Tanah Ulayat Bikomi dan Ujian Serius Negara Hukum

Penulis : Yanuarius Kofi, Wakabid Politik GMNI Cabang Kefamenanu

Tanah Ulayat Bikomi dan Ujian Serius Negara Hukum. Yanuarius Kofi, Wakabid Politik GMNI Cabang Kefamenanu. TAFENPAH/TAFENPAH.COM


TAFENPAH.COM - Penguasaan tanah Ulayat masyarakat adat Bikomi oleh Pemerintah Daerah TTU untuk pembangunan Batalion TNI AD membuka kembali persoalan lama yang terus menghantui hubungan negara dengan masyarakat adat: ketidakmampuan birokrasi mengenali, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Padahal, konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional telah memberikan koridor yang sangat jelas.

Masyarakat adat Bikomi bukanlah entitas fiktif. Mereka adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang hingga kini masih hidup dan menjalankan sistem sosial-budaya secara konsisten, termasuk ritual adat penting seperti "Non Pah". 

Tanah bagi masyarakat Bikomi adalah ruang hidup yang mengandung identitas, hubungan spiritual, memori historis, dan kesinambungan antar-generasi. 

Karena itu, pengambilalihan tanah ulayat tanpa persetujuan adat bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi upaya menghapus jejak satu bangsa yang telah eksis jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.




Negara Hukum Tidak Boleh Berjalan di Atas Pelanggaran

Konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.

UU Pokok Agraria 1960 mengakui keberadaan hak ulayat

Putusan MK No. 35/2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara.

Bahkan standar internasional melalui UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) mengatur prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebelum negara menyentuh wilayah adat.

Artinya, kerangka hukum sebenarnya sudah sangat transparan, pembangunan apa pun tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat.

Namun dalam kasus Bikomi, prinsip-prinsip tersebut justru diabaikan. Pemerintah daerah berjalan tanpa konsultasi, tanpa dialog adat, dan tanpa prosedur hukum yang memadai. Bila dibiarkan, ini bukan hanya menjadi preseden buruk, tetapi juga ancaman bagi fondasi negara hukum.

TNI Harus Berdiri di Sisi Hukum, Bukan Administrasi Daerah




TNI AD adalah institusi yang dihormati di negeri ini. Namun pembangunan fasilitas pertahanan tidak boleh menjadikan institusi tersebut “terjebak” dalam pelanggaran hak masyarakat adat yang lahir dari kesalahan administratif pemerintah daerah. Keamanan negara tidak boleh dibangun di atas ketidakadilan. Karena itu, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat harus memastikan seluruh proses menghormati FPIC dan hukum adat yang berlaku.

Menghentikan sementara proses pembangunan bukan tindakan melemahkan pertahanan, tetapi justru langkah memperkuat legitimasi moral dan hukum TNI di mata rakyat.

Peran Presiden dan DPR dalam Menjaga Wibawa Negara

Sebagai kepala pemerintahan, Presiden Prabowo Subianto perlu memberikan pembinaan dan koreksi kepada kepala daerah yang tidak memahami batas-batas kewenangannya dalam berhubungan dengan tanah adat. Sementara DPR RI perlu menjalankan fungsi pengawasan secara tegas, karena pembiaran atas pelanggaran hak masyarakat adat akan memperlebar jarak antara negara dan rakyatnya.

Kasus Bikomi bukan persoalan daerah, ini adalah ujian bagi konsistensi negara dalam menjalankan konstitusi dan komitmen internasional.




Pembangunan Tidak Boleh Meminggirkan Peradaban

Pemerintah daerah kerap menafsirkan pembangunan sebagai proyek fisik semata. Padahal, pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat adat akan menghasilkan ketimpangan, resistensi sosial, dan delegitimasi pemerintah di akar rumput.

Masyarakat adat Bikomi telah menjaga wilayahnya selama ratusan tahun, jauh sebelum konsep administrasi modern hadir. Karena itu, pembangunan harus menghormati sistem kehidupan yang telah teruji oleh sejarah.

Negara Tidak Boleh Gagal Paham di Rumahnya Sendiri

Konflik tanah ulayat Bikomi memperlihatkan bahwa sebagian birokrasi masih gagal memahami esensi Indonesia sebagai negara bangsa, negara yang berdiri di atas beragam komunitas adat yang menjadi kekuatan peradabannya. Bila hak ulayat dikesampingkan, maka negara sedang mengikis akar sejarahnya sendiri.

Dalam negara hukum, pembangunan tidak boleh berjalan dengan mengorbankan keadilan. Pemerintah daerah TTU perlu segera membuka dialog formal dengan Usif Sanak dan para pemangku adat. TNI AD perlu memastikan seluruh proses sesuai prinsip FPIC. Dan pemerintah pusat harus menegakkan kembali kompas konstitusional yang mengatur penghormatan terhadap masyarakat adat.

Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju jika masih meminggirkan masyarakat adat yang menjadi salah satu fondasi keberadaannya.

Akhirnya, mengutip pesan abadi Bung Karno yakni JAS MERAH : Jangan sekali kali Meninggalkan sejarah.
TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam Literasi. Perkenalkan saya Frederikus Suni. Saya pernah bekerja sebagai Public Relation/PR sekaligus Copywriter di Universitas Dian Nusantara (Undira), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya juga pernah terlibat dalam proyek pendistribusian berita dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ke provinsi Nusa Tenggara Timur bersama salah satu Dosen dari Universitas Bina Nusantara/Binus dan Universitas Atma Jaya. Tulisan saya juga sering dipublikasikan ulang di Kompas.com. Saat ini berprofesi sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), selain sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah Luar Biasa Jakarta Barat. Untuk kerja sama bisa menghubungi saya melalui Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy || ������ ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Tanah Ulayat Bikomi dan Ujian Serius Negara Hukum"