Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filosofi Pembuatan Rumah Adat Desa Haumeni

Filosofi pembuatan rumah adat desa Haumeni. Ilustrasi foto oleh tniad.mil.id

Penulis: Fredy Suni

HAUMENI, Tafenpah.com - Saya menggunakan dua metodologi dalam tulisan yang berjudul,”Filosofi Pembuatan Rumah Adat Masyarakat Haumeni”. Metodologi – metodologi yang saya gunakan adalah metodologi studi kebudayaan dan metodologi studi pustaka. Kedua metodologi ini membantu saya dalam menggali kearifan lokal yang berada di kampung halaman saya. Filosofi pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni, secara eksplisit menggambarkkan dan mengatakan bahwa masyarakat Haumeni sudah mengenal Tuhan (Usi Neno) jauh sebelum penyebaran agama Kristiani yang dibawa oleh bangsa Portugis di tanah Timor, teristimewa bagi masyarakat Haumeni. 

Salah satu unsur yang mendukung argumen saya adalah dengan melihat eksistensi dari ketiga cabang kayu dalam setiap rumah adat masyarakat Haumeni. Di mana ketiga cabang kayu tersebut, melambangkan adanya rasa persatuan antara Tuhan, manusia dan alam dalam tatanan kehidupan masyarakat Haumeni. 

Filosofi dari ketiga cabang kayu tersebut, telah memberikan pedoman atau kompas bagi masyarakat Haumeni dalam menjalin kehidupan bersama dengan orang lain. Nilai kearifan lokal inilah yang menjiwai masyarakat Haumeni dalam memaknai semangat Bhineka Tunggal Ika. Semboyang 100% Katolik dan 100% Indonesia akan selalu hidup dan menyejarah dalam urat nadi masyarakat Haumeni dalam membangun Indonesia.


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Metodologi studi Kearifan Lokal ~ Pancasila bagaimana dijalankan? Kearifan lokal bagaikan sumber – sumber alam yang berharga yang tersembunyi dalam – dalam di tanah keseharian hidup masyarakat yang terbentang di seluruh wilayah Indonesia. Studi kearifan lokal mengandaikan metodologi studi kebudayaan, studi filsafat nilai – nilai tradisi, studi pula prinsip – prinsip hidup bersama, dan studi cita rasa religius populis yang tidak reduktif pada tataran tekstual seperti konsep agama – agama institusional, serta pengalaman konkret masyarakat dalam menapaki peziarahan hidup bersama.[1]

Rumah adat merupakan lambang persatuan masyarakat Haumeni. Masyarakat Haumeni hidup berdasarkan penghayatan akan martabat manusia. Salah satu penghayatan yang paling menonjol dari masyarakat Haumeni adalah penghargaan tertinggi kepada setiap proses pembuatan rumah adat. Rumah adat biasanya melambangkan rasa persatuan dan kesatuan akan penghormatan terhadap para leluhur. Leluhur masyarakat Haumeni menyakini adanya kekuasaan tertinggi dalam setiap  rumah adat. Karena di dalam rumah adat itu sendiri, Tuhan sudah hidup dan menyejarah bersama dengan manusia. Salah satu tradisi yang menandakan adanya Tuhan dalam setiap rumah adat adalah dengan “Hau Monef” (tiang yang mempunyai tiga cabang).  

ketiga cabang tersebut, mengandung maknanya tersendiri. Di mana disisi kiri dan kanan adalah para leluhur dan meob (penjaga), sementara Tuhan berada di tengah. Karena Tuhan adalah kekuasan absolut segala apa yang ada di bumi ini.

Masyarakat Haumeni mempunyai tradisi sebelum mendapatkan Hau Monef yakni mengadakan ritual ke Oe Le’u (sumber air suci dari setiap suku). Motif dibalik ritual ini adalah meminta restu kepada para leluhur yang diwakili oleh Kaun Le’u(ular suci) yang selama berabad – abad berdiam di sumber air suci tersebut. Tradisi ritual ke air suci (Oe Le’u) serupa dengan pandangan filsuf Baruch De Spinoza yang memandang satu substansi kehidupan yakni substansi yang satu dan sama yaitu Allah atau Alam.

Berdasarkan latar belakang yang di atas, penulis mencoba untuk mengkolaborasikan Filosofi Pembuatan Rumah Adat Masyarakat Haumeni, dengan sila pertama Pancasila,”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai bukti adanya Tuhan dalam setiap rumah adat masyarakat Haumeni. Karena aspek ini merupakan cikal bakal kepercayaan Tuhan bagi masyarakat Haumeni. Masyarakat Haumeni menyebut Tuhan dengan sebutan Usi Neno (Tuhan).

Rumusan Masalah

a)      Bagaimana sejarah pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni?

b)      Apa kaitan sejarah tersebut dengan sila pertama Pancasila?

c)      Masih relevankah kehidupan masyarakat Haumeni dengan sejarah tersebut?

Tujuan Penulisan

a)      Memperkenalkan sejarah rumah adat masyarakat Haumeni kepada masyarakat umum.

Manfaat Penulisan

Melestarikan kembali sejarah rumah adat masyarakat Haumeni

Sistematika Penulisan

Metodologi studi kebudayaan

Metode pustaka



BAB II

Letak Geografis Haumeni

Etimologis

Secara etimologis kata haumeni berasal dari bahasa dawan “haumene” yang berarti: kayu cendana. Berdasarkan tradisi lisan yang dialami oleh penulis selama 19 tahun, menurut cerita para leluhur bahwa pada zaman dahulu tanah haumeni ditumbuhi oleh pohon cendana (haumene). Kondisi inilah yang menyebabkan ekspansi antarsuku dalam mendapatkankekuasaan absolut tanah haumeni.

Berdasarkan motif utama yang di atas, para kepala suku beserta anggotanya, bekerja sama dalam menaklukan suku – suku yang lainnya. Di mana cara penguasaan yang paling mudah adalah melalui perang. Heraklitos mengatakan bahwa perang (polemos) merupakan bapak dari segala sesuatu. Perang memiliki dua kekuatan, di satu pihak ia menceraikan, tetapi di lain pihak ia menyatukan.[2]Kondisi kehidupan inilah yang dialami oleh masyarakat haumeni. Di mana selama masa perang, masyarakat haumeni terceraiberai dan saling bermusuhan. Permusuhan ini memakan waktu yang sangat panjang. Dan menghancurleburkan tatanan kehidupan manusia.

