendental yang dimaksud merupakan gambaran menyeluruh terhadap suatu objek yang hadir dalam kesadaran). 


Manusia dalam pemahaman Sartre tidak akan mampu mengambarkan atau melukiskan secara penuh terhadap setiap objek yang hadir dalam kesadarannya. Suatu objek hanya penuh dalam dirinya sendiri, tetapi peran dan posisi kesadaran terhadap suatu objek pastilah bersifat minimal, tidak penuh.


Dengan bertolak dari argumen di atas, Sartre mengatakan bahwa Tuhan yang dilukiskan manusia bukanlah realitas absolut yang Mahakuasa dan Mahabesar. Tuhan yang Mahakuasa atau Mahakuasa hanya merupakan bahasa manusia. Manusia dalam relasinya dengan Tuhan tidak akan mampu mengambarkan keberadaan Tuhan dengan kesadaran yang penuh. Bagi Sartre, manusia sangat berbohong apabila dirinya mengakui sudah mengenal Tuhan dalam kesadarannya sendiri.


Refleksi dan kesadaran manusia tidak pernah penuh dalam melukiskan suatu objek apalagi objek itu adalah Tuhan. Misalkan, saya ingin menjelaskan tentang meja. Saya mungkin bisa menjalaskan bentuk, warna, ukuran dan jenis bahan yang digunakan pada meja tersebut. Akan tetapi, saya tidak akan pernah penuh dalam menerangkan tentang meja tersebut. Masih banyak bagian dari meja yang luput dari penjelasanku. Misalnya, ketahanan dan berat dari meja, dan sebagainya.


 Sama hal juga ketika kita meminta seorang suami untuk menjelaskan karakter dari istrinya. Suami itu tidak akan pernah mampu menerangkan semua karakter dari istrinya. Masih banyak hal dari pribadi istri yang tidak diketahui oleh suami meskipun sehari-hari tinggal bersama. Dengan itu, Sartre mengatakan bahwa dunia pengalaman yang manusia hidupi sehari-hari selalu bersifat elusif di hadapan refleksi kesadaran. Manusia tidak pernah penuh dalam mengambarkan suatu objek, meskipun objek tersebut hadir di hadapan kita.  


Kesadaran manusia yang tidak penuh terhadap suatu objek bukan berarti Sartre menyangkal keberadaan Tuhan. Sartre tetap mengakui keberadaan Tuhan pada dirinya sendiri atau sempurna dalam dirinya sendiri. Persoalan Sartre terletak pada relasi (intensional) yang terjadi antara Tuhan sebagai yang absolut dan manusia yang bersifat kontingen. 


Pemahaman manusia tentang Tuhan tidak pernah sama dengan Tuhan itu sendiri, dan kesadaran manusia tidak pernah sungguh-sungguh merepresentasikan Tuhan yang sempurna dalam dirinya sendiri. Tuhan selalu luput dari kesadaran manusia. Tuhan yang dilukiskan manusia sekarang merupakan persepsi dari manusia, bukan gambaran penuh tentang Tuhan. 


Dengan itu, Sartre mengatakan bahwa kepercayaan akan keberadaan Tuhan sebenarnya menjadi pilihan bebas manusia. Tuhan sebagai realitas yang absolut dan transendental selalu absurd dalam kesadaran manusia.

Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Fenomena Tuhan dalam Fenomenologi Jean - Paul Sartre"