Di Balik Tulisan Ada Perjuangan Hidup, Bagaimana Menggali Potensi hingga Mengolah Diri dalam Menghadapi Tekanan Sosial

Penulis : Frederikus Suni 

Di Balik Tulisan Ada Perjuangan Hidup, Bagaimana Menggali Potensi hingga Mengolah Diri dalam Menghadapi Tekanan Sosial. Sumber foto; Freepik/TAFENPAH.COM


TAFENPAH.COM - Pada saat tulisan ini sampai di hadapan pembaca, diriku sedang menangis. Karena diriku telah melewatkan usia 20an tahun tanpa mempersiapkan diri dengan baik!

Menyesal? Tentu saja! Karena aku terlena dengan berbagai kesenangan di usia 20an tahun.

Penyesalan terbesarku adalah ketika aku memutuskan untuk resign dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang (STFT) tahun 2019.

Dampak dari keputusan tergesa - gesa tersebut adalah aku mengalami diskriminasi di dunia kerja, lingkungan keluarga besar hingga kehidupan sosial.




Karena budaya kita (masyarakat Indonesia) memandang kegagalan seseorang itu sebagai 'aib atau ketidakpantasan' dalam menjalani kehidupan sehari - hari.

Apalagi aku yang berasal dari budaya Indonesia Timur, khususnya kabupaten Timor Tengah Utara, provinsi Nusa Tenggara Timur (daerah perbatasan Indonesia dan Timor Leste). Di mana, masyarakat akan memberikan stiga/cap buruk terhadap seseorang yang entah sengaja atau pun tidak mengalami kejatuhan/kegagalan.

Stigma sosial itu memiliki dampak atau semacam tekanan batin terhadap seseorang yang gagal dalam studi, usaha, pernikahan, dan lainnya.

Pertahanan diri sekuat apa pun, pada akhirnya hancur, lenyap, jebol, dan meninggalkan luka batin dalam jangka panjang.

Mereka yang keluar dari tekanan batin diri dan sosial merupakan pribadi yang hebat.

Akan tetapi, mereka yang tidak berhasil melewati fase terberat itu, sepanjang perjalanan hidup, mereka selalu dikejar dengan rasa bersalah, keputusasaan, depresi, stres serta tekanan sosial lainnya.

Akibatnya, mereka berjalan di tempat, alis tidak berkembang.

Dalam kondisi demikian, muncul pertanyaan sebagai berikut;

Apa yang harus aku lakukan? Kapan aku memiliki keberanian untuk menerima kegagalan tersebut? Mengapa kehidupan sosial seolah terus menekanku? Bagaimana yang seharusnya aku lakukan, agar keluar dari persoalan tersebut?


Ketika aku berhadapan dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di dalam isi pikiran, aku seolah sedang menyisir rambut, sembari menata setiap helai rambut agar tertata rapi dan terlihat indah dalam pandangan.

Memang, untuk menjawab pertanyaan - pertanyaan terbesar di atas, rasanya mudah kita ucapkan, tetapi sulit untuk kita jalani!

Itulah realita hidup yang sulit untuk kita hindari.

Filsuf Friedrich Nietzsche pernah mengatakan pada dasarnya setiap orang berusaha untuk menghindari rasa sakit, dan kita cenderung menerima segala sesuatu yang sangat menyenangkan.

Akan tetapi, dalam perjalanan hidup, kita tidak akan pernah menghindari rasa sakit.

Antara rasa sakit dan kesenangan selalu berjalan berdampingan. Sama halnya, ketika kita menerima stimulus atau rangsangan kebahagiaan, seluruh anggota tubuh kita menjadi sehat.

Sebaliknya, salah satu anggota tubuh kita tersakiti, maka anggota tubuh yang lainnya pun tersakiti.

Ini bukan pledoi (semacam pembelaan terhadap diri sendiri). Namun, ini tentang realita kehidupan yang mau tidak mau kita pun harus melewati semuanya.

Apa yang harus aku lakukan? 

Dalam konteks kegagalan diriku, terutama keputusanku untuk resign dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang tahun 2019, aku pun selalu bertanya, apa saja yang perlu diriku lakukan untuk bertahan hidup.

Tentunya banyak hal yang ingin aku lakukan. Namun, aku pun menyadari kapasitas atau keterbatasan diri.

Untuk itu, salah satu hal yang aku lakukan pada saat itu adalah terus menjalani kehidupan, meskipun tidak lah mudah!

Kapan aku memiliki keberanian untuk menerima kegagalan tersebut?

Perihal kapan dan dalam kondisi seperti apa aku harus berani menerima siklus kehidupan yang telah terjadi dalam kehidupanku, hingga saat ini, aku pun masih mencari.

Pencarian jati diri memiliki beragam konsekuensi.

Ketika aku terlibat dalam proses pencarian jati diri, ingatanku tertuju pada etika Nicomachean dari filsuf Plato dan Aristoteles yakni; pencarian tertinggi dan terakhir dari perjalanan hidup manusia adalah kebahagiaan.

Perihal kebahagiaan, siapa sih yang tidak membutuhkan kebahagiaan hidup?

Tentunya, setiap orang memiliki cita-cita mulia dalam hidupnya, terutama perihal kebahagiaan.