Waktu pun terus berjalan, para kepala suku mulai menyadari akan situasi yang sedang mereka hadapi. Berangkat dari kesadaran inilah yang terus mendorong mereka dalam usaha untuk menyatukan kembali masyarakat yang terceraiberai. Penyatuan akan ide dari setiap kepala suku untuk bersatu telah membawa angin segar bagi kehidupan masyarakat haumeni. Karena sudah berpuluh – puluh tahun yang lalu, mereka hidup dalam ketakutan. Ketakutan yang membuat mereka sulit untuk berkembang. Dalam waktu yang sangat singkat seluruh seantero Haumeni bersatu dalam proses membangun tatanan kehidupan sosial yang menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan.

Singkat kata, masyarakat Haumeni dari waktu ke waktu terus berjuang dalam mempertahankan mutiara yang sangat berharga yakni kayu cendana (haumene). Peristiwa atau kondisi ini terus mempengaruhi tatanan kehidupan bersama kearah yang lebih baik dan bermartabat. Karena manusia pada dasarnya adalah sama. Persamaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lainnya.

Berdasarkan uraian singkat di atas, masyarakat haumeni hidup berdasarkan suku. Suku – suku yang mendiami tanah haumeni adalah Lake, Suni, Sasi, Nule, Abi, Kefi, Falo, Oki dan beberapa suku pendatang. Setiap suku mempunyai rumah adatnya tersendiri, walaupun memiliki substansi yang sama. Persamaan yang paling dominan dari rumah adat setiap suku adalah penghormatan kepada para leluhur dan juga benda – benda yang dianggap suci dari setiap suku. Oleh karena itu, penulis mengutip tulisan Piet Manehat SVD, tentang “Pandangan Orang Timor Terhadap Alam Sekitar,” yang mengatakan bahwa[3]

Dunia adat masyarakat haumeni sangat menghormati kebebasan setiap suku dalam menjalankan tradisi kepercayaan para leluhurnya. Salah satu hal yang sangat menonjol dalam hal ini adalah penghormatan kepada Oe Le’u (sumber air suci) dan Kaun Le’u (ular suci) dari setiap suku. Selain itu juga masyarakat haumeni sangat menghormati peninggalan – peninggalan para leluhur berupa keris, gelang, buku – buku peninggalan zaman Portugis, senjata dll. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pastor Yan Oba SVD, “Sampai sekarang di rumah adat Haumeni masih tersimpan senjata meriam peninggalan Portugis abad – abad silam dan kelewang serta barang – barang keramat lainnya yang disimpan atau digantung pada tiang agung rumah adat.”

Tempus mutantur nos mutamur in illid, waktu berubah dan kita (ikut) berubah juga di dalamnya. Pepatah latin ini mau menggambarkan situasi kehidupan masyarakat haumeni dalam mempertahankan benda – benda peninggalan para leluhur. Mengapa? Karena waktu yang sudah berlalu juga ikut menyadarkan masyarakat haumeni untuk selalu menyadari akan eksistensinya sebagai manusia yang berbudaya. Budaya yang memberikan waktu dan ruang bagi setiap masyarakat haumeni dalam menumbuhkembangkan kecintaan mereka terhadap tradisi para leluhur. Karena lewat tradisi inilah karakter masyarakat haumeni dibentuk untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Karena manusia yang berbudi adalah manusia yang tahu akan kebudayaannya sendiri. Juga budaya orang lain, di bawah semangat pancasila Bhineka Tunggal Ika.

Letak Geografis Haumeni

Haumeni adalah salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara – NTT.[4] Haumeni berbatasan langsung dengan Timor Leste bagian Oekusi. Secara umum permukiman haumeni berada di bawah lereng perbukitan. Kondisi inilah yang menyebabkan iklim yang kurang bersahabat dengan masyarakat haumeni. Di mana pada musim kemarau, masyarakat haumeni kekurangan air. Kondisi inilah yang memaksa masyarakat haumeni untuk keluar dari zona aman dalam mendapatkan persediaan air bersih. Salah satu cara untuk mendapatkan air bersih adalah melalui jasa para tukang ojek ataupun berusaha sendiri untuk mengambil air di dua sumber mata air yang tidak pernah kering sepanjang tahun yang letaknya cukup jauh dari permukiman masyarakat.

Namun dibalik kondisi kehidupan yang di atas, masyarakat haumeni juga merasa bahagia. Karena walaupun iklimnya kurang mendukung, tetapi perkampungan ini pada zaman dahulu juga merupakan salah satu tempat persinggahan bangsa Belanda (Oeapot : ledakan sumber mata air)[5] Di mana persinggahan inilah yang sempat mau menjadikan haumeni sebagai pusat kota Kefamenanu. Karena di tempat inilah kayu cendana bertumbuhkembang. 

Daya tarik inilah yang mendorong bangsa Belanda dalam melakukan ekspansi ke haumeni. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, bangsa Belanda melihat kondisi iklim serta keadaan sekitar kurang mendukung dalam membangun pusat pemerintahan. Karena haumeni berada di atas ketinggian. Sulit untuk membangun sebuah kota. Akhirnya bangsa Belanda beralih dari haumeni lalu singgah di beberapa tempat, tetapi tidak membawa hasil yang baik, sehingga pada akhirnya sampailah bangsa Belanda di Kefamenanu lalu mendirikan pusat kota di situ hingga hari ini.

 Sebagai kenangan akan salah satu desa yang pernah disinggahi oleh bangsa Belanda, maka pemerintahan setempat berinisiatif untuk mendirikan sebuah tugu pada tahun 2014 silam, sebagai bukti bahwa haumeni telah turut andil dalam sejarah peradaban dunia. Teristimewa bagi Kabupaten Timor Tengah Utara. Di lain pihak pemerintah setempat mengadakan napak tilas setiap tahun dalam memperingati kota Kefamenanu. Napak tilas dimulai dari Noetoko, Nilulat, Buk, Haumeni, Faotsuba, Fatusene, Nunpene, Gua Aplasi sampai Oemanu, tempat di mana pusat pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Utara berada.

