Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Zaman Matut Piob (Permainan Gasing) Antara Kelompok Marselus Nule dan Rheno Oetpah

Gasing permainan tradisional Haumeni. Malangtimes.com


Gasing (Matut Piob) adalah salah satu permainan tradisional yang sangat digandrungi oleh generasi Haumeni. Setiap mendekati musim membuka ladang baru, anak-anak berlarian menuju kebun, lalu  memaksa orangtua mereka untuk membuat gasing (Piob). Terutama Paulus Lake memaksa us Minggus untuk membuatkan piob (gasing) yang berukuran lebih besar daripada milik Marselus Nule.


Di mana saja anak-anak Haumeni bermain gasing?

Halaman depan Gereja Kristus Raja Haumeni adalah lapak/tempat yang tepat bagi anak-anak kampung Haumeni untuk menghabiskan 86.400 detik dalam sehari untuk matut piob (bermain gasing).


Ob Tokof adalah tempat kedua bagi anak-anak Haumeni untuk bersua dan membangun jalinan persahabatan di sana. Ob tokof selalu menyimpan memori yang masih tersimpan rapi di setiap arsip jantung generasi Haumeni. Mulai dari nenek moyang hingga zaman Amandus Nule dkk. Dan Berakhir di Yance Suni.


Siapa saja aktor berpengaruh zaman matut piob (permainan gasing)?

Aktor berpengaruh Haumeni 2 adalah Marselus Nule. Sementara, aktor berpengaruh Haumeni 1 adalah Rheno oetpah.


Tampuk kediktatoran Marselus Nule diserahkan kepada Yance Suni. Sementara kekuasaan Rheno Oetpah diserahkan kepada Noldi Metan sebagai aktor berpengaruh dalam tradisi permainan gasing.


Memori di zaman digital


Kehadiran permainan gasing (Matut Piob) menjadi penyemangat, dikala kebebasan anak-anak kampung Haumeni dipenjara oleh pohon pates yang menjulang tinggi angkasa.


Andaikan musim itu masih ada, mereka pasti menebarkan senyum sumringah. Namun, di atas ketinggian bukit Maneno, semua kini tinggal kenangan. Teknologi telah mengubur permainan itu di alam baka.


Apa yang mereka banggakan?

Tak ada! Kehadiran teknologi hanya mengorek kembali memori. Mereka tenggelam dalam dekapan bukit Maneno.


Bersama teknologi, kenangan indah di masa kecil semakin mengejar setiap anak-anak kampung Haumeni.


Di bawah menurun kiu ana, mereka memetik asam, sembari melepaskan kisah-kisah jenaka. Suasana kampung yang penuh dengan ketenangan, kini disesaki dengan bejibun masalah tentang kehidupan.


Jika kita bisa memilih untuk kembali ke masa kecil, saya adalah orang pertama yang sudah berubah wujud menjadi seorang bocah.


Mengapa harus menjadi anak kecil?

Senyum bahagia, canda tawa, berlari ke sana-kemari sembari digendong, dipeluk, disayangi dan diperhatikan oleh orangtua adalah bagian dari pengalaman masa kecil yang indah di kampung Haumeni.


Keadaan itu  dikikis oleh usia yang semakin mengejar kita dalam keseharian. Di mana, kita selalu bersentuhan dengan perasaan rendah diri, cemburu, sakit hati, tidak percaya diri. Gegara rekan sebaya yang sudah sukses dalam bidangnya.


Di manakah letak kebahagiaan itu?

Entahlah! Saya pun selalu mencari arti kebahagiaan. Gegara kebahagiaan, saya rela meninggalkan kampung halaman menuju tanah perantauan.


Lantas, apakah di tanah perantauan saya merasa bahagia?

Belum tentu! Sebab kebahagiaan seorang perantau adalah ketika memegang daun merah. Namun, ketika semua itu tidak ada di tangan, pikiran pun kacau. Gila pun bisa melanda sebagian orang.


Dunia ini keras sobatku. Akan tetapi, ketika kita berusaha untuk mencari kebahagiaan, kita pun tidak pernah merasakan kebahagiaan itu sendiri.


Memang benar apa yang dikatakan oleh filsuf Plato; pencarian tertinggi dan terakhir dari manusia adalah kebahagiaan.”


Kamu pikir bahagia semudah cerita-cerita dongeng di negeri antah berantah? Jangan bermimpi sobat. Tersebab tidak mudah kita mendapatkan kebahagiaan.


Ribuan jalan telah kita lalui untuk mencari kebahagiaan. Namun, tiada satu pun jalan yang benar-benar memberikan kepuasan batin.


Bagaimana dengan jalan spiritual?

Saya rasa ada secuil kebahagiaan di bidang spiritual. Kok cuman sedikit? Ya, tentu saja! Karena antara bidang spiritual dan bidang yang lainnya selalu berjalan beriringan. Layaknya organ tubuh kita yang tidak pernah berpisah.


Jika salah satu organ tubuh kita terluka, yang lain pun ikut merasakannya. Sama saja, jika kita meluangkan waktu yang lebih, entah di bidang spiritual, ekonomi, budaya, sosial, politik, olahraga akan menjauhkan kita dari kadar kebahagiaan.


Takaran kebahagiaan itu ada, jika semua aspek selalu berjalan beriringan. Begitulah takaran kebahagiaan dan keceriaan anak-anak kampung Haumeni akan permainan gasing.



Salam Tafenpah











Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Hi salam kenal ya!!! Saya Frederikus Suni, biasanya disapa Fredy Suni adalah pendiri dari Tafenpah. Profesi: Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University). Saya adalah mahasiswa Droup Out/DO dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dan Universitas Dian Nusantara (Undira). Saat ini bekerja sebagai Kreator Konten Tafenpah Group | Saya pernah menjadi Wartawan/Jurnalis di Metasatu.com dan NTTPedia.id || Saya pernah menangani proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI || Saya pernah magang sebagai Copywriter untuk Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta. Saat ini fokus mengembangkan portal yang saya dirikan yakni: www.tafenpah.com || www.pahtimor.com || www.hitztafenpah.com || www.lelahnyahidup.com || www.sporttafenpah.com || Mari, kita saling berinvestasi, demi kebaikan bersama || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Zaman Matut Piob (Permainan Gasing) Antara Kelompok Marselus Nule dan Rheno Oetpah"