Bisa Ngak Anak Desa Jadi Penulis?

 

Dokumen pribadi


Salah satu impian ribuan generasi desa adalah ingin membahagiakan orangtuanya. Termasuk aku.


Cara untuk membahagiakan orangtua kita itu pun sangat beragam. Tergantung dari kapasitas (kemampuan) diri kita. Ada yang merantau untuk mengubah mimpi orangtuanya jadi kenyataan. Ada yang menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya. Ada yang ikut testing ABRI, POLRI/POLWAN dan CPNS.


Tentu masih ada bentuk apresiasi yang kita bisa lakukan untuk membuat orangtua kita tetap tersenyum di usia renta mereka. Akan tetapi, terkadang apa yang kita rencanakan, belum tentu berjalan sesuai dengan seni kehidupan.


Seni Kehidupan

Hidup adalah pilihan bebas bagi setiap orang dengan konsekuensinya. Namun, hal terpenting yang kita tidak bisa menghindari dari kehidupan adalah dramatisasi.


Kehidupan adalah bagian dari rentetan dramatisasi seni. Tergantung kita mengikuti gaya, pola, model seni yang seperti apa. Itu tergantung kita. Yang terpenting tujuan kita bisa terealisasi.


Sesuai dengan judul tulisan di atas,”Apakah bisa seorang anak desa jadi penulis?”


Nah, sesuai dengan pengalaman saya, tentu saya akan menjawab sangat bisa. Berikut adalah beberapa alasan yang mendasarinya.


Potensi penulis itu bukan warisan dari gen orangtua

Setiap orang berpeluang menjadi penulis

Menulis itu bisa dilatih


1. Potensi Penulis Itu Bukan Warisan Dari Gen Orangtua

Orangtua saya adalah petani yang hanya tamatan sekolah dasar (SD). Akan tetapi, saya pun membuktikan diri bahwasannya untuk menjadi penulis, setiap orang punya peluang yang sama.


Gen dari orangtua itu memang selalu melekat dalam diri kita. Akan tetapi, segala sesuatu itu bisa diataur dan dilatih. Asalkan kita memiliki kemauan untuk terus memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang kian muda kita dapatkan di zaman digital.

Salah satu sarana yang tepat untuk menjadi penulis adalah perbanyak membaca buku. Apa yang kita baca itulah yang nantinya mengarahkan kita untuk mengejar impian kita.


Selama di Biara, saya selalu membaca karya novel dan buku-buku motivasi dari tokoh apa pun. Saya tak pernah memilih untuk hanya membaca buku yang berasal dari pemuka agama tertentu. Melainkan saya selalu berusaha untuk membuka selebar-lebarnya mindset (pikiran) saya untuk belajar dari tokoh apa pun.


Manfaat yang saya dapatkan adalah kemudahan untuk bisa menganggit/menulis topik dalam kondisi apa pun. Karena secara hukum semesta, alam bawah sadar saya sudah terstruktur dengan berbagai pandangan dari tokoh lintas agama dan profesi.



Alasan lain saya suka membaca novel adalah bahasanya muda dipahami dan menjadi sarana hiburan, di kala hati dan pikiranku disesaki oleh banyak persoalan hidup.



Selama hampir 6 tahun bahkan hingga kini, bacaan favorit saya masih di karya novel. Novel apa pun saya lahap sampai habis.


Dari sana saya mendapatkan pencerahan/inspirasi untuk menulis novel juga. Inilah yang di awal saya katakan bahwasannya apa yang kita baca, itulah jalan hidup kita.



Menulislah Tanpa Terbebani Dengan EYD


Umumnya penulis pemula masih terjebak dengan menulis harus sesuai EYD. Tentu ini tidak sama. Melainkan masalah klasik yang hampir dialami oleh setiap penulis. Saya pun dulu sebelum menulis novel pun terjebak di EYD. Akhirnya, ide yang berkeliaran di are kepala saya ikut hilang seriring berlalunya waktu.


Untuk itu, cukuplah kesalahan itu menjadi milik saya. Sementara bagi kamu harus lebih baik dari kami.



Jangan Malu Jadi Anak Desa


Kebanyakan orang berintelektual merasa sulit untuk menyebutkan asal daerahnya. Apalagi kampung halamannya. Gegara gengsi dengan rekannya. Matamu!


Ngapain malu dengan penulis kampung. Saya tak pernah merasa malu berasal dari kampung pedalaman pulau Timor. Karena dari sana saya keluar untuk mengejar impian saya di kota metropolitan.


Jangan sampai gelar akademik yang berada di belakang nama kamu menjadi pribadi yang melupakan akar kehidupan dari mana kamu berasal. Justru saya akan mengapresiasi mereka yang sudah sukses tapi masih ingat dan selalu berusaha untuk menonjolkan keaslian diri mereka.



Terakhir, entah dari mana pun latar belakang keluarga kita, kita semua memiliki peluang yang sama untuk meraih kesuksesan dalam bidang apa pun. Sejauh adanya niat untuk belajar dan tetap rendah hati meski sudha tinggi ilmunya.


Salam tafenpah



Frederikus Suni Redaksi Tafenpah
Frederikus Suni Redaksi Tafenpah Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Bisa Ngak Anak Desa Jadi Penulis?"