Perhubungan dan Kependudukan

Wilayah Haumeni dihubungkan oleh satu jalan utama ke pusat kota. Jalan utama di daerah ini adalah Jalan Trans Timor yang menghubungkan kota Kefamenanu dengan Timor Leste beserta desa – desa yang berada di dalamnya. Berdasarkan wawancara lewat via telepon antara penulis dengan Sekretaris desa Haumeni, seluruh penduduk masyarakat Haumeni berjumlah 187 KK, dengan perincian Laki – laki berjumlah 416 jiwa dan Perempuan berjumlah 401 jiwa.[6]

Bahasa dan Agama

Berdasarkan pengalaman penulis, bahasa yang digunakan dalam kehidupan setiap hari masyarakat Haumeni adalah bahasa dawan dan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia biasanya digunakan pada kesempatan – kesempatan formal. Hal ini mengindikasikan bahwa tradisi kebudayaan masyarakat Haumeni masih menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Meskipun perkembangan arus globalisasi yang sangat menantang di zaman sekarang, tetapi masyarakat Haumeni masih berpegang teguh pada bahasa para leluhur. Sementara agama Katolik merupakan kepercayaan masyarakat Haumeni 100%. Dalam tradisi kepercayaan Katolik inilah yang berhasil mengkolaborasikan kepercayaan – kepercayaan setempat ke dalam tradisi Katolik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan globalisasi telah membawa generasi muda Haumeni untuk semakin menjauhi kehidupan beragama. Agama dijadikan sebagai formalitas saja. Salah satu bukti kuat yang mendukung argumen penulis di atas adalah melalui pengamatan di dalam setiap perayaan keagamaan. 

Meskipun masyarakat Haumeni 100% Katolik, tetapi yang hadir dalam perayaan – perayaan keagamaan berkisar antara 40 – 50% saja. Sementara kalau penulis membandingkan perayaan – perayaan di luar keagamaan, jumlah tingkat keikutsertaan masyarakat Haumeni melonjak dua kali lipat daripada perayaan keagamaan. 

Inilah yang menjadi tantangan Gereja beserta penulis dalam mempertahankan kepercayaan Kristiani kepada para generasi muda Haumeni. Jangan sampai kepercayaan Kristiani semakin hari semakin ditinggalkan oleh generasi muda, karena pengaruh arus perkembangan teknologi yang semakin memberikan kebebasan waktudan ruang bagi setiap orang dalam mengekspresikan jati dirinya.

Berdasarkan problematika yang dialami oleh masyarakat Haumeni pada zaman sekarang, penulis mengutip apa yang disampaikan oleh Sigmund Freud yang mengatakan bahwa ada dua insting kehidupan dalam diri setiap pribadi yakni insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos).[7] Kedua insting kehidupan inilah yang terus mempengaruhi masyarakat Haumeni dalam menanggapi perkembangan zaman. 

Tanggapan dari masyarakat Haumeni berupa sisi positif dan negatif. Di mana sisi positif dapat membawa kemudahan dalam mengakses sesuatu, sementara sisi negatif mendorong masyarakat Haumeni ke arah yang sama sekali kurang mendukung iman kepercayaan mereka.


  

BAB III

FILOSOFI PEMBUATAN RUMAH ADAT MASYARAKAT HAUMENI

Langkah – Langkah Pembuatan Rumah Adat Masyarakat Haumeni

Berdasarkan tradisi lisan yang dialami sendiri oleh penulis dalam mengamati setiap proses pembuatan rumah adat di Haumeni, secara garis besar dapat disampaikan beberapa langkah pembuatan rumah adat di bawah ini:

3.1  Na’sine (undangan berupa pemberitahuan)

Masyarakat Haumeni sebelum mengadakan proses pembuatan rumah adat, terlebih dahulu kepala suku beserta para anggotanya memberitahukan kepada setiap orang yang dikenal untuk turut berpartisipasi dalam proses pembuatan rumah adat yang baru. Salah satu sarana yang digunakan oleh para anggota suku dalam mengundang orang lain adalah makan sirih pinang. 

Tradisi makan sirih pinang sudah tidak begitu lazim lagi dalam tatanan kehidupan masyarakat Timor, teristimewa masyarakat Haumeni. Karena melalui cara seperti inilah yang dapat mempererat antarpribadi manusia dalam berinteraksi.

 Perihal undangan ini hanya berlaku bagi Lian Mone (anak laki – laki dalam satu keluarga). Karena laki – laki merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, anak perempuan tidak mempunyai hak untuk mengundang orang lain. karena perempuan dianggap tidak mempunyai kekuasaan. 

Kalau pun perempuan mengundang orang lain, terlebih dahulu ia harus meminta restu kepada anak laki – laki, atau jika memungkinkan untuk mengundang orang lain, kecuali dalam satu keluarga tidak mempunyai anak laki – laki. Maka perempuan diperbolehkan untuk mengundang orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, secara resmi orang yang sudah mendapatkan undangan itu, memiliki hak untuk mengikuti proses pembuatan rumah adat, tanpa adanya penghakiman dari pihak lain. karena perihal ini mengindikasikan penghormatan kepada martabat orang lain, teristimewa bagi para kepala suku adat. Dititik inilah adanya kesadaran dari setiap orang untuk turut berpartisipasi dalam menyukseskan proses pembuatan rumah adat itu.

3.2  Na’buab Mnes nok tua (proses pengumpulan beras dan sopi)

Setelah mendapatkan undangan secara resmi dari pihak kepala suku, maka kini tibalah saatnya para undangan itu untuk mengumpulkan beras dan sopi sebagai penghormatan kepada orang yang sudah berkenan mengundang kita. 

Tentu ketika Anda yang membaca tulisan ini secara tidak langsung pasti bertanya mengapa harus mengumpulkan beras dan sopi? Apakah tidak ada cara lain untuk menghormati orang yang sudah mengundang kita? Tentu ada begitu banyak cara untuk menghormati orang yang sudah berkenan mengundang kita, tetapi tradisi pengumpulan beras dan sopi sudah dilakukan  sejak zaman dahulu oleh para leluhur.Jadi, tradisi inilah yang menjadi pintu masuk dalam penghormatan kepada orang lain dalam proses pembuatan rumah adat.