Kendati pun demikian, kebahagiaan yang aku cari setelah memutuskan untuk resign dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang adalah menemukan kembali senyuman termanis dalam hidupku.

Mengingat senyuman itu sudah lama hilang! Akibat kecerobohanku.

Pada satu momen, aku hanya duduk berdiam diri. Di situlah, aku menemukan jawaban dari keresahan yang selalu mengejar kehidupan harianku.

Jawaban dari keresahan hidup tersebut, tidak perlu aku paparkan atau beritahukan kepada pembaca.

Karena ini hanya bisa dirasakan dan dijalani, bukan sesuatu yang dengan segampangnya aku katakan.

Mungkin ini berkaitan dengan refleksi diri di balik ketidakberdayaan.

Karena di situ ada suara hati dari Sang Pengada.


Mengapa kehidupan sosial seolah terus menekanku?

Seperti yang aku katakan di bagian awal bahwasannya masyarakat Indonesia memandang kegagalan sebagai aib keluarga dan tidak pantas untuk dijalani.

Kendati begitu, sebagai pribadi yang rapuh, tak berdaya, aku terus mempertanyakan pandangan masyarakat Indonesia terhadap kegagalan.

Bagiku kegagalan adalah siklus hidup yang siapa saja akan mengalaminya.

Tak peduli status sosial, kedudukan, tingkat pendidikan, politik, ekonomi dll.

Karena persoalan tersebut, di satu sisi sangat mengecewakan dan memberikan luka batin yang amat mendalam.

Namun di lain pihak, ada sesuatu yang bersinar di balik peristiwa kegagalan tersebut.

Terutama dengan kegagalan aku dan juga dirimu berusaha untuk mempersiapkan masa muda dengan sebaik dan seproduktif mungkin.

Selain, kita pun belajar untuk menerima hal - hal yang tidak menyenangkan dalam perjalanan hidup kita.

Mungkin ini adalah masa di mana kita semakin bijak dalam menyikapi segala sesuatu.

Kebijakan lahir dari proses hidup yang panjang. Di mana, dalam proses tersebut m, ada hal buruk dan hal baik yang mengiringinya.

Bagaimana yang seharusnya aku lakukan, agar keluar dari persoalan tersebut?

Sebagai pribadi yang introvert (tidak percaya diri), pertama-tama aku patut memberikan apresiasi terhadap diriku. Karena meskipun terkadang aku tidak berdaya dalam menghadapi tekanan batin dan tekanan sosial, tetapi aku mampu melewatinya hingga saat ini.

Ini adalah satu kemenangan terbesar dalam sejarah hidupku.

Momentum tersebut, mengajarkan kepada diriku untuk menerima segala sesuatu yang terjadi dalam seluruh pencarian jati diriku.

Karena kalau bukan diriku yang menerima diri sendiri, siapa yang percaya padaku!

Penerimaan diri itu membuka sparkle -up (cahaya harapan) bagiku untuk menata, mengolah, memberdayai diriku dengan berbagai hal baik, yang pada akhirnya memberikan kelegaan kepadaku.

Untuk itu, aku berani membuka diri terhadap dunia.

Keterbukaan diri membawa dirimu untuk menemukan sesuatu yang berharga di balik pencarian jati diriku yakni menulis.

Memangnya kegiatan menulis dapat memberikan solusi bagiku untuk menerima serta keluar dari persoalan hidup harian?

Memang benar adanya. Karena dengan menulis, aku belajar untuk berbicara dengan diri sendiri.

Selain, aku berlatih kesabaran, konsisten, menata diri, membangun ekosistem persahabatan lintas budaya, generasi, profesi dll.

Kegiatan menulis juga membawa diriku pada pintu - pintu tak terduga dalam hidupku, seperti kemudahan dalam mengembangkan diri, menerima diri, mengapresiasi diri, belajar untuk menerima masa lalu, kegagalan serta berbagai hal, entah di dunia kampus, pekerjaan dan sebagainya.

Aku rasa tulisan ini meskipun sebatas sharing, akan tetapi di balik tulisanku ini, ada sesuatu yang mungkin saja memberikan inspirasi kepada pembaca. Bila ada secercah harapan, izinkanlah diriku untuk mengatakan TERIMA KASIH.



TAFENPAH.COM
TAFENPAH.COM Salam Literasi. Perkenalkan saya Frederikus Suni. Saya pernah bekerja sebagai Public Relation/PR sekaligus Copywriter di Universitas Dian Nusantara (Undira), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya juga pernah terlibat dalam proyek pendistribusian berita dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ke provinsi Nusa Tenggara Timur bersama salah satu Dosen dari Universitas Bina Nusantara/Binus dan Universitas Atma Jaya. Tulisan saya juga sering dipublikasikan ulang di Kompas.com. Saat ini berprofesi sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), selain sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah Luar Biasa Jakarta Barat. Untuk kerja sama bisa menghubungi saya melalui Media sosial:YouTube: Perspektif Tafenpah||TikTok: TAFENPAH.COM ||Instagram: @suni_fredy || ������ ||Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Di Balik Tulisan Ada Perjuangan Hidup, Bagaimana Menggali Potensi hingga Mengolah Diri dalam Menghadapi Tekanan Sosial "