Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kamu Boleh Merantaiku dengan Dunia Formalitas, Tetapi Kamu tidak Bisa Merantaiku dengan Kemerdekaan Berpikir dan Berkarya

Foto oleh Biro Administrasi Pimpinan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Penulis: Fredy Suni

Tafenpah.com - Transformasi dan rekonstruksi berpikir itu adalah kemerdekaan mutlak (absolut) yang dimiliki oleh setiap orang tanpa adanya intervensi dari lembaga apa pun di dunia ini. Karena ilmu pengetahuan itu di mana saja, yang terpenting kita memiliki rasa ingin tahu yang lebih akan setiap peristiwa atau fenomena kehidupan yang terjadi setiap hari.


"Saya adalah apa yang saya pikirkan. Karena itu, saya tidak menyiksa diriku dengan dunia formalitas"-Fredy Suni. 


Lantas, apakah pendidikan di era digital masih sangat penting? Pendidikan adalah tiket bagi setiap orang untuk menuju masa depan. Akan tetapi, apakah saat ini, insan-insan Perguruan Tinggi sudah menumbuhkan semangat berpikir kritis kepada mahasiswanya akan disiplin ilmu pengetahuan yang terkadang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan dunia yang semakin cepat ini?


Tentu saja di sini, saya bukanlah pengagum kaum satiris. Namun, saya hanya memberikan pandangan atau pun gugatan-gugatan seputar peraturan di dunia Perguruan Tinggi yang terkadang menekan. Akibatnya, mahasiswa memasuki ranah krisis identitas. Karena mahasiswa menuntut ilmu hanya karena ingin mendapatkan Ijazah dan bekerja di kantor.


Memang pendidikan itu sangat penting bagi setiap orang. Akan tetapi, yang lebih terpenting adalah mahasiswa terus memacu atau mendorong dirinya untuk mempersiapkan diri dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan selama berada di dunia Perguruan Tinggi.


Akan tetapi, tak bisa dimungkiri bahwasannya, mahasiswa zaman sekarang tugasnya hanya mengerjakan quis, forum yang disalin dari internet lalu mengklaim dirinya sudah tahu segalanya. Sementara, kaum akademis di Perguruan Tinggi begitu bangga akan prestasi yang diraih oleh mahasiswanya. Padahal mereka tidak cek dan ricek akan kebenaran di balik tulisan mahasiswanya.


Bukan hanya itu saja, aturan di Perguruan Tinggi terkadang membuat mahasiswa terjebak di tempat. Akibatnya, banyak mahasiswa hanya mengikuti arah angin bertiup. Dan pada akhirnya setelah mereka menyelesaikan perjuangan teoritis di dunia pendidikan formal, lalu mereka kehilangan arah, kompas, dan pijakan dalam perjuangan aplikatif dalam kehidupan bermasyarakat.


Menarik dan menggelitik serta menukik apa yang dikatakan oleh Adolf Hitler yang dikenal sejarah sebagai manusia bengis zaman lampau, tetapi dari dramatisasi dan skenario negatif penulisan sejarah tersebut, ada satu inspirasi yang mengandung banyak maknanya, yakni " Kamu boleh merantaiku, kamu boleh mengambil apa pun yang ada dalam diriku, tetapi kamu tidak bisa mengambil bahkan memenjarakan pikiranku."


Berpikir "out of the box" itu memang gila. Tetapi, itulah track atau jalur bagi setiap orang untuk menggali potensi tersembunyi dalam dirinya.


Memahami diri yang cukup, menumbuhkan rasa ingin tahu dan kesadaran diri, bergaul dengan banyak orang, menjerumuskan diri ke dalam komunitas literasi apa pun, banyak membaca, mencoba hal baru, meningkatkan spirit komtemplatif dan reflektif adalah cara-cara praktis yang efektif bagi dunia pendidikan zaman digital.



Pendidikan bangsa ini masih terjebak di dalam berbagai aturan yang rumit dan menekan. Selain itu, sumber daya manusia Indonesia yang berintelektual terus menanamkan atau mendogmatisasi otak mahasiswanya bahwa dengan pendidikan yang cukup di lingkungan formal, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan sangat menjanjikan.


Namun, realiatas itu tidak seindah naskah film FTV dan lirik-lirik puisi dari Sang Penyair yang didesain sedemikian menarik, elegan, santun, an penuh seni artistik.


Karena dunia nyata lebih kejam di balik teori-teori yang sudah ketinggalan zaman di lingkungan pendidikan formal.


Ya, meskipun Sastrawan biasanya tersiksa dan menikmati karyanya sendiri. Tetapi, melalui penyiksaan tersebut, Sastrawab mampu mengenal kelemahan dan kekuatannya dalam berkarya. 


Sastrawan itu tidak diajarkan untuk bekerja di kantor mana pun. Melainkan Sastrawan itu bisa bekerja dalam kondisi apa pun tanpa terikat dengan aturan yang membosankan.


Karena Sastrawan itu menjiwai semangat KEMERDEKAAN BERPIKIR DAN BERKARYA. Akhirnya, jangan jadi intelektual yang mengekor, tetapi jadilah intelektual yang berani menciptakan peluang-peluang baru yang bisa menginspirasi generasi bangsa di era digital.




Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Hi salam kenal ya!!! Saya Frederikus Suni, biasanya disapa Fredy Suni adalah pendiri dari Tafenpah. Profesi: Kreator Digital | Saya adalah mahasiswa Droup Out/DO dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dan Universitas Dian Nusantara (Undira). Saat ini bekerja sebagai Kreator Konten Tafenpah Group | Saya pernah menjadi Wartawan/Jurnalis di Metasatu.com dan NTTPedia.id || Saya pernah menangani proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI || Saya pernah magang sebagai Copywriter untuk Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta. Saat ini fokus mengembangkan portal yang saya dirikan yakni: www.tafenpah.com || www.pahtimor.com || www.hitztafenpah.com || www.lelahnyahidup.com || www.sporttafenpah.com || Mari, kita saling berinvestasi, demi kebaikan bersama || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Kamu Boleh Merantaiku dengan Dunia Formalitas, Tetapi Kamu tidak Bisa Merantaiku dengan Kemerdekaan Berpikir dan Berkarya"