3.3  Lol Neu Oe Le’u (proses meminta restu kepada para leluhur di sumber air suci)

Setelah melalui langkah yang pertama, masyarakat Haumeni akan beranjak ke tahap yang selanjutnya, yakni mengadakan ritual ke Oe Le’u (sumber air suci) di mana sang ular tinggal. Ular suci ini melambangkan para leluhur. Salah satu elemen dasar sebagai penghormatan kepada ular suci sebagai nenek moyang suku Haumeni adalah dengan cara mengorbankan hewan. Hewan yang dikorbankan pun bukan sembarangan hewan. Tetapi yang biasanya dilakukan oleh tua – tua adat pada umumnya adalah mengorbankan sapi atau pun babi. Karena kedua hewan ini dianggap layak untuk menghormati sang ular suci yang berdiam dan menyejarah dalam sumber air suci tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara antara penulis dengan salah satu tua adat suku suni dari masyarakat Haumeni, yang beridentitas Lazarus Suni, beliau mengatakan bahwa langkah – langkah untuk mengadakan proses pengorbanan hewan adalah sebagai berikut:[8]

*      Usif Na’uab Nok Kaun Le’u (dialog internal antara kepala suku dengan ular suci)

Tujuan utama dari dialog internal ini adalah kepala suku meminta restu kepada para leluhur yang diwakili oleh ular suci. Ular suci yang telah menyejarah selama masa hidupnya di dalam sumber air suci tersebut. Secara eksplisit ular suci pun meladeni dialog dari kepala suku tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa, meskipun ia adalah seekor ular biasa, tetapi ia juga mempunyai insting untuk memahami simbol – simbol yang digunakan oleh manusia dalam berinteraksi dengannya, teristimewa dalam hal ini adalah dari kepala suku sendiri. Karena yang memahami bahasa dari ular suci dan sebaliknya adalah orang yang secara khusus dipilih oleh para leluhur, yakni dari kepala suku setiap rumah adat.

Dialog internal ini tidak dibatasi oleh waktu, tergantung dari kepala suku sejauh mana ia mampu membangun interaksi secara intim dengan ular suci. Ritual ini secara umum, bukan hanya diyakini oleh masyarakat Haumeni, tetapi juga diyakini oleh seluruh masyarakat Timor. Bagi Clemente Moreira, sekelompok kecil suku di Timor Timur mempercayai adanya roh di setiap benda – batu, gunung, sungai dan pohon.[9] Hal demikian pun juga berlaku bagi masyarakat Haumeni. 

Di mana kebudayaan masyarakat Haumeni memiliki kesamaan dengan masyarakat Timor Timur. Mengapa? Karena letak geografis kedua masyarakat ini adalah sama, yakni sama – sama mendiami tanah kering (Atoni Pah Meto). Akan tetapi, yang membedakan kedua masyarakat yang memiliki persamaan budaya ini adalah hidup bernegara dan berbangsa. 

Berdasarkar uraian singkat yang di atas, penulis mengutip apa yang disampaikan oleh seorang dosen STFT Widya Sasana Malang, Valentinus Saeng yang mengatakan bahwa, dalam politik tidak ada istilah musuh abadi dan kawan sejati; semuanya dapat berubah dalam sekejap seturut kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan pertimbangan politik – ideologi tertentu.[10] Walaupun kedua masyarakat ini pada masa silam telah memiliki perselisihan, tetapi dengan seiring perputaran waktu yang secara cepat, kedua masyarakat ini tetap memiliki hubungan yang sejati, teristimewa dalam urusan ritual ke sumber air suci, di mana para leluhur berdiam dan menyejarah di sana.

*      Lol Mu’it Te Neu Oe’le Matan (proses pengorbanan hewan di depan sumber air suci sang ular suci tinggal)

Tradisi ritual ke sumber air suci ini, sangatlah menarik bagi masyarakat Haumeni. Mengapa? Karena tradisi ini merupakan salah satu medium, di mana setiap orang turut merasakan aura – aura para leluhur yang semakin bersahabat, mencintai dan mendengarkan pesan – pesan kehidupan mereka. Teristimewa dalam hal ini adalah kerinduan terdalam dari setiap anggota suku yang akan melangsungkan proses pembuatan rumah adat. Simbol atau tanda kehadiran para leluhur adalah dengan bunyi gelombang air suci yang pergerakkannya sangat menggetarkan sumsum tulang belulang setiap orang.

Proses pengorbanan hewan kepada ular suci ini, biasanya dilakukan oleh kepala suku dan beberapa orang kepercayaannya. Hewan yang biasa dikorbankan adalah sapi atau pun babi yang memiliki keunikannya tersendiri. Keunikan itu ditandai dengan warna putih atau merah yang terdapat di dahi hewan tersebut. Tergantung dari permintaan para leluhur kepada kepala suku, sebelum menuju ke sumber air suci untuk mengadakan proses pengorbanan hewan.

 Berdasarkan persyaratan di atas, penulis mencoba untuk mengaitkan ritual masyarakat adat Haumeni dengan persembahan agama Kristen Katolik dalam tradisi Yahudi kepada Allah. Di mana dalam perjanjian lama, iman umat Israel pada zaman dahulu juga mengadakan pengorbanan anak domba lembu kepada Allah di Bait Suci. 

Tradisi ini secara kasat mata sangat berkaitan erat dengan tradisi kepercayaan masyarakat Haumeni. Karena sebagai ungkapan penghormatan kepada para leluhur, terlebih dahulu kepala suku harus mengetahui dengan jelas akan apa yang dibutuhkan oleh para leluhur yang diwakili oleh ular suci. Apakah yang dibutuhkan oleh ular suci itu, sapi atau babi yang memiliki warna putih dan merah di dahi atau tidak? Nah, demikianpun dengan persembahan umat Kristen Katolik dalam tradisi Yahudi pada zaman perjanjian lama. Di mana syarat utama dalam penghormatan kepada Allah adalah melalui pengorbanan anak domba lembu.

*      Usif Tae Lilo (kepala suku memastikan jawaban dari para leluhur dengan cara melihat hati dari hewan yang dikorbankan)

 Proses pencaharian ini dilakukan dengan penuh ketelitian. Mengapa? Karena jawaban dari para leluhur selalu mempunyai dua opsi. Kedua opsi tersebut, bisa jadi mengandung arti positif maupun negatif. Hal itu tergantung dari dialog internal dan juga persyaratan hewan yang diminta oleh para leluhur. Di mana, jika seandainya para leluhur merestui proses pembuatan rumah adat, maka akan ditandai dengan berdirinya salah satu saraf kecil dari hati hewan yang telah dikorbankan. Sementara itu, jika seandainya para leluhur tidak merestui proses pembuatan rumah adat, maka tiada satu pun saraf yang berdiri dari hati hewan yang telah dikorbankan itu. Kedua opsi inilah yang menjadi barometer proses pembuatan rumah adat. 

Di mana salah satu dari kedua jawaban itu, jika berkonotasi positif, maka kepala suku berhak menyampaikan persetujuan para leluhur dalam proses pembuatan rumah adat, tetapi jika jawaban berkonotasi negatif, maka kepala suku pun berhak menyampaikan keberatan para leluhur kepada semua anggota sukunya. Dengan catatan bahwa, harus duduk berunding lagi untuk mencari tahu penyebab dari keberatan para leluhur dalam proses pembuatan rumah adat. Karena kalau seandainya hal demikian tidak dilaksanakan akan memberikan stigma yang kurang sehat selama prose pembuatan rumah adat berlangsung. Entah itu nanti ada kematian dari anggota keluarga kepala suku, maupun dari kepala suku sendiri.

*      Usif Naha’o Kaun Le’u (kepala suku memberikan makanan kepada ular suci)

Prose ini dilakukan dengan memberikan hati dari hewan yang telah dikorbankan kepada ular suci. Salah satu tempat yang biasa digunakan dalam meletakkan hati tersebut adalah tempat yang sudah disucikan secara turun temurun. Masyarakat Haumeni menyebutnya “takaf.” Takaf ini juga merupakan alat yang selalu dibawakan ke mana pun kepala suku melakukan ritual adat.

Setelah menunggu ular suci makan, maka orang – orang kepercayaan dari kepala suku disibukkan dengan pembagian daging kepada setiap orang yang hadir dalam acara tersebut, untuk dimakan sesudah ular suci makan. Daging yang dimakan pun hanya sebagian saja. Dan selebihnya dibawa pulang ke rumah untuk diolah lalu dimakan bersama sebagai ungkapan syukur karena para leluhur yang telah merestui proses pembuatan rumah adat.

Dukungan para leluhur ini telah membawa angin segar bagi segenap anggota suku yang bersangkutan, sekaligus menjadi kegembiraan tersendiri bagi masyarakat Haumeni. Masyarakat Haumeni menyakini proses ini sebagai sebuah rahmat kehidupan yang perlu dilestarikan secara turun temurun. Mengapa? Karena masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang sejauh mana mampu untuk menghayati tradisi kehidupan asal muasalnya.

3.4  Na’buab hun nok tak pani (proses pengumpulan alang – alang dan rangka/latah)

Setelah mendapatkan restu dari para leluhur, kini tibalah saat yang tepat bagi setiap orang yang telah diundang secara khusus untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan rumah adat tersebut. Salah satu medium yang harus dibawa oleh orang – orang tersebut adalah mengumpulkan alang – alang dan latah. Kedua unsur yang di atas sangatlah penting dalam proses pembuatan rumah adat. 

Di mana masyarakat Haumeni cara pembuatan rumah adatnya adalah harus menggunakan alang – alang (hun). Oleh karena itu, alang – alang (hun) merupakan unsur yang sangat vital dalam pembuatan rumah adat. Namun, dititik inilah orang – orang akan mempertanyakan keberadaan alang –alang dalam pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni, apakah masih relevan atau sudah tidak lagi? Tentu tidak bisa dipungkiri lagi bahwa, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa pergeseran bagi tradisi pembuatan rumah adat dengan alang – alang. 

Masyarakat Haumeni lebih cenderung menggunakan seng daripada alang – alang. Karena seng dianggap lebih praktis dan mudah dalam proses pembuatan rumah adat. Dalam kondisi ini, penulis mengutip apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx tentang dunia kapitalisme yang telah mengalienasi masyarakat dengan alamnya.[11] Alienasi dunia teknologi telah membawa dampak negatif bagi tradisi pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni. 

Di mana masyarakat dihipnotis untuk tampil beda dari dirinya sendiri. Salah satu contoh yang nyata adalah masyarakat Haumeni sudah tidak lagi menggunakan alang – alang untuk pembuatan rumah adat, melainkan mereka lebih memilih untuk menggunakan seng. Tentu hal demikianlah tidak mengindikasikan bahwa masyarakat Haumeni 100% sudah tidak menggunakan lagi alang – alang sebagai unsur yang vital dalam pembuatan rumah adat, melainkan hal demikian merupakan keprihatian generasi muda Haumeni yang sangat mencintai tradisi kepercayaan leluhur. Apalagi realitas yang kerap dihadirkan oleh dunia kapitalis telah memporak – porandakan tatanan kehidupan masyarakat Haumeni, terutama penggunaan seng dalam pembuatan rumah adat.

Masyarakat Haumeni pada waktu pengumpulan bahan – bahan yang di atas, sangatlah gembira. Mengapa? Karena selain sebagai ungkapan partisipasi dari setiap orang yang telah mendapatkan undangan, mata mereka juga akan dimanjakan dengan minum sopi. Tradisi minum sopi dan makan sirih pinang adalah dua elemen dasar dalam tradisi masyarakat Timor, khususnya masyarakat Haumeni dalam mempererat tali persaudaraan. Persaudaraan bukan hanya terjadi antarkeluarga inti saja, melainkan tradisi minum sopi dan makan sirih pinanglah yang menambahkan keindahan relasi bagi masyarakat Haumeni.

3.5  Na’em Ni Monef (pencarian tiang induk luar dan dalam)

Waktu pun terus berjalan, setelah melewati proses atau dinamika yang di atas, kini tibalah saat yang tepat bagi masyarakat Haumeni untuk mencari  Ni Monef (kayu yang mempunyai tiga cabang). Ketiga cabang ini merupakan pengakuan tertinggi dalam tradisi pembuatan rumah adat masyarakat Timor, khususnya masyarakat Haumeni. Mengapa? Karena salah satu unsur dari ketiga cabang tersebut adalah adanya Tuhan yang menepati ruang tersebut. Ruang yang selalu memberikan harapan bagi masyarakat Haumeni dalam menjalankan tatanan kehidupannya. Ruang yang ditempati Tuhan (Usi Neno) adalah letaknya berada di tengah – tengah ketiga cabang tersebut. Sementara di sisi kiri dan kanan masing – masing ditempati oleh para leluhur (bee nai) dan Meob (panglima/penjaga suku).

Ketiga cabang ini kalau dilihat dari sudut antropologis adalah melambangkan persatuan masyarakat Haumeni dalam tatanan kehidupannya. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk yang berakal budi. Akal budi manusia berpotensi untuk menciptakan hal – hal yang baik. Di mana masyarakat Haumeni telah menampilkan pesan tersembunyi dibalik ketiga cabang tersebut, yakni ajaran untuk selalu hidup berdampingan dengan setiap orang dalam kehidupan setiap hari. Secara eksplisit, ketiga cabang tersebut telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Haumeni. Salah satu contoh yang nyata adalah masyarakat Haumeni, sejak zaman dahulu sebelum mengenal dunia pendidikan, terlebih dahulu sudah mengenal ilmu pengetahuan, terutama dalam hal menghidupi apa yang dikenal dengan kebaikan. Tentu hal demikian, diadopsi dari kepercayaan tradisi para leluhur mengenai makna ketiga cabang kayu tersebut, yang selalu menjadi satu kesatuan yang tidak dipisahkan oleh apa pun. Sebagaimana Bhineka Tunggal Ika, dapat mempersatukan masyarakat Indonesia dari sabang sampai dengan merauke.

Seiring dengan perputaran waktu yang sangat cepat, perihal untuk mendapatkan ketiga cabang kayu tersebut, tidaklah semudah dengan apa yang sedang kita bayangkan tentang kelezatan makanan terbaru dari dunia kapitalis yang siap untuk disaji. Melainkan cara atau proses untuk mendapatkan ketiga cabang kayu tersebut adalah sangat sulit. Kesulitan terbesar yang kerap dialami oleh masyarakat Haumeni dalam mendapatkan kayu tersebut adalah harus dilalui dengan kerja keras. Sebagaimana Archiles yang dikenal sebagai seorang pelari ulung di tanah Yunani, tetapi tidak mampu melewati kura – kura yang berlari mendahuluinya. Hal demikian pun berlaku bagi masyarakat Haumeni dalam mendapatkan ketiga cabang kayu tersebut. Di mana orang yang telah dipercayakan oleh para leluhur untuk mencari ketiga cabang kayu tersebut, akan membawa kita berlari masuk hutan keluar hutan, masuk kampung keluar kampung untuk mendapatkan ketiga cabang kayu tersebut. 

Keunikan dari tradisi ini adalah ‘Atoin Amaf’(orang yang dipilih oleh para leluhur), selama proses pencarian ketiga cabang kayu tersebut berlangsung, tidak akan pernah merasakan kelelahan dan sakit, meskipun ia harus berlari melewati duri, jurang dan hutan seluas bahkan beberapa kampung sekali pun. Sementara kita yang mengejar dari belakang capeknya bukan main. Karena atoin amaf selalu dibukakan jalan, dilindungi, didayai dan dimampukan oleh para leluhur, sebelum ia menemukan ketiga cabang kayu tersebut. Dalam konteks ini penulis melihat kemampuan atoin amaf dari sudut lain, yakni roh alam benar – benar nyata dalam kehidupan masyarakat Haumeni. Tergantung dari setiap pribadi dalam menghayati tradisinya masing – masing. Sebagaimana roh Tuhan yang selalu menguatkan kehidupan manusia.

Kesan yang didapatkan oleh penulis dari tua adat suku suni adalah bahwa selama proses pencarian ketiga cabang kayu itu berlangsung, atoin amaf merasakan bahwa segala sesuatu yang dilewatinya seperti dataran yang tak berhingga. Hingga pada suatu titik ia melihat ada tanda – tanda kehidupan di tengah – tengah dataran tersebut. Di situlah letak eksistensi ketiga cabang kayu tersebut. Selain itu, pada saat itupun keadaan sekitar berubah dengan seketika, seperti keindahan alam yang tak dapat dilukiskan hanya dengan mata saja. Saat itupun dunia sekitar seakan – akan dipenuhi dengan para malaikat suci. 

Malaikat yang memberikan kebahagian yang tak terlukiskan. Roh para leluhur pun terus bergembira ria dalam diri atoin amaf yang terus menari mengelilingi pohon tersebut, sambil teriakan kegembiraan dari setiap orang yang berada di sekitarnya. Hal ini telah memberikan kebahagian yang tidak berhingga bagi setiap orang yang hadir pada saat itu. Hingga pada suatu titik, di mana para leluhur masuk dan menyejarah bersama dengan pohon tersebut. Saat itupun atoin amaf perlahan – lahan mulai sadar akan dirinya. Karena roh para leluhur sudah menyatu dengan ketiga cabang kayu tersebut. Maka, proses penebangan pun berlangsung dengan penuh keceriaan oleh setiap orang yang berada di sekitar lingkungan tersebut.

Setelah ditebang, kayu tersebut dibawa ke rumah adat yang bersangkutan. Selama proses perarakan berlangsung, ada begitu banyak cerita yang dibagikan oleh atoin amaf kepada setiap orang yang hadir pada saat itu. Cerita – cerita yang dibagikan oleh atoin amaf penuh dengan misteri kosmologi. Misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal budi manusia. Pada waktu mendekati kampung di mana proses pembuatan rumah adat berlangsung, dengan seketika terdengar alunan musik tradisional masyarakat Haumeni dikumandangkan. Tarian tradisional pun dibawakan dengan penuh kecerian oleh ibu – ibu, bapak – bapak, muda – mudi dan siapa saja yang berpartisipasi dalam proses pembuatan rumah adat berlangsung. Karena para leluhur akan segera diabadikan dalam proses pembuatan rumah adat tersebut, teristimewa dalam diri ketiga cabang kayu itu. Karena di situ pun para leluhur akan dipersatukan dengan kekuasaan tertinggi alam semesta raya ini.

Selama proses pembuatan rumah adat berlangsung, para tukang akan membuat ukiran yang bermotif buaya dalam setiap dinding rumah adat itu. Hal ini membuat mata dimanjakan dengan kehadiran motif buaya dalam setiap tiang penyangga bangunan rumah adat tersebut. Mengapa? Karena hal ini mau menandakan bahwa leluhur masyarakat Timor berasal dari buaya. Bahkan ketiga cabang kayu tersebut pun bermotif buaya. Kecuali yang berada di tengah. Karena itu merupakan kekuasaan absolut dari semesta alam raya ini. Orang Haumeni menyebutnya Usi Neno (Tuhan).

Usi Neno (Tuhan) merupakan pengakuan tertinggi masyarakat dawan. Masyarakat dawan Haumeni mengenal satu kekuasaan tertinggi di dalam ketiga cabang kayu tersebut, jauh sebelum kedatangan bangsa – bangsa Eropa dalam proses penyebaran agama Kristiani di tanah Haumeni. Kekuasaan tertinggi itu terletak di tengah – tengah ketiga cabang kayu dalam setiap rumah adat orang dawan. Berkat penyebaran agama Kristiani di tanah Timor (Haumeni), di situlah masyarakat dawan mulai menyadari bahwa ternyata yang selama ini mereka sembah dalam rumah adat adalah Tuhan.

Penulis memandang ketiga cabang dalam setiap rumah adat masyarakat Haumeni dari sudut pandang iman Kristiani merupakan Allah Tritunggal Yang Maha Kudus. Di mana ketiga cabang tersebut melambangkan Trinitas ke-Allah-an. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, di dalam setiap rumah adat masyarakat Haumeni, Tuhan sudah berdiam dan menyejarah dalam diri setiap suku masyarakat Haumeni. Karena masyarakat Haumeni mengenal Tuhan, jauh melampaui batas ruang dan waktu. Karena di mana terdapat rumah adat masyarakat Haumeni, di situ pun Tuhan berkarya. Berkarya dengan cara mempersatukan segala ide, gagasan, niat serta tujuan – tujuan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana Bhineka Tunggal Ika dapat mempersatukan segala keberanekaragaman nusantara. Inilah kaitan antara sila pertama pancasila dalam kehidupan masyarakat adat Haumeni. Masyarakat yang sangat plural dengan banyak suku, tetapi dipersatukan dalam satu tradisi kepercayaan.

3.6  An’tef Ume Leu (proses pengatapan rumah adat)

Suasana kegembiraan masyarakat Haumeni pun berlangsung selama proses pengatapan rumah adat. Di mana situasi ini sangatlah menarik bagi laki – laki, karena di sinilah setiap orang akan menampilkan skillnya. Di mana siapa saja yang berhasil mendahului orang lain selama proses pengatapan berlangsung untuk menuju ke puncak rumah adat itu, maka dialah yang merasa diri paling kuat. Sarana pengatapan yang digunakan adalah alang – alang. Karena alang – alang merupakan ciri khas rumah adat masyarakat Haumeni. 

Selama prose pengatapan berlangsung, suasana sekitar diperindah dengan suara gong dan gendang yang dimainkan oleh ibu – ibu beserta tarian yang dibawakan oleh orang yang pandai menari. Semakin mereka minum sopi dalam jumlah yang banyak, semakin besar pula mereka akan menampilkan yang terbaik.  Sebagai generasi yang lahir dan dibesarkan dengan tradisi tersebut, penulis sebenarnya mau mengkritik budaya minum sopi. Mengapa? Karena selain membawa manfaat bagi kebersamaan masyarakat Haumeni, di lain pihak juga memberikan dampak negatif antarindividu. Di mana sopi juga membawa jurang antarindividu yang sudah tidak bisa mengontrol diri lagi. Tetapi inilah tradisi para leluhur, mau tidak mau setiap orang harus menghidupi tradisi tersebut.


Singkat kata, para lelaki terus berjuang untuk mencapai titik akhir dari proses pembuatan rumah adat itu. Selama proses pengatapan berlangsung, setiap anggota keluarga dari suku yang bersangkutan wajib mengikuti acara tersebut. Karena acara ini sangat penting bagi masyarakat Haumeni. Karena di samping pengatapan rumah, di situ pun semua anggota keluarga yang sudah sekian puluh tahun dalam ranah pencarian kehidupan yang lebih baik di luar pulau akan datang untuk memeriahkan acara tersebut. Selain itu juga terjadinya pengenalan yang lebih mendalam antarkeluarga yang sudah lama berpisah. Bahkan ada pasangan muda mudi banyak yang mendapatkan pasangan hidup dalam acara tersebut.


Setelah pengatapan rumah adat, salah satu tradisi yang biasa dilakukan oleh tua adat adalah memasang simbol ayam jantan di puncak rumah adat itu. Hal ini menandakan bahwa ayam jantanlah yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Haumeni. Di mana ayam jantanlah yang pertama kali membangunkan masyarakat pada pagi hari. Simbol kekuatan dan penjaga masyarakat Haumeni. Setelah itu, dilanjutkan dengan makan bersama sebagai ungkapan syukur yang tiada berhingga karena telah melewati proses yang sangat panjang dalam proses pembuatan rumah adat berlangsung. Di sinilah letak kesepakatan para tua adat untuk menentukan waktu yang tepat dalam mengadakan upacara syukur kepada para leluhur sebagai ungkapan terima kasih, karena telah menjaga dan melindungi proses pembuatan rumah adat berlangsung. Jadi, sesuatu yang dibuka dengan baik, harus ditutup pula dengan baik. Inilah filosofi masyarakat Haumeni.

3.7  Onen nok Lol Mu’it (puncak perayaan syukur dan pengorbanan hewan secara besar – besaran)

Sebagai ungkapan syukur kepada para leluhur karena telah merestui proses pembuatan rumah adat, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk menutup kembali lembaran kisah kosmologis pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni. Salah satu cara yang tepat adalah melakukan perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi akan berlangsung dengan sangat meriah. Kemeriahan ini pun tidak hanya berhenti di sini, melainkan akan terus berlanjut kepada proses pengorbanan hewan yang dilakukan secara besar – besar. Situasi dan kondisi ini telah menandakan bahwa rumah adat masyarakat Haumeni memiliki peranan yang amat vital dalam dinamika kehidupan harian masyarakat Haumeni. Di mana kondisi ini telah mendorong masyaraka Haumeni, terutama anggota suku yang bersangkutan untuk memberikan yang terbaik bagi undangannya.


Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan. Di mana setiap anggota suku menyadari bahwa partisipasi positif dari setiap tamu undangannya, harus diperlakukan dengan baik. Berangkat dari kondisi kehidupan inilah yang mendorong setiap anggota suku dalam melakukan pengorbanan hewan secara besar – besaran. Kegiatan ini juga sebagai tanda ungkapan terima kasih kepada para leluhur yang telah memberikan yang terbaik selama proses pembuatan rumah adat berlangsung. Sekaligus sebagai penutup dari rangkaian acara pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni.

Relevansi masyarakat adat Haumeni saat ini adalah sebagai berikut:

ü  Mitos kekuasaan absolut dalam ketiga cabang kayu tersebut masih diyakini oleh seluruh masyarakat Haumeni hingga saat ini.

ü  Kebersamaan dalam tradisi pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni sangat kuat.

ü  Pengakuan akan sumber air suci dan ular suci masih berlaku hingga sekarang.

ü  Penghargaan akan martabat manusia sangat tinggi dalam kehidupan harian.


BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Eksistensi budaya masyarakat Haumeni telah membawa warna tersendiri bagi peradaban dunia. Dunia yang semakin serba modern ini tidaklah terlepas dengan budaya. Budaya adalah jati diri setiap orang. Lewat budaya masyarakat tahu dan sadar akan keberadaannya di dunia ini. Dalam hal ini adalah masyarakat Haumeni. Di mana masyarakat Haumeni telah menciptakan sebuah pengetahuan dari para leluhur kepada generasi muda Haumeni. Terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan penghargaan tertinggi masyarakat Haumeni kepada rumah adat. Rumah adat melambangkan jati diri masyarakat Haumeni.

Nilai filosofi rumah adat masyarakat Haumeni telah mengajarkan kebajikan – kebajikan yang harus dijalankan dan dihidupi oleh setiap orang yang berdomisili di Haumeni. Terutama dalam menjalin komunikasi dalam kehidupan setiap hari bersama dengan orang lain. Komunikasi yang dibangun oleh masyarakat Haumeni pun harus berlandaskan kepada nilai – nilai pancasila. Sebagaimana nilai pancasila yang dikupas dalam tulisan ini.

Eksistensi nilai pancasila dalam ketiga cabang kayu tersebut adalah berada di tengah – tengah kayu tersebut. Karena di situpun Tuhan sudah menyejarah bersama dengan masyarakat Haumeni. Selain itu, masyarakat Haumeni juga melihat unsur kosmologis dibalik ketiga cabang kayu tersebut. Di mana ketiga unsur itu, secara eksplisit mengajarkan rasa persatuan dan kesatuan kepada masyarakat Haumeni dalam membangun interaksi dengan budaya lain. Sebagimana persatuan dari ketiga cabang kayu itu yang tidak dapat dipisahkan oleh apapun. Demikian pun masyarakat Haumeni harus menjadi satu dalam keberanekaragaman dalam membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Karena kemajuan suatu bangsa terletak dalam diri pribadi – pribadi yang mampu mengaktulisasikan nilai kearifan local dalam hidup bersama budaya lain.

Saran

Berdasarkan filosofi pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni yang telah dipaparkan di atas, penulis berharap dapat memberikan konsep baru kepada setiap orang yang akan membaca tulisan ini. Di mana konsep baru ini dapat memperkaya wawasan para pembaca sekalian, akan betapa kayanya kebudayaan Indonesia. Kekayaan – kekayaan ini pun harus digali oleh setiap orang yang berdomisili di dalam bangsa Indonesia. Entah itu dari budaya sendiri, maupun dari budaya orang lain. Salah satu sarana yang tepat untuk menggali kebudayaan itu adalah menghidupi semangat Bhineka Tunggal Ika dalam diri setiap orang, terutama bagi generasi millennial ini. Karena generasi millennial sekarang dengan mudah terhipnotis dengan budaya luar melalui iklan dalam media massa. Dunia yang dapat menghancurleburkan martabat manusia dalam mempertahankan nilai – nilai kearifan lokal bangsa dan Negara Indonesia.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena penulis bukanlah ahli sejarah yang bisa menjelaskan dengan jelas. Sehingga penulis menantikan kritik dan masukan yang membangun dari para pembaca demi perbaikan tulisan ini ke depannya. Semoga sila pertama yang dibahas dalam filosofi pembuatan rumah adat masyarakat Haumeni dapat mempererat relasi kita dengan Tuhan, sesama maupun alam. Semboyang 100% Katolik dan 100% Indonesia akan selalu hidup dan menyejarah dalam setiap urat nadi masyarakat Haumeni dalam membangun bangsa Indonesia. Pancasila dan budaya Haumeni adalah harga mati!.

Daftar Pustaka

Riyanto Armada dkk. Kearifan Lokal~ Pancasila Butir – Butir Filsafat Keindonesiaan. Kanisius: Yogyakarta, 2015.

Pandor Pius. Seni Merawat Jiwa Tinjauan Filosofis. Obor: Jakarta, 2014.

Neonbasu Gregor. Kebudayaan Sebuah Agenda Dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya. Kompas Gramedia: Jakarta, 2013.

Wikipedia

https://slidedokumen.com

Via Telepon antara Penulis dan Sekertaris Desa Haumeni, 25 November 2017.

Saeng Valentinus. Herbert Marcuse Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Kompas Gramedia: Jakarta, 2012.

Wawancara dengan Tua adat suku suni, yang beridentitas Lazarus Suni.

Kroeger H James, Eugene F. Thalman dan Jason K.DY. Once Upon A Time In Asia. Kanisius: Yogyakarta, 2008.

Valentinus. Kritik Ideologi Menyibak Selubung  Ideologi  Kapitalis Dalam Imperium Iklan. Kanisius: Yogyakarta, 2011.

Boangmanalau Singkop Boas. Marx Postoievsky Nietzsche Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi. Ar-RuzzMedia: Yogyakarta, 2008.  








[1] Armada Riyanto, Kearifan Lokal ~ Pancasila Butir – Butir Filsafat Keindonesiaan (Yogyakarta: Kanisius, 2015), Hlm. 26.

[2] Pius Pandor, Seni Merawat Jiwa Tinjauan Filosofis (Jakarta: Obor, 2014), 149.

[3] Gregor Neonbasu, Kebudayaan Sebuah Agenda (Dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya) (Jakarta: Kompas Gramedia, 2013), 75.

[4] Wikipedia

[5] https://slidedokumen.com

[6] Via Telepon antara Penulis dan Sekertaris Desa Haumeni, 25 November 2017, Pukul 20.10 WIB.

[7] Valentinus Saeng, Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global (Jakarta: Kompas Gramedia, 2012), 149.

[8] Tua adat suku suni, yang beridentitas Lazarus Suni

[9] James H. Kroeger, Eugene F. Thalman dan Jason K.Dy

Once Upon a Time in Asia (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 137.

[10] Valentinus: Kritik Ideologi Menyibak Selubung Ideologi Kapitalis Dalam Imperium Iklan (Yogyakarta : Kanisius, 2011), 9.

[11] Singkop Boas Boangmanalau, Marx Postoivsky Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi (Yogyakarta: Ar-RuzzMedia, 2008),135.



Catatan: Artikel ilmiah ini merupakan artikel saya sendiri yang dipindahkan dari blog saya fredysuni.blogspot.com. Alasan pemindahan artikel dari blog yang sebelumnya karena di sini lebih profesional. 

Selain itu, saya berharap artikel ilmiah ini bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Entah untuk keperluan riset, pengerjaan makalah kuliah maupun kebutuhan apa pun. Karena kita hidup dari budaya dan akan kembali kepada budaya sendiri.

Salam Tafenpah
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Filosofi Pembuatan Rumah Adat Desa Haumeni"